Mencintaimu bagai menggenggam kaktus yang penuh duri. Berusaha bertahan. Namun harus siap terluka dan rela tersakiti. Bahkan mungkin bisa mati rasa. - Nadhira Farzana -
Hasrat tak kuasa dicegah. Nafsu mengalahkan logika dan membuat lupa. Kesucian yang semestinya dijaga, ternoda di malam itu.
Sela-put marwah terkoyak dan meninggalkan noktah merah.
Dira terlupa. Ia terlena dalam indahnya asmaraloka. Menyatukan ra-ga tanpa ikatan suci yang dihalalkan bersama Dariel--pria yang dianggapnya sebagai sahabat.
Ritual semalam yang dirasa mimpi, ternyata benar-benar terjadi dan membuat Dira harus rela menelan kenyataan pahit yang tak pernah terbayangkan selama ini. Mengandung benih yang tak diinginkan hadir di dalam rahim dan memilih keputusan yang teramat berat.
'Bertahan atau ... pergi dan menghilang karena faham yang tak sejalan.'
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwidia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 23 Firasat
Happy reading
May, aku menerima tawaran Oma-mu untuk menjadi dokter relawan. Malam ini juga, aku akan berangkat ke Desa W untuk menemui mu.
Dira segera mengirim pesan ke nomor Humaira begitu tiba di rumah.
Tanpa menunggu waktu lama, balasan pesan dari Humaira terkirim ke gawainya.
Ok, sip. Aku sampaikan ke Oma.
Tapi aku minta satu syarat, balasnya.
Apa?
Tolong, jangan beri tahu siapa pun mengenai hal ini.
Kenapa? Kamu nggak enak sama pimpinan Rumah Sakit Sehati?
Bukan. Aku hanya ingin pergi dan menghilang, May. Nanti, aku jelasin alasan ku.
Baiklah. Aku tunggu di rumahku. Jika kamu butuh bantuan, jangan sungkan untuk menghubungi aku.
Oke
Dira kembali menyimpan gawainya ke dalam tas, lalu bergegas menaiki anak tangga dan berjalan menuju kamar.
Tekadnya sudah bulat.
Pergi dan menghilang dari kehidupan Dariel. Melupakan semua kenangan yang pernah mereka lewati bersama dan menjadi dokter relawan.
Selesai berkemas, Dira meninggalkan gawainya di atas meja tanpa terlupa menghapus semua chat dan riwayat panggilan telepon. Ia tidak ingin keberadaannya kali ini terendus oleh siapa pun, terlebih Dariel.
Dira berjalan pelan agar langkah kakinya tak terdengar oleh Milah. Namun tanpa disangka, ternyata Milah sudah berdiri di depan pintu dan bersiap untuk menutup pintu itu.
"Loh, Mbak. Mau ke mana? Kenapa Mbak Dira bawa tas punggung?" Milah menghujani Dira dengan rentetan pertanyaan. Wanita paruh baya itu mengendus gelagat mencurigakan yang ditunjukkan oleh Dira.
"Aku mau berangkat bertugas, Mbok." Dira menjawab tanya disertai seutas senyum yang sedikit dipaksa.
Andai bisa memilih, ingin rasanya ia tetap berada di sini. Namun kini tidak ada pilihan selain pergi dan menghilang.
Mungkin untuk sementara, atau selamanya.
"Mbak Dira bertugas di mana?" Milah kembali bertanya.
"Aku belum tau pastinya di mana, Mbok."
"Loh --"
"Tolong sampaikan pada Ayah dan Bunda ... malam ini aku pamit. Insya Allah, aku akan sering mengirim kabar, Mbok."
"Kenapa harus malam ini yang berangkat, Mbak? Kenapa ndak besok pagi saja?"
"Mbok, keadaan di tempat tujuan sudah sangat genting. Jadi, aku harus pergi malam ini."
"Tapi, Mbak --" Lidah Milah serasa kelu, manik matanya terbingkai sendu. Ia sungguh tidak rela membiarkan Dira pergi malam ini. Seolah mereka akan berpisah untuk waktu yang cukup lama.
Ingin mencegah. Namun bibirnya terkunci. Terkalahkan rasa yang memenuhi rongga dada dan membuat tenggorokannya tercekat.
"Mbok, nitip Ayah dan Bunda ya. Jaga kesehatan Simbok dan selalu doakan aku." Dira tersenyum samar dan memeluk tubuh Milah.
Milah pun membalas pelukan Dira dan seakan berat untuk melepas.
"Mbak, jangan pergi," bisiknya lirih disertai air bening yang menetes dari kedua sudut netra.
"Aku harus pergi, Mbok." Dira berusaha menahan tangis yang ingin tertumpah dengan melipat bibirnya dan mengeratkan pelukan.
Ia harus terlihat tegar di depan Milah, agar wanita paruh baya itu tidak bersikukuh mencegahnya pergi.
"Aku pamit ya, Mbok."
Perlahan Dira mengurai pelukan, lalu menyeka wajah Milah yang basah.
Lantas melangkah pergi dengan hati yang terasa remuk redam. Meninggalkan Milah dan kedua orang tuanya yang teramat dicinta.
Selamat tinggal, Mbok Milah, Ayah, Bunda .... Jika Allah mengizinkan, kita pasti akan bertemu lagi. Mungkin di dunia ini, atau ....
"Mbak Dira! Mbak! Jangan pergi!"
Dira melajukan kuda besi, mengabaikan suara teriakan Milah dan menerjang dinginnya angin malam, tanpa menghiraukan tubuhnya yang terasa lelah karena seharian menunaikan tugas sebagai seorang dokter.
"Mbak Dira, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Simbok merasa, Mbak Dira sengaja pergi dari rumah? Bukan pergi karena tugas."
Milah menghela napas dalam dan menyeka wajahnya yang kembali basah.
Tak berselang lama, terdengar suara mobil memasuki halaman rumah.
Tentu saja Milah sangat hafal dengan suara itu. Pastinya suara mobil milik sang majikan.
"Tuan, Nyonya. Kenapa baru pulang?" Milah menyapa dan sekedar berbasa-basi.
"Iya, Mbok. Pesta ulang tahun Dariel meriah banget dan banyak tamu yang diundang. Ini saja kami terpaksa bolos karena pestanya belum selesai." Nisa menjawab sambil menutup pintu mobil.
"Owh --"
"Dira sudah pulang, Mbok?" Nisa ganti bertanya.
"Su-sudah, Nyah. Tapi langsung pergi lagi."
"Loh, pergi ke mana?"
"Eng anu. Lebih baik Tuan dan Nyonya masuk ke dalam dulu. Ada amanat yang harus saya sampaikan."
"Amanat dari siapa?" Firman turut bertanya.
"Dari Mbak Dira, Tuan."
"Ada apa dengan Dira, Mbok? Kenapa dia menitipkan amanat? Tidak biasanya Dira seperti itu."
"Eng, anu, Tuan."
Firman menghela napas panjang, lalu mengayun langkah. Disusul oleh Nisa dan Milah yang berjalan tepat di belakangnya.
Sebagai seorang ayah, Firman memiliki firasat yang kurang mengenakan tentang Dira.
Entah mengapa, saat ini Firman sangat mengkhawatirkan putri semata wayangnya itu.
Sama seperti Firman. Nisa pun memiliki firasat yang kurang mengenakan. Perasaan nya diliputi kecemasan dan ketakutan.
🌹🌹🌹
Bersambung
sukses selalu buat Autor yg maniiiss legit kayak kue lapis.
apalagi aku..
itu memang nama perusahaannya..??
wawww
aku aminkan doamu, Milah
ya pastilah hasratnya langsung membuncah