Di malam pertunangannya, Sahira memergoki pria yang baru saja menyematkan cincin pada jari manisnya, sedang bercumbu dengan saudara angkatnya.
Melihat fakta menyakitkan itu, tak lantas membuat Sahira meneteskan airmata apalagi menyerang dua insan yang sedang bermesraan di area basement gedung perhotelan.
Sebaliknya, senyum culas tersungging dibibir nya. Ini adalah permulaan menuju pembalasan sesungguhnya yang telah ia rancang belasan tahun lamanya.
Sebenarnya apa yang terjadi? Benarkah sosok Sahira hanyalah wanita lugu, penakut, mudah ditipu, ditindas oleh keluarga angkatnya? Atau, sifatnya itu cuma kedok semata ...?
"Aku Bersumpah! Akan menuntut balas sampai mereka bersujud memohon ampun! Lebih memilih mati daripada hidup seperti di neraka!" ~ Sahira ~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASA : 26
“Jawab, Rimbi! Siapa yang cocok dijadikan kandidat?!” Jenny bertanya ulang.
Arimbi menyeringai. “Wira Tama, dialah yang paling pas melecehkan Sahira.
“Gila kau!” Jenny meradang, ia sampai terlonjak dari sofa yang didudukinya. “Jangan Wira! Aku tak setuju!”
“Apa yang kau harapkan, Jenny? Dia hanya teman ranjangmu, setelahnya menjadi asing bila di luaran sana. Terlebih Wira, sangat menjaga jarak, kau sama sekali tak berarti dimatanya!” dengus Arimbi.
“Mengapa harus dia? Kita bisa menyewa gigolo, bukankah mereka lebih profesional?” Jenny mencoba menawar, tapi tidak menyanggah pernyataan Arimbi. Ya, hubungannya dengan Wira cuma sebatas olahraga ranjang, tak ada ikatan. Selepas bercinta, maka selesai pula keintiman mereka.
"Saya rasa, pilihan Nyonya Arimbi sudah tepat, Nona Jenny.” Adisty memandang biasanya saja pada wanita berstatus janda, tapi keukeuh mau dipanggil Nona.
“Mengapa? Karena sebelumnya tuan Wira dan Sahira terikat hubungan pertunangan, belum ada kata putus ataupun berakhirnya status itu. Yang berarti, salah satu dari mereka bisa menuntut,” Adisty mulai menjabarkan pemikirannya.
“Bila tuan Wira bersedia mengikuti skenario kita, dia bisa menggunakan statusnya sebagai tameng atas tindakan pelecehannya nanti. Bukankah bukan hal tabu lagi, sepasang kekasih sebelum menikah sudah melakukan hubungan suami-istri? Poin penting itu dapat menyelamatkannya dari ancaman hukuman.”
“Bagaimana bila Thariq murka, tak terima, lalu menuntut Wira, dan tentu saja pria culas sepertinya takkan terima kalau cuma dirinya sendirian yang kena getahnya. Kita pun bakalan terancam dipidana.” Jenny menyanggah, memberikan argumen masuk di akal.
“Kalau perihal itu, mudah. Kita bisa menggunakan bakti serta balas budi sebagai senjata utama. Minta kepada tuan Sigit Wiguna untuk menekan Sahira, anggap saja sebagai kompensasi yang wajib ia bayarkan dikarenakan sudah dipungut, dibiayai pendidikannya, tapi bayarannya tak berupa rupiah melainkan tutup mulut. Seperti dulu kala Nyonya Arimbi sering merundungnya.” Adisty menyilangkan kaki, menatap tanpa ekspresi.
“Jen, hubungi Wira. Suruh si mesum itu datang, sekarang juga!” Arimbi sudah memutuskan, dan keinginannya tak lagi dapat diganggu gugat.
Tak butuh lama, sekitar 15 menit kemudian, sosok Wira sudah duduk di sofa ruang tamu apartemen Arimbi.
Sama seperti Jenny Mandala, Wira Tama pun sama terkejutnya, saat mengetahui tunangannya masih hidup. Terlebih tentang penampilan seksi wanita itu.
“Brengsek! Ternyata dia ingin mempermainkan ku!” Pria seumuran dengan Thariq itu, mengepalkan tangan sampai buku-buku jari memutih.
“Kau harus bisa menjebaknya! Terserah mau mau diapakan. Buat Benalu itu trauma seumur hidup!” Arimbi menekankan setiap kalimat, terlihat amarah yang membara disorot matanya.
“Serahkan padaku!” Wira terkekeh, sudah terbayang dalam pikiran, hukuman apa yang cocok untuk Sahira.
“Ini obat perangsang khusus untuk wanita. Cukup teteskan pada air minum, ataupun jus. Ini sama sekali tak berbau dan berwarna, sehingga memudahkan Anda mengelabui Sahira.” Adisty memberikan botol kaca pipet berukuran kecil yang masih bersegel.
Wira menolak mentah-mentah. “Aku tak membutuhkan itu. Cukup mengajak dua orang pria untuk ikut menggagahinya, dapat dipastikan akan menjadi kenang-kenangan terindah seumur hidupnya.”
Adisty menyimpan kembali botol kecil tadi, sama sekali tidak mempermasalahkan penolakan Wira Tama.
Rencana sudah disusun matang, kesepakatan telah disetujui. Mereka membagi tugas demi mengetahui dimana tempat persembunyian Sahira.
.
.
Pagi hari.
Thariq memandang lekat wanita yang masih terbuai mimpi. Ia ingin mematri wajah Sahira dalam sanubari. Berat, sungguh hatinya meragu ingin pergi tanpa membawa serta sang istri.
“Sayang ….” Ia kecup lembut kening, pucuk hidung, pipi, lalu bibir. “Saya berangkat dulu ya, bila kau sudah bangun, tolong kirim pesan.”
Sekali lagi, Thariq mencium dahi Sahira, lalu melangkah pelan agar wanitanya tetap terlelap.
Pria itu tak langsung keluar, terlebih dahulu menulis note di kertas kecil, lalu menempelkan pada buku jurnal di atas meja ruang tamu.
Bukan untuk Sahira, tetapi asisten rumah tangga. Yang isinya, tentang apa saja harus dibeli, dan semuanya kebutuhan istri mudanya. Mulai dari camilan, buah kesukaan, bahan membuat kue, hingga pembalut.
Ya, hampir dua bulan semenjak pertama kali bertemu Sahira, Thariq menjadi pengamat yang jeli, mempelajari sifat, sikap, kebutuhan wanita itu.
Sahira tak pernah dituntut harus seperti apa, Thariq membebaskan nya, baik dalam berbusana, bersikap. Yang dia mau, Sahira cukup bernapas seraya menikmati hari, bahagia tanpa terbebani tanggung jawab.
Thariq Alamsyah sendiri, bukan tipe pria yang apa-apa dilayani, diperlakukan bak raja, wanita diharuskan menurut, wajib menjalankan perannya sebagai seorang istri. Dia ingin, wanitanya selalu merasa nyaman, aman, terlindungi.
Di dalam kamar, mata yang tadi terpejam itu kini terbuka lebar. Sahira mendengar kata sayang dari Thariq, dia pun merasakan saat wajahnya dikecup. Namun, enggan menanggapi.
“Hal yang ku benci ialah, berhadapan dengan orang jatuh cinta, melankolis, sungguh merepotkan,” gerutunya, lalu beranjak dari tempat tidur setelah mendengar pintu dibuka dan ditutup kembali.
***
“KAMI MENOLAK NEGOSIASI! PERUSAHAAN WAJIB MENANGGUNG BEBAN SELURUH ANGGOTA KELUARGA KORBAN! BERI KAMI KEADILAN WAHAI PEMIMPIN YANG TERHORMAT!!”
Sahira menggelengkan kepala, seruan itulah yang menemani harinya. Sang suami terus melakukan panggilan disaat sedang meredam aksi demo di pabriknya.
Nyaris seharian penuh, headset bluetooth setia menyumpal telinga Thariq Alamsyah. Bukan satu jam sekali seperti janjinya, tapi sambungan telepon yang terhubung ke istrinya hampir tak terputus dari mulai ia beraktivitas hingga pulang ke hotel.
“Sudah lelah belum?” tanya suara di seberang sana, terdengar letih.
“Yang capek itu Abang, bukan aku. Istirahat ya, agar esok bertenaga lagi menyelesaikan urusannya, biar cepat pulang kesini.” Hira menyanggah pipi, dia berbaring telungkup di ranjang, netranya memandang Thariq yang juga rebahan.
Thariq tersenyum masam. “Iya, hari ini sedikit melelahkan. Semoga esok sudah terselesaikan. Saya sudah merindukan mu, Sahira.”
“Sama, aku juga kangen pake bangettt.”
“Saya suka sekali bila melihat tanganmu ikut bergerak mengikuti setiap kalimat yang kau ucapkan. Terlihat sangat indah.” Thariq menyanggah kepalanya menggunakan tangan kanan.
Sepersekian detik Sahira termangu, lalu tersenyum manis. “Aku suka mengekspresikan kata-kata yang terlontar.”
Obrolan ringan itu tak berlangsung lama, dikarenakan Thariq ketiduran, ponselnya masih terhubung dengan Sahira.
Sahira mematikan panggilan, lalu membuka aplikasi WhatsApp-nya, ternyata ada pesan dari Mustika.
Dia membalas, menyanggupi permintaan adik iparnya yang mengajak makan siang di Resto Nusantara.
.
.
Satu hari kemudian.
“Thariq, cantik tidak?” Sahira berputar di depan ponsel, meminta pendapat pria berkemeja polos dan celana bahan.
“Tumben mengenakan celana, biasanya selalu gaun?” Thariq balik bertanya, memandang lekat sosok langsing yang mengenakan setelan celana dan tanktop berwarna hitam.
“Ingin menyesuaikan dengan busana Mustika, dia kan lebih suka setelan daripada gaun. Ini nanti aku lapisi dengan sweater rajut longgar. Bagaimana?”
“Cantik, manis, sempurna.”
Sahira tertawa renyah, terlebih setelah mendengar sayup-sayup suara pengumuman, dia langsung dapat menebak keberadaan Thariq.
“Aku tutup ya panggilannya. Tahan rindumu sejenak, sebab aku mau menghabiskan waktu ala-ala remaja. Bye bye … Thariq.” Ia sempatkan mengedipkan mata.
Thariq tertawa lirih, belum sempat mengatakan hati-hati, sudah lebih dulu sambungan telepon genggam dimatikan oleh sang istri.
“Tuan, setengah jam lagi pesawatnya take off.” Damar datang dengan membawa dua cup kopi.
"Apa kau sudah menemukan detektif terpercaya dan dapat diandalkan, seperti keinginan saya, Damar ...?"
.
.
Bersambung.
lambe nya itu lho... lamis sekali....