Niara yang sangat percaya dengan cinta dan kesetiaan kekasihnya Reino, sangat terkejut ketika mendapati kabar jika kekasihnya akan menikahi wanita lain. Kata putus yang selalu jadi ucapan Niara ketika keduanya bertengkar, menjadi boomerang untuk dirinya sendiri. Reino yang di paksa nikah, ternyata masih sangat mencintai Niara.
Sedangkan, Niara menerima lamaran seorang Pria yang sudah ia kenal sejak lama untuk melupakan Reino. Namun, sebuah tragedi terjadi ketika Reino datang ke acara pernikahan Niara. Reino menunjukkan beberapa video tak pantas saat menjalin hubungan bersama Niara di masa lalu. Bahkan, mengancam akan bunuh diri di tempat Pernikahan.
Akankah calon suami Niara masih mempertahankan pernikahan ini?
🍁jangan lupa like, coment, vote dan bintang 🌟🌟🌟🌟🌟 ya 🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noveria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8
Jika kertas ini sudah ditandatangani, sebagian kecemasanku lenyap. Namun, sebagiannya lagi terusik. Bagian terakhir, bertuliskan jika aku harus meninggalkan Kota ini dan menjauh dari kehidupan Reino seumur hidupku.
BAB 8 ( Melepasmu )
Tinta tergores di kertas, namaku tertera di sana. Sebuah perjanjian yang ku tandatangani di depan Ibunya Reino. Beliau menarik kertas dari tanganku dan juga mengambil amplop coklat di meja.
“Jika sampai aku lihat kau masih ada di Kota ini, akan aku hancurkan semua bisnis orang tuamu. Aku punya menantu yang kaya, cukup untuk memporak porandakan usaha yang di bangun kedua orang tuamu,” ketua Ibunya Reino. “jangan dekati Reino, dia sudah memilih Abel.” imbuhnya, lalu masuk kedalam rumah. Meminta pembantunya, lekas mengusirku dari rumahnya.
Tulisan itu berisi “jika pihak pertama (Niara) masih tinggal di Kota ini dan sengaja maupun tanpa sengaja bertemu dengan pihak kedua (Reino). Maka, pihak pertama harus mengganti rugi atas operasi yang dijalani pihak kedua saat ini. Senilai 300 juta.” Meskipun aku tahu biaya operasinya tidak sebesar itu, akan tetapi pasti Ibunya Reino akan tetap mencari celah masalah baru. Toh, aku juga sudah menjadi mantan. Seharusnya aku bisa melupakannya dengan mudah. Reino juga tidak memperjuangkan hubungan kami nyatanya.
Rasa lelah semakin kurasakan. “Semua sudah selesai,” ucapku. Aku berusaha mencari semangatku yang baru. Dengan tubuh lemah, aku keluar dari pagar rumah Reino. Aku memesan taksi untuk kembali ke Kos.
Sebuah mobil sedan berhenti tepat di depanku, seolah ingin menabrakku hingga membuatku terkejut.
“Apa yang kau lakukan dirumah mertuaku?” ketus Abel, keluar dari mobilnya. Dia mendekat dan mendorong pundak kiriku.
“Aku sudah membayar uang itu, jadi jangan semena-mena padaku!” ucapku, beralih dari hadapan Abel.
“Aku kira kau sangat cantik, kenyataannya hanya wanita buruk rupa yang masih mengejar-ngejar mantan. Aku sempat penasaran, orang seperti apa yang disukai Mas Rei, sampai dia beberapa kali menolakku. Bahkan, saat malam pertama lebih memilih memandangi fotomu. Ternyata, kamu tidak setara denganku.” ketus Abel, menarik rambutku dengan kuat dan melepaskannya.
Aku tak berkutik sesaat, tidak ada daya dan tenaga saat ini meladeni Abel. Aku melihat taksi yang aku pesan sudah hampir tiba, aku langsung bergegas mendekat ke arah taksi. Abel masih berada di depan pagar, seolah menunggu kepergianku. Aku menoleh ke arahnya, tiba-tiba pikiran jahat terbesit. Aku kembali mendekat. Menarik rambut nya dengan kuat, kemudian mendorong tubuhnya hingga tersungkur.
“Anggap saja kita impas!” balasku, lalu berlari masuk ke dalam taksi.
“Wanita si*lan!” teriak Abel.
Aku mengatur nafasku, duduk bersandar di kursi belakang. Tubuh yang lelah, pikiran yang kusut. “Aku harus pindah kemana kali ini?,” bertanya pada diriku sendiri untuk langkah selanjutnya.
Rrrreeeeetttttt
Ponselku bergetar, tertulis nama Vira mencoba menghubungiku. Namun, aku malas menjawabnya. Semenjak menikah, Vira sudah tidak bisa lagi diajak berkeluh kesah. Sesaat iri padanya yang saat ini sudah bisa berbagi beban kepada orang yang disayang. Sedang aku, masih dalam pencarian cinta yang tidak tahu dimana ujungnya. Aku melihat ponsel dan membaca pesan dari Vira, jika aku harus membuat surat pengunduran diri jika benar-benar ingin resign dari Pabrik. Aku juga harus melaporkan semua kinerjaku yang belum aku selesaikan kepada bagian Personalia.
Aku membuka tas dan menghitung sisa uang yang diberikan Ayah tiriku tadi pagi. Aku masih memiliki tunggakan hutang di Pabrik 5 juta, sedang aku juga harus mencari tempat tinggal dan pekerjaan baru dalam kurung waktu dekat ini.
“Ahhhhhhhhh..” teriakku, aku kesal dengan nasibku.
Sopir taksi itu menoleh ke arahku dengan raut muka bingung. Aku meminta sang sopir untuk mengubah arah tujuan, karena aku harus ke Pabrik dulu menyelesaikan masalah berikutnya.
Tiba di Pabrik, Vira sudah menungguku di Pos Satpam.
“Ra, kamu mau ketemu Pak Ridwan?” Vira terus mengikuti langkahku dari belakang.
“Iya,”
“Kamu beneran mau keluar? Gila! Cari kerjaan lagi sulit lho Ra,”
Aku diam tidak menyahutinya lagi. Aku masuk kedalam ruang kerjaku, sedang Vira masih mengikuti gerak-gerik tubuhku yang membersihkan meja kantor.
“Plis Vir, aku lagi banyak masalah. Kamu kembali kerja aja. Jangan ikuti aku terus. Biar masalahku aku urus sendiri.” ketusku. Vira dengan wajah jutek, keluar dari ruang kerjaku. Aku membawa setumpuk kertas berisi data stok gudang ke ruangan Pak Ridwan.
Aku mengetuk ruang kerja Pak Ridwan dengan dengan perasaan gugup.
“Masuk!”
Aku masuk kedalam, melihat kesibukan Pak Ridwan dengan laptopnya membuatku bingung harus memulai darimana.
“Ada apa?”
Pria berkacamata, 40 tahun itu masih menatap layar laptopnya.
“E.. saya mengajukan resign, Pak,”
Mendengar ucapan itu, Pak Ridwan menghentikan ketikannya, melepas kacamatanya dan mendongak keatas menatapku.
“Tiba-tiba? Kenapa?” tanya Pak Ridwan, sambil menyeruput kopinya yang dingin.
Aku diam, memikirkan jawaban yang tepat. Aku belum memikirkan alasan resignku.
“A..ada masalah saja, saya mau pindah.” jawabku ragu-ragu.
“Masalah apa? di pabrik? atau di rumah?”
Pak Ridwan tampak kesal dengan keinginan ku yang resign.
“Maaf, Pak. Ini pribadi,” jawabku, lalu menaruh tumpukan data stok gudang dan data produksi diatas meja. Pak Ridwan, menyipitkan matanya, menatapku tajam mencoba mencari kebohongan yang aku sembunyikan.
“Setelah resign, mau kerja dimana?”
“Belum tahu, Pak.”
“ Kalau gitu, nggak usah resign. Kembali sana kerja!” ucap Pak Ridwan, kembali memasang kacamatanya dan menatap layar laptopnya lagi.
“Tapi saya mau resign, Pak!” ucapku lantang, sedikit kesal.
“Mau jadi pengangguran, kamu!. Sudah sana ambil cuti tahunan mu. Tenangin saja pikiranmu dulu,” “Ijin sama Pak Septo dulu.”
Aku mendengus kesal mendengar jawaban Pak Ridwan.
“Bawa lagi semua kertas ini, jangan bikin ruangan tambah penuh. Pusing.” Pak Ridwan bangkit dan menaruh kembali setumpuk kertas itu di kedua tanganku.
Aku bergeming, tidak melangkah kemanapun.
“Aku mau resign beneran, Pak.” ucapku, mencoba cara lain. Kali ini dengan nada lembut. Pak Ridwan menatapku, mengangkat daguku yang dari tadi tertunduk.
Aku tiba-tiba menangis begitu saja di depan seniorku kerja, untuk pertama kalinya. Pak Ridwan mengambil alih tumpukan kertas itu dari tanganku kembali.
“Kamu resign, gara-gara Reino menikah dengan wanita lain?” tanya Pak Ridwan.
Aku terkejut dengan pertanyaan itu. “Kau pikir semua anak disini nggak tahu, kalau kamu dan dia ada hubungan,”
Aku diam tak menjawab. “salah satunya.” batinku.
“Seperti tidak ada laki-laki lain saja,”
aaaaaa….
Aku semakin menangis seperti anak kecil, ketika Pak Ridwan mengatakan hal itu. Kenyataannya memang cintaku sudah habis di Reino. Aku kesulitan menyukai pria lain saat ini. Pak Ridwan memelukku, menepuk punggungku dan menenangkanku.
“Bapak nggak tahu sih, rasanya kehilangan.” ucapku, masih sesegukan. Seakan mengadu kesedihanku.
Hahaha
Pak Ridwan tersenyum menanggapi kata-kataku. “Kau pikir aku tidak pernah kehilangan, kamu tahu juga kan, baru 100 hari istriku meninggal. Apa itu bukan termasuk kehilangan,” sanggah Pak Ridwan. Aku melupakan status dudanya saat ini. Aku lupa, dia baru saja kehilangan istrinya dan hidup bersama kedua anaknya sekarang.
Aku diam tak berkutik, bingung harus membalas ucapannya dengan kalimat lain.
“Ya sudah, menikah saja denganku,” celetuk Pak Ridwan. Melepaskan pelukannya. Aku bengong sesaat, terkejut dengan ucapannya. Aku masih berpikir, kesedihanku dijadikan lelucon untuknya.
“Ah, sudah. Aku malas berbicara dengan Bapak, aku akan memberikan surat resignku langsung ke Pak Septo saja.” balasku. Aku menghapus air mata di pipiku dan bersiap berbalik untuk keluar dari ruangan Pak Ridwan.
“Yang aku katakan benar. Aku tidak bercanda,” kata Pak Ridwan yang terlihat serius. “Aku sudah menyukaimu sejak lama, menikahlah saja denganku.” ucapnya, mendekat kearahku.
mana main!!!!
tarik atuh!
nanti giliran di tinggal istri baru sesak nafas.
Kau yang lebih terluka.
gak bisa diginiin:(
bunga for you nael
btw bikin Reno mati atuh Thor
Thor...bawa reoni kesini!!
gak bisa gak bisa!
apaan baru baca udah ada yang mati:>
ihh pengen cubit ginjal nya
thor cerita mu tak bisa d tebak.
kerenn bangeettt 👍👍👍