NovelToon NovelToon
Rengganis Larang

Rengganis Larang

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Action / Misteri / Hantu / Roh Supernatural / Fantasi Wanita
Popularitas:918
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.

Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.

Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Panti, Anak Anak, dan PeringatanTerakhir

“Dia bilang... aku pewaris.”

Suara Kenan masih bergema di kepala mereka ketika mobil akhirnya kembali melaju pelan di jalanan sepi menuju Yayasan Santa Ursula. Mesin Avanza seolah sadar telah nyaris jadi kuburan massal dan memutuskan untuk bekerja lagi, tanpa alasan yang masuk akal.

Tapi suasana dalam mobil... dingin. Tak ada yang bicara. Hanya suara ban menggilas jalan berkerikil dan napas mereka yang masih berat, masih berbau darah dan ketakutan.

Tri menatap kaca spion dengan wajah masih pucat. “Gue nyaris mati...”

“Lo pikir lo doang?” gumam Ningsih sambil memeriksa luka lebam di lengannya.

Maya menggenggam tangan Kenan. “Itu... yang tadi... kamu... kenapa makhluk itu tunduk?”

Kenan hanya menggeleng. “Gue gak tahu. Tapi... rasanya kayak ada sesuatu dalam diri gue yang... bangun.”

Sasmita di kursi depan membuka satu botol kecil dari tasnya dan menenggak cairan pahit—ramuan penahan rasa sakit dari tanaman hutan Garut. Ia tak berkata apa-apa. Matanya menatap keluar jendela, ke arah gelap yang makin pekat, seperti malam mencoba menelan mereka sebelum subuh tiba.

Lima belas menit kemudian, mereka tiba di depan pagar berkarat Yayasan Santa Ursula.

Bangunannya masih seperti dulu—tua, dingin, dengan arsitektur kolonial yang dipenuhi pohon rambat, seperti daging tua ditumbuhi jamur.

Lampu halaman berkedip pelan. Hujan tipis mulai turun. Daun-daun basah bergoyang perlahan, seperti menyambut tamu yang tidak diundang.

Maya turun duluan, mengetuk pagar. Tidak ada jawaban.

Tapi lampu di lantai dua menyala sendiri.

Kenan menelan ludah. “Ini tempat gue ditinggal dulu?”

Sasmita mengangguk. “Di sini, tahun 2015. Ada satu biarawati yang bawa lo bayi—namanya ada di catatan gulungan Mbah Sujana.”

Pintu pagar terbuka perlahan, berderit pelan seperti suara desahan seseorang yang kesakitan.

Mereka masuk.

Di dalam, udara seperti lebih dingin. Ada salib tua tergantung di dinding ruang depan, tapi salib itu miring, dan catnya terkelupas. Di sudut ruangan, ada patung Bunda Maria dengan wajah retak. Matanya... seperti mengawasi mereka.

Suster Ira Elizabeth muncul dari lorong dalam, mengenakan jubah kelabu. Wajahnya tirus tapi tenang. Ia tersenyum saat melihat Maya.

“Selamat malam... akhirnya kalian datang juga.”

Sasmita menatapnya tajam. “Suster Elizabeth?”

Suster Ira mengangguk. “Saya sudah menunggu. Saya... tahu malam ini akan datang.”

Maya langsung memeluknya. “Suster, ini Kenan. Dia anak itu.”

Suster Ira menatap Kenan lama, sangat lama, seperti menimbang sesuatu. Lalu ia menghela napas.

“Saya ingat. Bayi laki-laki yang datang malam-malam, tubuhnya dingin... tapi tidak menangis. Ada segel hitam di perutnya. Dan... suara-suara di sekitar kamar bayi... malam itu kami semua tidak bisa tidur.”

Kenan menatap suster itu, matanya merah.

“Apa kalian tahu... siapa orang tua gue?”

Suster Ira diam. “Kami hanya tahu dia bukan anak biasa. Biarawati yang mengantar pergi pagi-pagi, tidak pernah kembali. Dan sejak malam itu... tempat ini berubah.”

Tri melangkah maju. “Berubah gimana?”

Suster Ira menatap mereka satu per satu. “Anak-anak sering bicara dengan ‘ibu yang berdarah’. Ada suara kaki berlari tengah malam di koridor yang kosong. Dan mulai tahun lalu, beberapa anak... kerasukan.”

Ningsih langsung tegang. “Kerasukan?”

Suster Ira mengangguk. “Bukan kerasukan biasa. Mereka menyebut nama yang sama: Ki Manglayang... dan satu kalimat yang terus mereka ulang.”

Maya berbisik, “Kalimat apa?”

Suster Ira menutup mata, dan dengan suara berat, ia mengucap:

> “Pewaris telah lahir... segel akan retak... darah lama menuntut korban...”

Udara mendadak lebih dingin. Tri memeluk dirinya sendiri.

“Gak enak... ada yang ngintip.”

Sasmita mendongak.

Dan saat itulah terdengar suara pintu diketuk keras dari lantai atas.

DUK DUK DUK!

Anak-anak.

Suara kaki berlari di atas.

Suster Ira langsung berlari menuju tangga. “Anak-anak kami di lantai dua!”

Mereka semua ikut. Saat mereka sampai di koridor lantai atas, satu pintu kamar terbuka. Di dalamnya, seorang anak kecil duduk di lantai, memeluk lutut, sambil berbisik-bisik sendiri.

Rambutnya menutupi wajah. Lidahnya menjulur, bergetar cepat seperti ular.

“Anak ini... kerasukan,” kata Ningsih pelan.

Sasmita mendekat, menggambar simbol perlindungan di udara. Tapi anak itu mendongak—dan senyumnya robek dari pipi ke pipi. Matanya putih semua.

Ia berkata, dengan suara dobel, rendah dan menghantam dada:

> “Kenan... penjaga segel... darahmu dicari... waktumu hampir habis...”

Tubuh anak itu terangkat ke udara, lalu terbanting keras ke dinding.

Tri langsung bergerak memeluk anak itu, menenangkannya, membacakan doa. Sasmita menancapkan paku gaib ke lantai, menghentikan energi yang berputar.

Tiba-tiba, suster Ira sendiri jatuh berlutut.

Tubuhnya gemetar. Mata terbuka lebar, lalu mulai menangis darah.

Maya menjerit. “SUSTER?!”

Tapi Sasmita mengangkat tangan. “Jangan ganggu. Dia... jadi medium.”

Suster Ira mengangkat wajah, suaranya berubah... seperti suara ribuan roh bicara bersamaan:

> “Pewaris... jangan ke Gunung Gede... sebelum mengetahui nama ayahnya...

Segel... akan menelan kalian semua...

Manglayang Merah... bangkit sebelum waktunya...

Daging akan terbakar... tulang akan berteriak...

Carilah rumah berdinding hitam... di tanah Garut...

Di situlah darah lama disembunyikan...”

Lalu tubuh suster itu terlempar ke belakang, menghantam dinding, pingsan.

Udara menjadi panas. Semua lampu padam.

Dan di luar... terdengar suara lonceng gereja yang bergetar sendiri.

GONG... GONG... GONG...

Kenan berdiri di tengah ruangan.

Wajahnya... kosong.

Tapi dari matanya... ada air mata.

“Ayah gue... ada di Garut.”

Bersambung.....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!