"hana maaf, rupanya riko hatinya belum tetap, jadi kami disini akan membatalkan pertunangan kamu.. dan kami akan memilih Sinta adik kamu sebagai pengganti kamu" ucap heri dengan nada yang berat
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14
Andri pulang dengan hati yang berseri-seri.
“Boy, dari mana saja kamu?” ucap Romy Natakusuma, ayah Andri.
“Biasa, yah, habis main,” jawab Andri.
“Kapan kamu mau serius mengurus bisnis ayah, Boy? Bagaimanapun, kamu adalah pewaris bisnis ayah,” tanya Romy.
“Aku serius, yah. Aku memantau semua usaha ayah langsung ke lapangan. Aku tidak percaya sama orang-orang ayah,” jawab Andri.
“Sudahlah, Boy. Ayah sudah membuat sistem di perusahaan dengan baik. Kamu tinggal melaksanakannya,” ucap Romy.
“Beri Andri waktu tiga bulan lagi, yah,” ucap Andri.
“Ok, ingat, tiga bulan lagi.”
Romy tampak sudah rapi dan akan pergi.
“Mau ke mana, yah?” tanya Andri.
“Biasa, ayah mau meeting.”
“Ayah tidak menemani Mamih?”
“Untuk malam ini, kamu dulu yang menemani Mamih,” ucap Romy. “Tolong hibur Mamih.”
“Ok, yah.”
Kemudian Romy pergi keluar rumah mewahnya, dan sebuah mobil sudah menunggu.
Seorang perempuan paruh baya, matanya sayu, pandangannya kosong, terus melihat sebuah selimut bayi.
“Mamih, how are you?” tanya Andri.
“Fine,” jawab Maharani Natakusuma.
“Bagaimana dengan penyelidikan kamu?” tanya Maharani.
“Masih dalam penyelidikan, Mih,” jawab Andri.
“Cepat, segera temukan dia. Mamih sudah sangat kangen.”
“Sebetulnya, aku sudah menemukan orangnya, hanya saja aku tidak tega kalau Mamih nanti kecewa. Aku takut Mamih terluka,” ucap Andri dalam hati.
“Mamih, ceria lagi dong. Andri kangen senyum Mamih,” ucap Andri sambil memeluk Mamihnya.
“Temukan kakak kamu, atau kamu bawa calon istri kamu, baru Mamih tenang,” jawab Maharani.
“Tenang saja, Mih. Sebentar lagi Andri bawa wanita, pastinya Mamih akan senang,” ucap Andri.
“Ok, Boy. Jangan kecewakan Mamih.”
Sementara itu, di kosan Hana, dia guling-guling tidak jelas, tersenyum geli.
“Tidak… tidak boleh jatuh cinta lagi,” gumam Hana.
Kemudian ada sebuah pesan misterius:
“Jangan dekati Andri. Dia cowok brengsek.”
Kemudian Hana menelpon, tapi sayang sekali tidak diangkat.
“Orang iseng amat,” gumam Hana.
“Kalau mau ketemu, gue besok malam di Taman Kota,” isi pesan
Di rumah Handoko:
“Bu, kalau setiap kali makan kita beli nasi Padang, gaji Bapak yang nggak seberapa itu bisa habis hanya dalam waktu satu minggu, Bu,” ucap Handoko, mulai frustrasi.
“Astaga, Bapak pelit amat sih… Ibu sekarang sudah tidak masak lagi, Pak,” jawab Mirna.
“Harus dibiasakan lagi, Bu. Kalau tidak, kita bisa kelaparan,” Handoko kesal.
“Tenang saja, sih, Pak. Si Riko itu kaya. Kalau dia sudah menikah dengan Sinta, kita minta jatah bulanan, minta mobil, dan minta pembantu. Pernikahan mereka sebentar lagi, Pak, jadi nggak masalah sekarang kita beli terus, Pak. Aku sudah capek… Kamu tahu sendiri, si Sinta tidak bisa diandalkan,” ucap Mirna santai.
“Iya, Bapak pelit banget, sih. Lagian, aku juga sebentar lagi jadi pemilik dua warung grosir sembako milik Riko. Tenang saja, Sinta akan membanggakan Ayah,” ucap Sinta bangga.
“Mana keseriusan Riko, coba? Pernikahan kamu dengan Riko tinggal dua minggu lagi, undangan belum jadi loh. Orang kampung masih menyangka Ayah akan mengadakan hajat di balai desa, dan sebagian orang masih menyangka Ayah akan menikahkan Hana, bukan kamu,” ucap Handoko.
“Iya, Sinta, bagaimana sih? Si Riko kok kayaknya nggak serius mempersiapkan acara. Sampai saat ini kita belum cek ke hotel, apakah dipakai atau tidak aula hotelnya,” ucap Mirna, juga heran.
“Tenang saja, aku akan menekan Riko agar cepat menyelesaikan persiapan pernikahan segera,” jawab Sinta.
…
…
Tangan Riko gemeteran. Di tangannya sekarang ada sebuah sertifikat.
“Bagaimana kalau Bapak tahu… bisa mampus aku.”
“Ah, dasar Bapaknya aja pelit. Masa suruh nikah di kebon, ada-ada aja.”
“Lagian si Sinta ngada-ngada aja, segala mau nikah di hotel, jadi pusingkan aku.”
“Bagaimana ini… aku gadaikan, nanti Ayah tahu pasti marah dia.”
“Tidak, aku gadaikan, nanti Sinta marah dan bilang kalau aku menghamili dia.”
“Ah, pusing aku.”
Akhirnya Riko memutuskan untuk menggadaikan sertifikat tanah itu ke rentenir, karena kalau ke bank prosesnya lama dan persyaratannya juga banyak.
“Berapa mau pinjam?” ucap Ibu Sherly, wanita gemuk pipi cabi, kulit putih, kalau tertawa bergetar seluruh tubuh.
“200 juta,” jawab Riko.
“Ah, kecil kali. Kenapa nggak maksimal aja?”
“Berapa?” tanya Riko.
“500 juta.”
“Cicilan berapa?”
“30 juta per bulan selama 26 bulan.”
“Ah, mahal kali.”
“Kalau mahal, sana pergi ke bank… Dua bulan baru bisa cair, survei ini itu, tanda tangan tetangga, Pak Erte, Pak Erwe, Pak Lurah, Bapak kau, Mamak kau, adik kau, nenek kau semua harus tanda tangan baru bisa cair,” jelas Sherly.
“Ah, masa seribet itu?”
“Ah… kau ini kuliah mahal-mahal, masa nggak ngerti proses pinjam uang, macam manakau ini,” ucap Sherly kesal.
“Ya udah, 200 juta saja.”
“Kalau 200 juta, 18 juta per bulan selama 20 bulan.”
“Ah, kenapa jadi mahal sekali cicilannya?”
“Kau ini tidur saja ya waktu kuliah… Semakin besar pinjaman, maka semakin kecil pengembalian,” jawab Sherly.
Riko mengkerutkan dahinya. Perasaan selama dia kuliah, dia tidak pernah mendengar teori itu.
“Ya sudah, 500 juta,” ucap Riko.
“Nah, begitukan, enak,” ucap Sherly.
Kemudian Riko menerima uang 450 juta.
“Kenapa hanya 450 juta… menipu rupanya kau,” hardik Riko.
“Astaga… kau ini memang anak kurang gaul, yah. Dimana-mana itu ada potongan admin 10%. Kalau tidak mau, sini balikin lagi uangku,” ucap Sherly.
“Uh… dasar kau ini,” ucap Riko kesal. Namun akhirnya dia menandatangani semua berkas.
…
Hana saat ini sedang repot. Ada 20 orang customer baru yang mencari dirinya.
“Bu, tolong kami, Bu… cepat buatkan surat keterangan kalau kami membeli motor di sini,” ucap salah seorang dari mereka.
“Ya, nggak bisa lah. Kalian harus beli dulu motor di sini, baru saya buatkan surat keterangan,” jawab Hana.
“Ya beli, tinggal beli, Bu… semua di sini mau beli, Bu… cicilan dua tahun, Bu,” ucap seorang lelaki bernama Tio.
“Emang kalian dari mana?” tanya Hana.
“Kami dari Café Trala Trilili,” ucap Tio.
“Itu café Pak Andri, kan?” tanya Hana.
“Tepat sekali, Bu,” jawab Tio.
“Jadi kalian dipaksa beli motor di sini?” tanya Hana.
“Kami tidak dipaksa, Bu… kami sukarela,” jawab Tio.
“Oh… terus kalau kalian nggak beli di sini, gimana?” tanya Hana.
“Ya, kami akan dipotong gaji sesuai harga kredit motor,” jawab Tio.
“Dasar… ini sih namanya pemaksaan,” gumam Hana dalam hati. Dia merasa aneh dengan tingkah lucu Andri yang di luar nalar.
“Hana, kenapa kamu tidak mereka layani dengan baik?” ucap Herman, kepala showroom.
“Gak, Pa… Bu Hana melayani kami dengan baik. Kami mau beli motor asal sales-nya Bu Hana,” ucap Tio.
“Iya… iya… nanti dokumen atas nama Hana semua, bonusnya juga Hana semua… cuma nanti tangan Hana keriput karena banyak melayani customer, jadi saya bantu ya…” ucap Herman.
“Hey, kalian cepat ke sini! Layani semua customer!” ucap Herman memanggil seluruh sales.