Nikah Ekspres Jalur Ekspedisi

Nikah Ekspres Jalur Ekspedisi

Bab 1_Paket Salah Kirim

Sang Rawi memancarkan cahaya gemilang berpendar ke seluruh ruang. Memantulkan sinar melalui jendela kaca. Memberikan sentuhan sinar benderang pada sosok wanita muda dengan tinggi semampai dan rambut panjang bergelombang. Ia nampak termenung pagi itu dengan kantung mata yang menghiasi wajah cantiknya.

Namira Maxzella, berdiri di depan jendela apartemennya yang berada di lantai 20. Memandangi gedung-gedung kaca yang mulai disiram matahari pagi. Secangkir kopi hitam terkait di jemari tangannya. Namun tak sedikit pun disentuh. Uapnya sudah tak lagi mengepul di udara. Seolah mencerminkan pikirannya yang terus bergolak sejak bangun tidur.

Ia baru saja selesai menyusun ulang bahan presentasi investor yang akan dimulai siang nanti. Di layar laptopnya masih terbuka grafik performa kuartal kedua, angka-angka, persentase, dan target yang belum sepenuhnya membuatnya puas. Kantung mata yang menghiasi wajahnya pertanda dunia mimpi hanya sekejap ia rasa.

Pagi itu, ingin sekali Namira melepaskan segala riuh pikiran yang berkecamuk dalam kepalanya. Mengarungi samudra mimpi dan berbaring di atas permadani. Sebelum ia mewujudkan keinginan terdalamnya. Terdengar lantunan nyaring.

Bel apartemen berbunyi.

Namira menoleh ke arah interkom di dinding. Rasa malas menyergap meski hanya untuk sekedar melangkah. Disertai dengan langkah yang begitu berat ia berjalan perlahan menuju interkom berada.

Jemari tangannya terayun perlahan. Ia menekan tombol interkom dengan penuh keengganan.

“Paket atas nama Namira,” ujar suara pria dari speaker.

“Letakkan di rak paket,” sahutnya datar, nyaris malas.

Beberapa menit kemudian, barulah ia berjalan keluar dan mengambil paket dari rak yang tersedia di depan lobi tiap lantai. Namun, begitu matanya terantuk pada label pengiriman yang tertera, langkahnya terhenti. Dahi berkerut. Ia membalik paket, membacanya ulang dengan teliti.

Namira Permata – Tower C, Lantai 5, Unit 510.

Ia tinggal di Tower A. Jauh sekali.

Sedetik kemudian terdengar nafasnya yang mendengus kesal.

“Luar biasa...” gumamnya sinis, sembari melirik smartwacth ditangannya.

07.24...

“Apa sekarang zamannya orang tidak bisa membaca?”

“Untuk apa mereka sekolah kalau tak berguna seperti ini,” ujarnya lagi dengan nada kesal.

Langkahnya terayun dengan cepat. Ia kembali ke dalam, meletakkan paket di meja makan dengan kasar. Lalu membuka aplikasi layanan ekspedisi. Jari-jarinya mengetuk layar ponsel dengan kesal. Saat akhirnya tersambung, ia tak menunggu lama.

Selamat pagi, layanan pelanggan Anter Logistik. Ada yang bisa kami bantu?

Suara diseberang telp terdengar renyah.

“Saya menerima paket yang bukan milik saya. Ini jelas kesalahan kurir Anda. Kirim orang untuk mengambilnya sekarang!” ucapnya tajam.

“Saya benar-benar tidak punya waktu untuk membereskan kelalaian orang lain.”

Ba-Baik, mohon maaf atas ketidaknyamanannya, Bu. Kami akan segera mengirim kurir untuk menjemput kembali paket tersebut dalam waktu tiga puluh menit.

“Pastikan dia tidak mengulang kesalahan. Saya tidak akan menoleransi kelalaian dua kali,” ucap Namira tajam.

Sambungan telp berhenti. Nampak kekesalan menghiasi raut wajahnya. Pagi ini, entah kenapa rasa lelahnya semakin menjadi. Namira bergegas meraih cangkir kopi lantas meneguk isinya secepat kilat. Kopi yang begitu dingin terasa hambar. Rasanya semakin memperburuk suasana hatinya.

**

Pukul 07.48, bel pintu kembali berbunyi. Namira membuka pintu dengan gerakan cepat, tanpa niat menyembunyikan ketidaksabarannya. Di hadapannya berdiri seorang pria muda, sekitar akhir tiga puluhan, mengenakan jaket hitam dengan logo ekspedisi. Wajahnya bersih, senyumnya tipis, sikapnya sopan... terlalu santai untuk ukuran seseorang yang datang menebus kesalahan.

“Selamat pagi, Bu Namira. Saya Sean Mahendra, kurir dari Anter Logistik. Mohon maaf atas kesalahan pengantaran tadi.”

Namira mengulurkan paket dengan rasa gusar.

“Lain kali, tolong baca alamat dengan benar. Kalau ini dokumen penting atau barang bernilai, dampaknya bisa fatal.”

Sean menerima paket dengan dua tangan, menunduk sedikit.

“Benar, Bu. Tapi untungnya, kali ini hanya salah kirim, bukan salah niat.”

Namira memicingkan mata.

“Lucu?! Anda menganggap ini sepele karena Anda tidak berada di posisi saya. Kalau saya terlambat lima menit saja ke kantor, saham perusahaan bisa turun. Kalau Anda terlambat... apa?! Motor mogok?”

Alih-alih tersinggung, Sean tetap tenang.

“Setiap pekerjaan punya risikonya, Bu. Saya mungkin hanya kurir, tapi kadang saya mengantar barang yang lebih berharga dari gaji saya sendiri.”

“Tetap saja Anda terlihat terlalu santai,” ucap Namira, menyilangkan tangan di dada.

Tatapannya sinis, seolah meremehkan Sean.

“Santai bukan berarti lalai,” balas Sean, kali ini sedikit lebih mantap.

“Kalau saya panik tiap salah antar, saya tak akan sempat memperbaiki. Saya percaya, reaksi cepat lebih berguna daripada penyesalan panjang,” ujarnya lagi.

Namira terdiam. Ucapan itu menghantam sisi dalam dirinya yang tak ingin disentuh. Tapi ia menolak mengakuinya. Matanya menyipit, mencari nada sarkas di balik kata-kata pria itu. Tak ada.

“Menarik,” kata akhirnya.

“Anda bicara seperti motivator murah di media sosial.”

“Oh… ataukah anda seorang motivator MLM yang handal bermain kata-kata?” ujar Namira.

Mencari celah untuk bisa menjadi pemenang dalam perdebatan yang absurd ini.

Sean hanya tersenyum kecil.

“Semoga kalimat murah itu cukup berharga untuk tidak mengulangi kesalahan hari ini dan semoga Ibu mendapat paket yang tepat di hari-hari mendatang.”

Namira menghela napas pelan. Hampir tak terdengar.

“Saya tidak yakin Anda bisa bertahan lama di pekerjaan ini kalau terlalu rileks begitu.”

Sean mengangguk sekali, tetap ramah.

“Kalau pun tidak, saya akan cari pekerjaan lain yang membuat saya tetap sopan, santai... dan tidak membebani siapa pun dengan ekspektasi yang terlalu tinggi.”

Tanpa menunggu izin, ia mundur selangkah, membungkuk singkat, dan berjalan pergi. Langkahnya ringan, kontras dengan hawa panas yang ditinggalkannya di dalam ruangan.

Namira menatap punggung pria itu sampai menghilang di balik lift. Lalu perlahan menutup pintu. Ia hendak membalas tajam namun urung. Pria muda itu berlalu meninggalkan serpihan hawa panas dalam hati Namira.

Ruangan kembali hening. Tetapi tidak dengan hawa panasnya. Ia menatap cangkir kopi yang sekarang benar-benar dingin, lalu membalikkan badan. Tapi entah kenapa, kepalanya masih sibuk memutar ulang satu kalimat:

Santai bukan berarti lalai

Kalimat itu terus terngiang, seperti nada dering yang tidak dimatikan dan anehnya… itu membuatnya kesal.

Terpopuler

Comments

NurAzizah504

NurAzizah504

aku mampir ya, Thor. ceritanya bagus, penulisannya pun oke

2025-06-22

0

Riddle Girl

Riddle Girl

maaf ya, Thor aku baru mampir hehe. ceritanya keren banget. aku subscribe yaa/Smile/

2025-06-28

0

NurAzizah504

NurAzizah504

dan gamau ngalah juga, wkwk

2025-06-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!