Namira, wanita karier yang mandiri dan ambisius terpaksa menjalani pernikahan paksa demi menyelamatkan nama baik dan bisnis keluarganya. Namun pria yang harus dinikahinya bukanlah sosok yang pernah ia bayangkan. Sean, seorang kurir paket sederhana dengan masa lalu yang misterius.
Pernikahan itu terpaksa dijalani, tanpa cinta, tanpa janji. Namun, dibalik kesepakatan dingin itu, perlahan-lahan tumbuh benih-benih perasaan yang tak bisa diabaikan. Dari tumpukan paket hingga rahasia masalalu yang tersembunyi. Hingga menyeret mereka pada permainan kotor orang besar. Namira dan Sean belajar arti sesungguhnya dari sebuah ikatan.
Tapi kalau dunia mulai tau kisah mereka, tekanan dan godaan muncul silih berganti. Bisakah cinta yang berbalut pernikahan paksa ini bertahan? ataukah takdir akan mengirimkan paket lain yang merubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8_Di Balik Jaket Kurir
Namira menatap layar laptopnya kosong. Slide presentasi tentang ekspansi cabang Maxzella Global ke Asia Tenggara terbuka, tapi tak satu kata pun masuk ke dalam benaknya.
Sudah hampir sepekan sejak pertengkaran kecil dengan Sean. Meski suasana apartemen kini kembali netral, tidak ada lagi nada konfrontatif, justru keheningan itulah yang makin mengusik pikirannya.
Sikap Sean yang tetap sopan, tenang, dan tidak menuntut membuat Namira... risih. Tapi bukan risih yang ia pahami sepenuhnya. Lebih kepada ketidaknyamanan karena tidak mampu mengklasifikasikan keberadaan pria itu dalam struktur logis hidupnya.
Ia terbiasa menghadapi orang-orang yang mengejar, memohon, atau berpura-pura. Tapi Sean… tidak meminta apa-apa, bahkan ketika ia jelas sedang menanggung beban dari kesepakatan yang tak adil ini.
Sore itu, Namira memutuskan untuk bertemu satu-satunya orang yang bisa ia ajak bicara tanpa harus menjaga wibawa: Nina Egalita, sahabatnya sejak kuliah.
Keduanya bertemu di kafe kecil di kawasan Cipete. Nina datang terlambat, seperti biasa, dengan gaya santainya yang khas jaket denim, rambut digelung asal, dan tas penuh berkas freelance-nya.
"Maaf, Ma’am CEO," ujar Nina sambil duduk.
“Tadi ada klien minta revisi dadakan padahal deadline-nya minggu depan. Manusia makin absurd."
Namira tersenyum tipis.
"Nggak apa-apa. Aku butuh teman yang absurd hari ini."
Nina menatapnya tajam.
"Kamu kelihatan… tidak seperti biasanya. Wajahmu kayak kertas kerja belum disetujui board."
Namira menarik napas panjang. Ada satu hal yang tak bisa ia bendung lagi.
"Aku ingin bicara soal Sean."
Nina langsung bersandar.
"Aha. Suami yang kamu nikahi karena terpaksa itu? sosok suami yang misterius itu? Akhirnya, sisi manusiawi Namira bicara juga."
"Nina, tolong serius sedikit."
"Oke, oke," Nina menegakkan punggung.
"Ada apa? Dia selingkuh sama asisten rumah tangga? Atau ternyata punya keluarga rahasia di Medan?"
"Enggak, bukan itu. Justru sebaliknya. Dia terlalu… tenang. Terlalu sopan. Terlalu… tidak tertarik."
Nina menyipitkan mata, lalu tertawa.
"Kamu frustrasi karena dia gak mengejarmu?"
Namira melipat tangan.
"Ini bukan tentang ego."
"Sudah jelas ini tentang ego," potong Nina.
"Kamu terbiasa jadi pusat perhatian, Naam. Terbiasa dikejar. Terbiasa mengendalikan. Lalu sekarang muncul manusia yang tidak terintimidasi statusmu, tidak butuh uangmu, dan tidak berusaha menjilatmu."
Namira terdiam. Kalimat Nina menampar tanpa permisi.
"Tapi kamu tahu," lanjut Nina sambil menyeruput minumannya.
"Kamu bisa saja penasaran karena dia memang... bukan tipe biasa. Mungkin kamu harus lihat dia di luar peran 'pengantin palsu'."
"Apa maksudmu?"
"Ikuti dia. Lihat dia bekerja. Lihat dia di habitat aslinya, bukan di apartemenmu yang terlalu steril."
Namira mengernyit.
"Kamu menyarankan aku menguntit suamiku sendiri?"
Nina mengangkat bahu.
"Lebih sopan kalau dibilang 'observasi sosial'. Toh dia bukan kriminal. Kamu hanya ingin tahu siapa dia sebenarnya."
Yap, dan ide Nina memang masuk akal.
***
Keesokan harinya, pukul delapan pagi, Namira duduk di dalam mobil pribadinya, lengkap dengan kacamata hitam dan sweater gelap, seperti mata-mata pemula. Ia memarkir mobil agak jauh dari gerbang kantor Anter Logistik. Dari kejauhan, ia melihat Sean keluar dari gedung kecil itu dengan seragam logistik dan tas selempangnya.
Langkahnya tenang, tubuhnya tegak. Ia menyapa beberapa satpam di gerbang dengan anggukan sopan, lalu menyalakan motornya. Namira menghidupkan mobil pelan, menjaga jarak agar tidak mencolok. Ia tidak tahu harus merasa seperti apa memalukan, aneh, atau justru… tertarik.
Sean berhenti pertama di sebuah warung kecil milik nenek tua di gang sempit. Namira menyaksikannya dari kejauhan, berpura-pura sibuk di ponselnya. Sean turun dari motor, membawa paket kecil, lalu menyapa si nenek dengan senyum.
“Pagi, Bu Wati. Ini paket dari cucu Ibu.”
Si nenek yang rambutnya disanggul seadanya tersenyum lebar.
“Aduh, terima kasih, Nak Sean. Selalu tepat waktu ya kamu. Sudah makan?”
“Belum, Bu. Tapi saya bawa roti, tenang saja.”
“Kamu itu kurir paling sopan sedunia. Kalau ada lomba, Ibu nominasikan!”
Sean tertawa kecil, lalu membantu si nenek menyusun ulang tumpukan dus air mineral di sudut warung.
Namira mengernyit. Tak ada kamera. Tak ada orang melihat selain dirinya. Tapi Sean tetap membantu, tetap sopan, tetap santun.
Pemberhentian berikutnya di depan sekolah dasar. Beberapa anak berlari-lari sambil berteriak, “Abang Kuriiirrrr!” ketika melihat Sean.
“Paket buat Pak Guru Robby, Bang Sean?” teriak seorang bocah.
Sean mengangkat tasnya.
“Betul. Tapi jangan lari di pinggir jalan ya. Bahaya.”
Anak-anak menyalaminya seperti pahlawan. Ia menepuk kepala beberapa dari mereka sambil tersenyum, lalu masuk ke dalam gerbang sekolah. Namira menyandarkan kepalanya di kemudi. Dunianya bergeser beberapa derajat.
***
Malam itu, Namira duduk di dapur, menyentuh gelas kopi yang sudah lama dingin. Sean baru pulang, membawa tas selempang yang agak lusuh. Ia menaruhnya di dekat pintu, mencuci tangannya, lalu hendak menuju kamarnya.
“Sean,” panggil Namira, suaranya pelan.
Sean menoleh.
“Ada yang bisa saya bantu?”
Namira berdiri.
“Saya… mengikuti kamu hari ini.”
Sean tidak menunjukkan keterkejutan. Ia hanya menunggu penjelasan.
“Aku penasaran,” lanjut Namira. “Ingin tahu siapa kamu di luar sini.”
Sean menatapnya sebentar. Lalu bertanya pelan, “Dan apa yang kamu temukan?”
Namira terdiam. Lalu menjawab jujur.
“Bahwa kamu bukan orang yang bisa dikotakkan dalam istilah ‘kurir biasa’.” Ada jeda.
“Kamu sopan pada nenek tua yang tidak bisa membalas. Kamu ramah pada anak-anak yang bahkan tak bisa membaca nama di seragammu. Kamu tidak pernah mengeluh. Tidak marah. Bahkan tidak mencibir siapa pun.”
Sean menarik napas. “Karena itu bukan pekerjaan saya, Bu Namira. Itu pilihan saya sebagai manusia.”
Namira menatapnya.
“Apa kamu selalu seidealis ini?”
Sean tersenyum tipis.
“Tidak. Saya juga lelah. Tapi saya tahu, jika saya membiarkan dunia menentukan nilai saya, maka saya akan kehilangan arah. Jadi saya menetapkan sendiri nilainya.”
“dan nilaimu… bukan soal uang?”
“Uang penting. Tapi tidak cukup untuk membeli tenang, apalagi hormat.”
Namira terdiam. Untuk pertama kalinya, ia merasa... kecil.
“Apa kamu tidak marah pada saya?” tanyanya pelan.
“Karena menyeretmu ke dalam semua ini?”
Sean menatapnya lembut.
“Saya tidak menyalahkan orang yang terpaksa dan saya tidak membenci orang yang sedang berusaha bertahan.”
“Bahkan jika saya merendahkanmu?”
Sean menunduk sejenak, lalu menatapnya lagi.
“Saya tahu kamu bukan benar-benar merendahkan. Kamu hanya sedang bingung bagaimana menghadapi seseorang yang tidak bisa kamu kontrol.”
Malam itu, setelah Sean masuk ke kamarnya, Namira duduk di ruang tengah, memandangi dinding kosong. Dalam benaknya, ulang kembali satu per satu adegan hari itu. Untuk pertama kalinya, bukan logika yang menjelaskan semuanya, melainkan perasaan.
Ia merasa tergelitik oleh kehadiran Sean. Bukan karena romantisme, bukan karena fisik, tapi karena nilai yang begitu langka: stabilitas emosional dan entah bagaimana, hatinya mulai berbisik:
Apa yang terjadi jika aku mulai mengizinkan dia masuk?
Sebuah pertanyaan yang ia takut jawabannya. Namun, kini tidak bisa ia abaikan.
kl kmu sayang ke Namira, kamu harus ekstra sabar dalam menyikapi Namira.