Dalam bayang-bayang dendam, kebenaran menanti untuk diungkap.
Acalopsia—negeri para elf yang dulu damai—kini gemetar di ambang kehancuran. Serangan kaum orc tak hanya membakar ladang, tapi juga merobek sejarah, menghapus jejak-jejak darah kerajaan yang sah.
Revalant, satu-satunya keturunan Raja R’hu yang selamat dari pembantaian, tumbuh dalam penyamaran sebagai Sion—penjaga sunyi di perkebunan anggur Tallava. Ia menyembunyikan identitasnya, menunggu waktu, menahan dendam.
Hingga suatu hari, ia bertemu Pangeran Nieville—simbol harapan baru bagi Acalopsia. Melihat mahkota yang seharusnya menjadi miliknya, bara dendam Revalant menyala. Untuk merebut kembali tahta dan membuktikan kebenaran masa lalu, ia membutuhkan lebih dari sekadar nama. Ia membutuhkan kekuatan.
Dilatih oleh Krov, mantan prajurit istana, dan didorong tekad yang membara, Revalant menempuh jalan sunyi di bawah air terjun Lyinn—dan membangunkan Apalla, naga bersayap yang lama tertidur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Elf Mulia Zenithia
Ruang tidur Zenithia diselimuti aroma bunga kering dan kayu manis, semerbak dari dupa yang terbakar perlahan di sudut ruangan. Langit-langit kristal berukir menggantung di atasnya, memantulkan cahaya keemasan dari lentera air suci. Tirai-tirai dari sutra lembut bergoyang oleh angin malam, namun udara di dalam terasa menyesakkan.
Zenithia duduk di tepi ranjang, tangan gemetar saat ibunya berdiri di depan meja rias, menatap kosong pada kotak perhiasan yang terbuka. Di dalamnya, tinggal satu—ornamen emas berbentuk burung merak, berhiaskan batu biru kecil di matanya.
Yang satu lagi, telah tiada.
“Kau kehilangan satu?” tanyanya pelan. Suaranya seperti suara pisau yang diseret di atas kaca.
Zenithia mengangguk, lambat dan gugup. “Aku... mungkin menjatuhkannya saat berpindah kamar. Aku tidak tahu di mana tepatnya. Sudah kucari.”
Xylum menatap ke dalam kotak itu seolah ingin menelan anaknya hidup-hidup.
“Kau tahu apa yang ayahmu akan katakan jika mengetahui ini? Ornamen itu bukan sembarang hiasan. Itu telah diritualkan oleh pendeta Xiberius sendiri. Supaya auramu terpancar … menarik simpati dengan keanggunan dan... menjadi daya tarik seorang calon ratu!”
Zenithia menelan ludah. Ia tidak berani mengatakan bahwa ia dengan sadar memberikan benda itu kepada seorang Mestiz.
“Aku benar-benar tidak sengaja... Mungkin tertinggal di ruang perjamuan atau kamar pelayan,” ucapnya, mencoba tetap tenang.
Xylum mendekat perlahan, matanya tajam seperti pecahan kaca. “Apa Nieville melihatmu tanpa hiasan itu?”
“Aku... tidak yakin,” jawab Zenithia, berbohong setengah-setengah.
“Kau sudah tahu betapa berharganya benda ini, Zenithia ….” Xylum berdesis. “Nieville... dia belum tergenggam sepenuhnya.”
Zenithia mengangkat wajahnya. Ada letupan kecil di balik kelembutan matanya. “Ibu... apa benar harus seperti ini? Apa harus dengan benda-benda magis agar aku dicintai?”
Xylum mendengus. “Cinta hanyalah bunga yang mekar karena disiram kebiasaan. Apa kau pikir semua ratu di dunia ini dilamar karena cinta?”
Zenithia tak menjawab. Kepalanya tertunduk lagi. Tapi jauh di dalam hatinya, ia merasa muak.
“Kau adalah putri satu-satunya dari keluarga Garya. Dan hanya kaulah yang cukup layak menjadi ratu mendampingi keturunan Raja Lowin,” ucap Xylum tegas.
Zenithia menatap ibunya dengan nanar mata yang memelas.
“Jangan menatapku seperti itu,” lanjut Xylum. “Semua wanita bangsawan berusaha merebut tahta dengan cara mereka sendiri. Natu Tallava bahkan terang-terangan ingin mendekatinya. Apa kau mau membiarkan dia mengambil tempatmu?”
Zenithia menggigit bibirnya.
“Kau memiliki segalanya—kecantikan, nama besar, pendidikan, dan restu kerajaan. Yang tidak kau miliki hanyalah keberanian untuk... menuntut takdirmu.”
Zenithia berdiri pelan, mencoba tetap tenang. “Bagaimana jika takdirku bukan di sana?”
Xylum mencibir. “Kau akan menyerahkan mahkota hanya karena perasaan seorang pangeran yang belum mantap? Gadis naif. Cinta itu bisa dibentuk, dibiasakan, dipahat dari waktu. Tapi tahta... hanya sekali datang.”
“Lalu… jika aku gagal?” suara Zenithia kecil, tapi jelas.
Xylum menoleh cepat, seolah kalimat itu adalah penghinaan.
“Jangan pernah bicara seperti itu! Kalau ayahmu mendengar, ia akan mengurungmu di Sayap Timur sampai musim berganti!”
Ia mendekat, jari telunjuknya menuding ke dada putrinya. “Kau tidak boleh gagal. Nieville adalah takdirmu, entah kau percaya atau tidak.”
Ketukan pelan di pintu menghentikan ketegangan.
Seorang pelayan masuk sambil membungkuk. “Permisi, Nyonya. Ada kiriman dari Pangeran Nieville.”
Keduanya menoleh. Sang pelayan menyerahkan kotak kayu halus dengan ukiran lambang istana dan pita biru yang terikat rapi. Xylum buru-buru membukanya. Sebuah lukisan yang menggambarkan burung merak terbang di atas hutan musim dingin—dalam bingkai perak yang disepuh lembut.
Senyum tipis muncul di wajah Xylum. “Lihat? Ini tandanya dia mulai melirikmu. Kau hanya perlu tetap... berada dalam pandangan matanya.”
Zenithia memandang hadiah itu dengan campuran bingung dan hampa. Ia tahu Nieville bersikap baik. Hanya sekedar sikapnya yang baik untuk menghormatinya sebagai tunangan. Selebihnya … dingin.
Pelayan pergi.
Xylum berkata lagi, “Besok, kau akan mengenakan gaun biru keperakan. Satu-satunya jepit rambut yang tersisa, pakai! Jangan hilangkan lagi.”
Zenithia tak menjawab. Tangannya meraba ujung rambutnya yang masih basah setelah mandi. Ia membayangkan Sissel... di tengah pesta malam itu, diceburkan, dan dia—tanpa berpikir panjang—menuruni kolam untuk mengangkatnya.
Ia tidak menyesalinya.
Ia hanya... lelah berpura-pura bahwa kemuliaan hanya bisa tumbuh dari darah bangsawan.
Saat Xylum keluar dari kamar, membawa lukisan itu dengan ekspresi puas, Zenithia memandang langit dari balik tirai tipis.
Angin malam menyelinap masuk, membawa suara lembut dari kejauhan.
Seandainya dunia ini memilih takdirnya sendiri… mungkin tidak ada ratu, tapi hanya wanita yang tahu caranya bertahan sebagai dirinya.
Samar-samar terdengar suara berat dan menggetarkan, seperti kepakan kain raksasa yang memecah keheningan langit.
Kepakan sayap besar.
Zenithia mencondongkan tubuh ke jendela. Di kejauhan, dari balik bayang pepohonan, seberkas cahaya putih bergerak cepat di langit, menukik pelan menuju halaman samping.
Igarus.
Zenithia mengenali griffin itu—makhluk bersayap suci milik Panglima Fardaq. Tapi yang mengendarainya bukan sang panglima.
“Luca?” bisiknya pelan.
Tanpa pikir panjang, ia berlari keluar kamar, menyusuri koridor marmer, lalu menuruni tangga ke taman sisi timur yang sepi.
Benar saja.
Luca—dengan jubah pelatihan yang belum sempat diganti dan wajah yang masih dibasuh angin malam—turun dari punggung Igarus sambil menahan kendali makhluk itu. Ia tampak santai… terlalu santai untuk seseorang yang sedang menunggangi makhluk panglima perang tanpa izin.
Zenithia menghampiri, gaunnya mengayun cepat. “Luca! Apa yang kau lakukan?! Itu... itu Igarus!”
Luca menoleh cepat, lalu menyeringai. “Ah, kau benar. Dia ingin terbang. Dan kau tahu aku tak bisa menolaknya.”
Zenithia menyipitkan mata. “Ayahmu bisa membakarmu hidup-hidup jika tahu kau menerbangkan griffin-nya malam-malam begini.”
Luca tertawa kecil. “Kalau begitu, jangan bilang siapa-siapa. Kau sahabatku kan, bukan mata-mata keluarga bangsawan?”
Zenithia menghela napas, tapi tak bisa menyembunyikan senyum tipisnya. Igarus mengepakkan sayapnya pelan, lalu merunduk, membiarkan tubuhnya beristirahat di rumput basah taman.
“Kenapa kau datang?” tanya Zenithia setelah beberapa detik keheningan.
Luca memperhatikan wajahnya yang masih terlihat tegang dan sedikit murung. “Seharusnya aku yang bertanya. Wajahmu seperti awan badai yang kehilangan hujan.”
Zenithia mendongak, menatapnya lama. “Apa kau masih ingat taman ini?”
“Tentu,” sahut Luca. “Dulu kita pernah menyelinap dari pesta perayaan Pangeran Nieville hanya untuk menyaksikan kunang-kunang dari balik semak. Kau bilang... cahaya mereka lebih jujur daripada senyuman para bangsawan.”
Zenithia tertawa kecil, nyaris getir. “Aku masih percaya itu.”
Luca duduk di tepi batu besar di sisi kolam kecil taman. “Apa yang terjadi?”
Zenithia diam. Lalu, dengan suara pelan yang hampir larut dalam angin malam, ia berkata, “Aku bertemu Mestiz lain.”
Luca menoleh, keningnya berkerut. “Selain Val?”
Zenithia mengangguk. “Seorang gadis… di pesta panen Tallava. Ia dilempar ke kolam oleh para nona bangsawan. Dan saat semua orang tertawa, aku... aku turun untuk menariknya keluar.”
Luca menatapnya lama. “Kau selalu punya hati yang lebih hangat dari siapa pun.”
“Bukan soal hatiku,” bisik Zenithia. “Aku hanya tak tahan melihat... ketidakadilan dijadikan hiburan. Mereka memperlakukan gadis itu seperti kotoran. Tapi dia... dia punya keberanian dalam matanya.”
“Sepertimu,” ujar Luca pelan.
Zenithia menoleh. Tatapan mereka bertemu dalam diam. Hanya suara napas Igarus dan bisik rerumputan malam yang mengisi jarak di antara mereka.
“Aku sudah melakukan sesuatu yang membuat ibuku marah,” ucap Zenithia, berganti topik. “Tapi aku tidak menyesalinya.”
Luca menatap langit. “Kalau begitu... semoga kau tidak menyesal dengan sisa keputusan yang kau buat.”
“Apakah kau percaya bahwa seseorang bisa ditakdirkan hanya karena darah?” tanya Zenithia tiba-tiba.
Luca tersenyum pahit. “Aku tidak tahu takdir siapa-siapa. Tapi, orang-orang sepertiku dan Val... kami selalu dipaksa untuk menjadi lebih baik hanya agar dianggap cukup. Sedangkan yang lain... hanya perlu lahir.”
Zenithia mengangguk perlahan.
Malam semakin dalam. Luca akhirnya berdiri, menepuk bahu Igarus yang sudah bersiap terbang kembali.
“Aku harus kembali sebelum ayahku bangun untuk latihan fajar.”
Zenithia menatapnya dengan sorot penuh pertanyaan. “Luca... terima kasih.”
“Untuk apa?”
“Untuk menjadi satu dari sedikit orang... yang membuatku merasa tidak sendirian.”
Luca hanya mengangguk. “Jangan laporkan ini kepada ayahku jika kau masih ingin melihatku.”
Zenithia tertawa.
Igarus mengepakkan sayapnya. Sekali gerakan, ia mengangkat tubuh Luca dan membawanya melesat ke langit.