NovelToon NovelToon
Jangan Sentuh Aku

Jangan Sentuh Aku

Status: sedang berlangsung
Genre:Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Cinta Seiring Waktu / Dokter / Slice of Life
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Lanjutan Kisah Dokter Hanif Pratama(Spin Off Memiliki Bayi Dari Pria Yang Kubenci)

Dokter Hanif Pratama sudah dua kali jatuh cinta—dan dua-duanya berakhir luka. Ia dokter anak yang tak lagi percaya bahwa cinta bisa hadir di hidupnya. Tapi semua berubah saat ia bertemu Sekar Pratiwi, apoteker dingin yang baru kembali dari Amerika. Wajah cantiknya menyimpan rahasia kelam, dan sikap tertutupnya tak mudah ditembus.

Sekar bukan perempuan biasa. Ia tumbuh dengan trauma dan luka yang membekas dalam. Dunia baginya hanya ruang sunyi, tempat untuk bertahan. Tapi kehadiran Hanif—yang penuh perhatian namun tak pernah memaksa—secara perlahan meruntuhkan tembok pertahanan yang ia bangun selama bertahun-tahun.

Saat masa lalu datang kembali menuntut balas, dan rasa tidak layak mulai merayap di hati Sekar, Hanif tetap memilih tinggal. Menemani. Mendengarkan. Mencintai.
Ini tentang cinta yang datang setelah semua luka. Setelah tangis, trauma, dan keraguan. Cinta yang tidak perlu sempurna.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8

“Katanya foto itu diambil pas malam minggu kemarin...”

“Dia bareng direktur? Serius?”

“Gila. Pantesan naiknya cepet banget, ya?”

“Kalau udah deket ‘orang atas’, ya tinggal duduk manis, toh?”

Telinga Sekar berdenging mendengar suara-suara itu kala memasuki instalasi farmasi. Dari tatapan mereka yang terlihat seperti ingin menelanjanginya, dari nama yang mereka sebutkan—direktur, Sekar seolah bisa menebak siapa yang mereka bicarakan.

Jantungnya mencelus, tapi wajahnya tetap pura-pura tenang. Langkahnya tetap tegap seolah tak menghiraukan pandangan sinis mereka. Namun bohong jika dadanya tak berdebar. Bohong jika darahnya tidak berdesir panas mendengar semua itu. Dan rasa penasarannya mencuat makin besar.

Begitu sampai di ruangannya, Sekar buru-buru membuka ponsel. Dirinya sempat bingung mau mengecek foto yang mereka maksud itu ke mana. Akan tetapi, sebuah notifikasi pesan masuk—dari grup karyawan di whatsApp—sukses membuat mentalnya terpukul detik itu juga.

Foto dirinya. Bersama Direktur Rumah Sakit. Duduk berdua di meja restoran. Sudut pengambilan foto dari kejauhan, tapi wajah mereka jelas. Terlalu jelas.

Sekar membatu sesaat. Tak menunjukkan ekspresi yang berlebihan. Dia hancur, tapi wajahnya tetap tenang. Hanya saja tangannya meremat ponsel makin erat. Napasnya terhela lambat—berulang kali. Pesan-pesan yang masuk setelah gambar itu dikirim semakin membuatnya tertekan—

[parah banget, gila! Pantes sering banget ke ruangan dirut. Ternyata ada main.]

[Sosoan idealis. Sok misterius juga. Ternyata nggak lebih dari sekedar pecun.]

[Serem ya zaman sekarang. Mau jabatan ya solusinya ngangkang.]

Ketikan-ketikan itu membuat mata Sekar memanas. Dia menggeleng pelan, menekankan pada dirinya sendiri jika dia tidak boleh menangis. Tapi sialnya, air mata itu tak bisa dicegah sebagai bentuk karakter dirinya yang manusiawi.

Sekar bisa capek...

Sekar bisa lelah....

Sekar bisa merasa tak baik-baik saja meski selama ini ia terlihat tegar....

Tangannya gemetar. Bibirnya tergigit dalam. Wanita itu akhirnya merebahkan kepalanya ke atas meja. Pandangannya kosong. Air mata mulai jatuh mengaliri pangkal hidung, lantas terjun ke permukaan meja kaca.

Tak lama kemudian terdengar suara pintu ruangan yang dibuka. Sekar bahkan malas menoleh untuk sekedar melihat siapa yang datang. Tapi detik berikutnya, sebuah suara terdengar menyapa telinga. Suara berat, halus, yang tiga hari lalu sempat ia antar pulang.

“Sekar...”

Jantung Sekar berdentum. Perlahan dia mengangkat wajah, memperlihatkan ekspresi defensif. Galak, tak ada senyum sedikit pun di wajahnya.

Pria itu malah memberanikan diri melangkah masuk, lantas menutup pintu. Suaranya tenang. Bahkan saking tenangnya, Sekar jadi takut kalau Hanif sudah membaca gosip murahan itu.

Dan ternyata ....

“Aku lihat fotonya.”

Perkataan itu cukup menampar Sekar, membuat batinnya terguncang. Namun dia tidak memperlihatkan ekspresi yang cukup berarti. Buru-buru dia seka air matanya, lantas menegakkan badan, menatap Hanif dengan sorot tajam.

“Kalau mau menghakimi, silakan keluar. Jangan ikut campur urusanku!” sentak Sekar, seolah tak ingin berinteraksi lebih jauh dengan siapa pun—termasuk pria ini.

Namun Hanif tidak beranjak. Dia masih di sana. Lalu selang beberapa detik, dia berkata—

“Aku percaya kamu.”

Sekar terdiam. Napasnya tercekat. Ia menatap Hanif dengan sorot yang semula marah, tapi kini perlahan melembut. Ada kebingungan, ada keterkejutan, dan—meski dia enggan mengakuinya—ada secuil rasa lega.

Hanif melangkah lebih dekat. Tak banyak. Hanya satu-dua langkah ke depan. Tapi cukup untuk membuat jarak mereka menipis.

“Aku tahu semua orang di sini lagi sibuk membentuk opini. Tapi aku juga tahu kamu bukan seperti yang mereka pikirkan,” lanjutnya tenang. “Dan jujur aja... aku nggak peduli mereka bilang apa.”

Sekar menyipitkan mata. “Kenapa kamu bela-belain ngomong gitu ke aku? Kita bahkan nggak dekat.”

“Karena aku tahu rasanya dijatuhin tanpa kesempatan membela diri,” ucap Hanif. “Dan karena... aku tahu kamu bukan perempuan yang bisa dipaksa tunduk cuma karena kedudukan.”

Sekar menahan napas. Kata-kata itu menusuk, tapi dengan cara yang aneh—hangat. Ia menunduk, membuang napas pelan. Suaranya ketika kembali terdengar... lirih.

“Foto itu cuma makan malam biasa. Aku... enggak tahu siapa yang motret. Atau kenapa harus diunggah ke grup kerja.”

Sekar bahkan tak tahu kenapa ia menjelaskan ini pada Hanif—seakan takut pria itu salah paham. Gesturnya, ekspresinya, semua itu membuat Hanif paham Sekar sedang memaksakan diri bercerita.

Pria itu tak menghakimi. Tak juga mendesak Sekar jujur meski sampai sekarang ia penasaran apa urusan Sekar dengan direktur rumah sakit itu. Dia hanya berkata dengan pelan dan lembut—

“Kamu enggak harus jelasin apa pun ke aku. Tapi aku mau kamu tahu satu hal—“ dia menjeda ucapannya sebentar, “—aku di pihakmu.”

Sekar kembali menatapnya. Lama. Mencari-cari kebohongan di balik sorot mata itu. Tapi yang ia temukan hanya... kejujuran. Yang membuat dadanya makin terasa berat.

Pria ini ... entah kenapa membuat dirinya merasa tenang dengan setiap kalimat yang ia ucap di bibir. Padahal bisa dibilang pertemuan mereka bukanlah pertemuan yang pantas dikenang. 75%nya diisi oleh perdebatan. Tapi kali ini Hanif beda. Dia datang dengan seonggok dukungan moril yang sejak dulu Sekar ingin dapatkan.

Hening menguasai suasana. Denting jam di dinding terdengar kontras memecah sunyi. Hanif masih di sana, menatapnya lama. Sampai akhirnya Sekar tak tahan lagi, dan dia pun menceritakan lukanya pada orang asing—pertama kalinya.

“Aku ... nggak pernah benar-benar nyaman ada di sini.”

Pelan, dalam. Suara Sekar terdengar di antara lirihan napasnya.

Hanif perlahan mengangguk. Menangkap sinyal baik yang dikirimkan Sekar.

“Karena tempat ini terlalu bising?” tanyanya, tak mendesak, hanya menyambung rasa.

Sekar menatap ke arah jendela. “Terlalu bising, terlalu sempit... terlalu penuh dengan orang yang siap menusuk dari belakang. Aku kerja karena butuh. Tapi lama-lama rasanya kayak bertahan hidup.”

Hanif duduk di tepi meja, tidak menatapnya secara langsung, memberi ruang, tapi tetap hadir. “Aku nggak bisa janji suasana bakal berubah, Sekar. Tapi kalau kamu butuh tempat bernapas... aku bisa jadi itu.”

Kalimatnya sederhana, tapi dampaknya terasa. Sekar menoleh cepat. Sorot matanya penuh ragu. “Kamu enggak takut deket-deket sama aku sekarang? Bisa-bisa kamu jadi bahan gosip juga.”

Hanif tersenyum kecil. “Yah... kalau aku harus jadi bahan omongan demi bikin kamu ngerasa nggak sendirian, aku rasa itu harga yang pantas.”

Sekar mendesah pelan. “Kamu terlalu tenang. Itu menyebalkan.”

“Tapi kamu nggak nyuruh aku keluar tadi.”

Sekar mendengus. “Karena kamu keras kepala.”

Hanif tertawa pelan. “Atau karena kamu mulai percaya.”

Sekar tak menjawab. Tapi wajahnya melembut. Tangannya memainkan ujung tisu yang kini lemas di atas meja. Hening lagi. Tapi bukan hening yang dingin.

Hening yang mengendap—mengisi ruang dengan makna tak terlihat.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!