Pernikahan Di Usia Muda

Di sebuah villa mewah di Bali, dengan nuansa arsitektur modern yang dipadukan sentuhan tropis, akad nikah Keyla dan Mek Lois diselenggarakan. Meski digelar secara tertutup, hanya dihadiri keluarga inti dan kerabat terdekat, suasana tetap terasa khidmat namun diselimuti ketegangan yang hanya dirasakan Keyla. Pemandangan pantai yang membentang luas di kejauhan menjadi saksi bisu janji suci yang penuh paksaan.

Keyla duduk diapit Mommy Susi dan Mommy Sheila, mengenakan gaun kebaya putih modern yang menutupi perutnya yang samar membuncit. Wajahnya dipoles riasan tipis, membuatnya terlihat anggun namun pucat, dengan mata yang menyimpan seribu duka. Di seberangnya, Mek Lois duduk tegak di depan penghulu, mengenakan setelan jas dan peci, tampak tenang dan berwibawa, seolah ia adalah pengantin pria yang paling bahagia di dunia.

Di antara tamu, terlihat Daddy Radian dengan wajah tegang, Daddy Marvin yang mencoba tersenyum, serta beberapa kerabat dari kedua belah pihak. Di barisan belakang, Geri, Dion, dan Arsen duduk dengan raut wajah datar, mengamati jalannya akad. Sementara itu, Devin duduk di samping Claudia, Cindy, dan Putri. Devin menatap adiknya dengan tatapan pedih, hatinya mencelos melihat Keyla yang begitu rapuh. Cindy dan Putri saling berbisik, ada kebingungan dan kekhawatiran di mata mereka, merasakan aura tidak biasa dari pernikahan ini.

Penghulu memulai prosesi. Setelah khotbah singkat, tibalah saatnya ijab kabul.

Penghulu: "Saudara Mek Lois davinci bin Marvin davinci, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Keyla Radian Saputra binti Radian Saputra dengan mas kawin seperangkat alat salat dan perhiasan emas seberat 50 gram dibayar tunai."

Mek Lois: (Dengan suara lantang dan jelas, tanpa keraguan sedikit pun) "Saya terima nikah dan kawinnya Keyla Radian Saputra binti Radian Saputra dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"

Suara Mek Lois menggema, disusul sahutan "Sah!" dari para saksi. Keyla hanya bisa menunduk, air mata yang sudah ia tahan mati-matian akhirnya lolos, membasahi pipinya. Setiap ucapan "sah" terasa seperti palu godam yang memukul jiwanya, mengunci takdirnya. Ia kini resmi menjadi istri Mek Lois.

Setelah ijab kabul, Mek Lois mendekati Keyla. Ia menyerahkan mas kawin, lalu menuntun Keyla untuk mencium tangannya. Keyla melakukannya dengan gerakan kaku, menahan diri. Kemudian, Mek Lois mencium kening Keyla. Ciuman itu singkat, dingin, dan penuh dominasi, seperti penanda kepemilikan.

Resepsi kecil dilanjutkan dengan makan siang. Keyla harus tersenyum karing, menerima ucapan selamat yang terasa hampa. Ia melihat teman-temannya—Cindy dan Putri—datang menghampirinya.

Cindy: (Memeluk Keyla, matanya penuh tanya) "Key... selamat ya. Lo beneran nikah secepat ini?"

Putri: (Meskipun mencoba tersenyum, suaranya terdengar ragu) "Iya, Key. Kok mendadak banget? Kita kaget tahu-tahu lo udah nikah."

Keyla hanya bisa membalas pelukan mereka, mencoba tersenyum seolah ia bahagia. Ia tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun. Ia melirik Mek Lois yang berdiri tak jauh darinya, tatapan posesif pria itu tak pernah lepas darinya, seolah mengingatkan untuk tetap menjaga sandiwara ini.

Setelah janji suci terucap dan acara resepsi berakhir, Keyla resmi menjadi Nyonya davinci. Malam itu, di kamar pengantin mewah yang seharusnya menjadi tempat kebahagiaan, Keyla hanya merasakan dingin dan hampa. Trauma yang terulang, beban kehamilan, dan kenyataan akan ikatan paksa ini membebaninya hingga ke titik terendah.

Ketika Mek Lois memasuki kamar, suasana menjadi mencekam. Keyla berdiri mematung di tengah ruangan, merasakan ketakutan dingin menjalar di sekujur tubuhnya. Mek Lois menutup pintu dan menguncinya, mengeliminasi satu-satunya jalur pelarian Keyla.

Mek Lois: (Suaranya rendah, tanpa emosi) "Lepaskan gaunmu."

Keyla hanya terdiam, air mata menggenang di matanya. Ia tidak bergerak. Tubuhnya seolah membeku, menolak untuk patuh.

Mek Lois: (Melangkah mendekat, matanya tajam dan penuh peringatan) "Aku tidak suka mengulang perintahku, Keyla. Atau kau mau aku yang melakukannya?"

Ketakutan menguasai Keyla. Ia tahu ia tidak punya pilihan, tidak ada yang bisa melindunginya di sini. Dengan tangan gemetar, ia mulai membuka resleting gaun pengantinnya. Setiap detik terasa seperti penyiksaan, gaun indah itu kini menjadi simbol penyerahannya yang menyakitkan.