"Cinta ini tak pernah punya nama... tapi juga tak pernah benar-benar pergi."
Sora tahu sejak awal, hubungannya dengan Tama tak akan berakhir bahagia. Sebagai atasannya, Tama tak pernah menjanjikan apa-apa—kecuali hari-hari penuh gairah.
Dan segalanya semakin kacau saat Tama tiba-tiba menggandeng wanita lain—Giselle, anak baru yang bahkan belum sebulan bergabung di tim mereka. Hancur dan merasa dikhianati, Sora memutuskan menjauh... tanpa tahu bahwa semuanya hanyalah sandiwara.
Tama punya misi. Dan hanya dengan mendekati Giselle, dia bisa menemukan kunci untuk menyelamatkan perusahaan dari ancaman dalam bayang-bayang.
Namun di tengah kebohongan dan intrik kantor, cinta yang selama ini ditekan mulai menuntut untuk diakui. Bisakah kebenaran menyatukan mereka kembali? Atau justru menghancurkan keduanya untuk selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mima, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejujuran Tama.
Sora mengira Tama sudah tidur saat dia pulang. Sudah sengaja mengulur waktu sampai larut, sampai harus mengorbankan Kayla. Namun yang terjadi, saat keluar dari lift, dia melihat laki-laki itu sudah berdiri di depan unit apartemennya. Sial! Sora harus mengubah mimik wajahnya yang murung menjadi ceria dalam hitungan detik.
“Astaha, Tam?? Sori… sori… sori, gue lupa kalau kita ada janji ngobrol!” Sora menutup mulutnya dengan dua tangan. Berharap akting terkejutnya cukup natural.
“Ini jam sepuluh malam, Sora. Lo dari mana aja?” tanya Tama dengan kedua tangan yang didekap di dada. Menggeser posisinya karena Sora terlihat akan membuka pintu.
“Tadi gue sama Kayla nonton. Ada film bagus. Sorry.” Perempuan itu mendorong pintu dan mempersilakan Tama masuk duluan. Sampai di sini emosinya masih stabil. Semoga saja bisa bertahan.
Sengaja tidak mengunci pintu apartemen, Sora membiarkan benda itu terbuka lebar. Karena sekarang, situasi dia dan Tama sudah tak lagi sama. Sora melihat pria itu sudah duduk di sofa yang ada di ruang tamunya yang kecil. “Lo buru-buru nggak, Tam? Gue ganti baju dulu boleh ya?”
“M. Beres-beres dulu aja,” balas Tama yang sama sekali tidak memegang ponsel atau benda yang lain. Sepertinya tujuan laki-laki itu ada di sini murni hanya untuk berbicara dengannya.
Sora masuk ke dalam kamar. Entah kenapa tangannya refleks menutup pintu dan memutar kunci. Bukan karena takut Tama akan masuk menyusul seperti biasa, tidak. Mulai sekarang, dia akan membuang pikiran itu jauh-jauh. Dia tidak mau ge-er.
Sora menguncinya karena dugaan bahwa Tama dan Giselle sudah menjalin hubungan yang serius. Laki-laki itu tidak sepantasnya ada di sini. Lagian Sora juga merasa kalau hatinya terasa begitu jauh dari Tama. Sudah tidak seperti dulu lagi.
Memutuskan untuk memakai kemeja yang cukup longgar dan celana training panjang, Sora memang tidak ingin Tama melihat lekuk tubuhnya lagi. Ck! Gadis itu seketika merasa bodoh. Kenapa dia baru menyadari kalau gairah Tama memang sedikit menurun di dua minggu terakhir? Sepertinya itu adalah efek dari hati yang sudah terbagi dengan Giselle.
Terbagi? Hah. Memangnya dia pernah memiliki hati laki-laki itu?? Ck!
Dia keluar kamar dan membawa baju bekasnya untuk dimasukkan ke dalam keranjang pakaian kotor. Tama sudah menyalakan televisi untuk mencari kesibukan. Baguslah, supaya ada kehidupan.
“Lo mau bahas apa, Tam?” Akhirnya perempuan itu selesai dengan dirinya sendiri dan duduk di sebelah Tama. Di sofa yang tidak terlalu panjang. Mungkin muat untuk duduk tiga orang saja. Dia mengangkat kaki ke atas sofa dan memeluk kedua pahanya.
“Lo udah makan?” Laki-laki itu meletakkan remot tv, memutar tubuh ke sebelah kiri, menghadap ke arah Sora. Sepertinya Sora sudah bisa menebak apa yang akan mereka bicarakan. Lihat saja baju yang dia pakai sekarang. Itu adalah bukti kalau dia sudah menutup diri dari Tama. Tidak hanya itu. Sora juga membuat jarak di antara mereka berdua.
“Udah lah. Lo kira kita di luar sampai berjam-jam buat apa kalau nggak makan juga? Apaaa, lo mau ngomong apa, Tam?” Gadis itu berusaha mencairkan suasana. Belum apa-apa mereka sudah secanggung ini.
“Lo pasti udah tau, Ra. Kalau enggak, lo nggak akan pakai baju kedodoran dan celana kebesaran kayak gini. Biasanya juga lo naked.”
Sora refleks tertawa. Ya. Tertawa. Demi menjaga hubungan pertemanannya dengan Tama, dia tidak akan membiarkan sentimental mengendalikan dirinya. Setidaknya setiap kali berada di ruangan yang sama dengan laki-laki itu.
“Mau cerita apa? Soal lo sama Giselle?” tebaknya tenang, seperti tidak terganggu dengan kenyataan itu sedikitpun. Belum mimik wajahnya yang jauh dari kata bersandiwara. Tama sukses terdiam beberapa saat.
“Kita... udah pacaran satu minggu, Ra.”
Nyesss.
Hancur sudah. Belati tajam itu akhirnya menghujam jantungnya yang sudah melemah sejak kehadiran Giselle si kantor. Kini berganti Sora yang menatap Tama dalam diam.
"Maaf baru bilang sama lo."
“Dan satu minggu terakhir lo masih tidur sama gue? Lo nggak ada otak, Tam! Lo nggak mikirin pacar lo?” hardiknya setengah melengking. Pertanyaan itu sama sekali tidak membahas dirinya, melainkan Giselle. Kekasih Tama sendiri.
Tama diam. Mengamati wajah Sora dengan seksama, seolah ingin mencari sesuatu.
“Lo lupa ya, Tam? Awal gue mau kissing sama lo, itu syaratnya karena lo memang lagi nggak punya pasangan. Ck! Trus Giselle tau lo sering tidur sama gue?” Pertanyaan sensitif itu kembali terlontar dengan mudahnya, tanpa ada filter. Seolah ‘sering tidur sama gue’ itu adalah hal sepele, sehingga bukanlah hal yang besar jika sekarang Tama malah punya wanita lain.
Tama menggeleng, masih belum bersuara.
“Ya udah, good. Keep it. Sampai kapanpun." Sora terlihat lega. Setelah itu dia berhenti berbicara dan keduanya sama-sama hening.
“Lo nggak mau nanya apa-apa?” Akhirnya Tama kembali bertanya.
“Mau nanya apa? Memangnya... selama kita berteman dan lo selalu gonta-ganti pacar, gue pernah nanya apa-apa?” Perempuan itu kembali menjawab dengan santai.
“Barangkali karena yang sekarang satu team work kita?” Tama memberi petunjuk.
“Itu urusan lo lah, Tam. Bukan ranah gue kan?"
Tama mengangguk. Jawaban Sora bukanlah jawaban yang ingin dia dengar. Sejujurnya dia tau kalau perempuan itu sungkan untuk mengeluarkan isi hatinya.
“Honestly, gue nggak enak sama lo.”
Sora menatap Tama dengan mendalam dan membiarkan pria itu berbicara. Dia akan mendengarkan saja.
“Bukankah ini lucu, Ra? We’ve been slept together for months, tapi hati gue masih berdebar saat bertemu perempuan lain.”
…
“Gue merasa bersalah sama lo. Sangat merasa bersalah.”
Sekuat hati Sora menahan diri agar tidak terpengaruh. Bagaimana bisa Tama sejujur itu? Dia mengaku kalau hatinya masih bergetar melihat perempuan lain sekalipun mereka sudah ratusan kali tidur bersama.
Apakah pria itu sedang terang-terangan memberi tahu bahwa Sora sama sekali tidak mampu membuatnya jatuh cinta meskipun sudah memberikan seluruh tubuhnya?
'Nanti, Ra. Nangisnya nanti saja’, monolognya.
“Tidur bareng ‘kan nggak harus ada rasa. Di kota besar kayak gini, udah lumrah banget lah Tam.”
Tama kembali diam.
“Udah… nggak usah mikir yang aneh-aneh. Kita masih berteman sekalipun lo pacaran. Lo masih atasan gue, gue masih anak buah lo. Nggak akan ada yang berubah, Tam.” Sora menepuk lengan Tama yang kekar. Tersenyum lebar, berusaha menunjukkan bahwa dia akan baik-baik saja.
Ya, dia akan baik-baik saja.
***
Malam itu menjadi malam terakhir Tama memasuki unit apartemen Sora. Karena malam-malam berikutnya, dia sudah sibuk dengan Giselle. Setelah jujur kepada Sora, laki-laki itu memutuskan untuk go public tentang hubungan dia dan Giselle di kantor. Tidak hanya Axel dan Jo yang kaget, melainkan semua anak-anak dari divisi lain.
‘Heh, serius lo berdua pacaran? Kirain kita semua cuma teman biasa.’ Begitu kata Axel. Ternyata Axel hanya menganggap Giselle sebagai adik. Tidak lebih, meski dia sering nimbrung dalam godaan Jo.
‘Wah, padahal niatnya gue yang embat, eh malah si bos duluan. Nggak deng, canda.’ Jo ikut bergurau. Aslinya dia shock juga.
Sementara itu, anak-anak dari divisi lain mengaku tak percaya. Yang mereka tau, Tama sudah lama dekat dengan Sora. Bahkan sudah bertahun-tahun. Sungguh tidak menyangka kalau ternyata keduanya tidak punya hubungan spesial. Tama malah berpacaran dengan anak baru yang merupakan ponakan manajernya sendiri.
Tidak hanya telinga Tama dan Giselle yang panas mendengar hal itu. Sora juga. Dia tidak berharap akan dihubung-hubungkan dengan Tama lagi.
Kurang tertekan apa dia coba? Setiap hari melihat pemandangan yang tidak mengenakkan di depan mata. Lantas sekarangpun harus mendengar pertanyaan-pertanyaan mengganggu seperti : ‘Ra, lo nggak apa-apa?’. ‘Lah, kirain lo sama Tama, Ra’. ‘Yang sabar ya, Ra.”
Capek hati, capek pikiran. Double kill!
“Gais, collect datanya sebelum jam empat sore ya? Kalau bisa faster. Karena Pak Rahmat mau ada meeting sama direktur. Beliau mau bawa data-data kita untuk pegangan.” Tama memberi arahan dari kursinya. Melihat anak buahnya satu per satu, dan memastikan data yang dia minta harus sudah terkumpul dua jam dari sekarang.
“Siap, Bos.” Axel menjawab cepat.
“Yaa, Bos.” Jo juga.
Julian hanya membalas lirikan Tama dengan anggukan. Sedangkan Sora, Kayla dan Giselle hanya diam saja.
Setelah itu, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Seluruh perhatian beralih ke orang yang baru saja muncul di ambang pintu. Itu Rahmat, manajer mereka. Omnya Giselle.
“Selamat siang, Pak.” Tama memberi hormat dan berjalan meninggalkan meja. Rahmat juga berjalan ke arah tengah ruangan. Melewati meja Sora dan Kayla yang terpisah beberapa keramik.
“Pak Tama, anak-anak sedang sibuk ya?”
“Lagi pada kejar setoran buat nanti sore saja, Pak. Gimana, Pak?”
Rahmat memutar pandangnya ke sekeliling ruangan. Memandang anak buah Tama satu per satu, termasuk keponakannya sendiri.
“Begini, Pak Tama. Ck, itu ‘kan anak marketing sama delivery kita suka salah-salah terkait dokumen pengiriman barang.”
“Ah, iya, iya, Pak." Tama langsung relate dengan ucapan Rahmat. "Belakangan kasusnya semakin banyak. Cukup merepotkan tim AR saat menagih piutang, juga di pihak customer sendiri. Taulah kalau customer paling malas berhubungan sama dokumen yang salah, keliru dan lain-lain. Apalagi kesalahannya ada di pihak kita. Tapi terkait hal ini kita sudah sering kasih edukasi ke tim marketing, agar tidak terulang kembali, Pak.” Tama menjelaskan dengan sopan.
Rahmat mengangguk. “Tapi ada beberapa customer besar yang sepertinya sangat jengah, Pak Tama. Mereka merasa terganggu setiap kali kita menghubungi hanya untuk menukar invoice yang salah kasih, atau PO barang yang ketinggalan. Kita dinilai tidak profesional. Jadi, menurut saya, untuk beberapa customer ini, ada baiknya setiap kali ada kiriman barang ke sana, salah satu dari tim AR ikut untuk membawa semua kelengkapan dokumennya. Agar tidak terjadi kekeliruan lagi. Ya, sekalian berbincang-bincang soal pembayaran lah.”
Tama menyimak dan menelaah. Kemudian dia mengangguk juga. “Tidak masalah, Pak Rahmat. Bisa dikondisikan,” jawabnya menyanggupi.
“Oke. Jadi biar PIC-nya saja yang turun tangan. Misalnya seperti restoran Perfect Steak & House, itu PIC-nya siapa ya?” Rahmat bertanya kepada siapapun yang merasa.
“Saya, Pak.” Sora menjawab dengan tangan yang terangkat setengah.
“Nah, ini yang paling sering lapor ke saya. Owner-nya sih nggak kesal sama Ibu Sora ya, tapi ke bagian delivery. Jadi, kalau mereka ada pengiriman barang, Ibu Sora tolong ikut ke sana, bawa surat jalan dan invoice-nya. Kalau bisa ajak salah satu bapak-bapak ini, biar nggak sendirian,” ujar Rahmat dengan luwes.
“Laksanakan, Pak.” Sora mengiyakan dan menyanggupi. Pandangnya sempat bertumbukan dengan Tama. Namun hanya sebentar, karena Sora langsung mengalihkannya lagi ke Rahmat.
“Oh ya, saya sekalian mau ngasih tau kalau malam ini kita ada gathering. Barusan saya sudah keliling ke semua ruangan juga.”
“Gathering apa, Pak?” Tama bertanya. “Tumben nggak ada internal memo dari sekretaris??” Telinga yang lain juga langsung siap siaga.
“Iya, ini dadakan. Jadi biar pada percaya, saya langsung turun tangan. Yahh, makan-makan seperti biasa. Anggap saja ini traktiran perusahaan karena bulan lalu omset marketing tembus target dan juga pekerjaan semua divisi yang terbilang baik. Tidak ada temuan audit.”
Axel dan Jo langsung bersorak kegirangan. Lupa untuk jaga imej di depan para bos. Sora dan Kayla saling bertukar pandang dan tersenyum tipis. Tama sendiri melirik ke arah Giselle yang sejak tadi memperhatikan dirinya. Keduanya saling bertukar senyum kecil.
“Tapi setelah ini akan tetap ada email untuk pemberitahuan kok, tentang di mana dan jam berapa acaranya dimulai.”
“Baik, Pak. Jadi, meeting dengan direkturnya diundur atau bagaimana, Pak?” Tama bertanya lagi. Karena yang dia tau, tadi Rahmat bilang akan meeting dengan direktur. Apakah para petinggi tidak ikut gathering?
“Nanti kita akan sekalian ngobrol di sana, Pak. Yang penting data-datanya dikumpulkan dulu saja."
Setelah Rahmat selesai dengan urusannya, laki-laki itupun keluar dan lanjut ke ruangan lain. Lima menit kemudian Tama mendapat email dari sekretaris yang sepertinya di-forward ke semua penanggung jawab divisi.
“Guys, nanti gathering-nya di Greyhound Café. Start jam tujuh malam.” Dia langsung melanjutkan informasi itu kepada yang lain.
“Wah, itu restoran Thai bukan sih?” Jo seperti merasa tidak cocok.
“Ada yang non Thai-nya kok, Mas.” Giselle menyahut dengan cepat. Kebetulan dia cukup sering nongkrong di café dan restoran saat masih kuliah dulu.
“Oh, syukurlah. Eh, ini perginya barengan atau sendiri-sendiri?”
“Gue nebeng lo ya, Bro! Bensin motor gue lagi sekarat.” Axel langsung mengikat dirinya kepada Tama. Dan yang ditodong sama sekali tidak keberatan.
“Ra? Lo sama siapa?” Jo bertanya kepada Sora yang dia tau tidak punya kendaraan sendiri.
“Gue sama Kayla aja.”
“Iyaa, kita ‘kan sohib.” Kayla menyambut jawaban itu dengan begitu antusias.
“Yes, tak terpisahkan ya beb.” Sora menyambung lagi sambil tertawa kecil.
“Eh, tapi tadi pagi gue nebeng sama bokap, Ra?! Bego, bisa-bisanya gue lupa?” Dita menepuk jidat. Baru ingat kalau mobilnya sedang ada di bengkel untuk ganti ban.
“Mobil si bos ‘kan gede. Masih muat lah.” Axel mengatur semuanya dengan cepat. Memang lebih asyik kalau rame-rame.
“Nebeng mobil gue aja.”
Itu suara emas Julian.
***
Visual Julian Sastra Atmaja : Jinyoung GOT7
Visual Dita : Namfah Tunyaphat (Thai Actrees)