Kayla lahir dari pernikahan tanpa cinta, hanya karena permintaan sahabat ibunya. Sejak kecil, ia diperlakukan seperti beban oleh sang ayah yang membenci ibunya. Setelah ibunya meninggal karena sakit tanpa bantuan, Kayla diusir dan hidup sebatang kara. Meski hidupnya penuh luka, Kayla tumbuh menjadi gadis kuat, pintar, dan sopan. Berkat beasiswa, ia menjadi dokter anak. Dalam pekerjaannya, takdir mempertemukannya kembali dengan sang ayah yang kini menjadi pasien kritis. Kayla menolongnya… tanpa mengungkap siapa dirinya. Seiring waktu, ia terlibat lebih jauh dalam dunia kekuasaan setelah diminta menjadi dokter pribadi seorang pria misterius, Liam pengusaha dingin yang pernah ia selamatkan. Di tengah dunia yang baru, Kayla terus menjaga prinsip dan ketulusan, ditemani tiga sahabatnya yang setia. Namun masa lalu mulai mengintai kembali, dan cinta tumbuh dari tempat yang tak terduga…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Pagi hari – Rumah sakit utama
Kayla baru saja selesai memeriksa pasien terakhirnya ketika seorang staf panitia datang tergesa.
“Dokter Kayla! Surat dari panitia nasional Konferensi Kedokteran Muda. Anda... terpilih jadi salah satu pembicara utama!”
Kayla tertegun. “Saya...?”
“Ya! Anda pembicara termuda tahun ini. Dan... satu-satunya dokter spesialis anak dalam daftar.”
Cika yang baru lewat nyaris menjatuhkan file.
“APA?! Serius?!”
Lala dan Rina yang mendengar dari kejauhan langsung lari menghampiri.
“KAY! Gila lo! Astaga, ini mimpi bukan sih?”
“Gue bangga banget sumpah! Duh, gue pengen peluk lo tapi baru dari ruang jenazah,” kata Rina dengan ekspresi polos.
Kayla hanya tertawa kecil. “Ini... terlalu besar. Aku takut gak mampu.”
“Tahan! Stop!” kata Cika dengan gaya dramatis.
“Yang nyelametin bayi tanpa identitas? Yang bela anak jalanan di ruang gawat darurat? Yang ngurus Aldi sendirian? Itu lo, Kay! Lo lah yang pantas!”
Kayla tersenyum lebar.
Tiga hari kemudian – Sore menjelang konferensi
Di ruang panitia teknis, Nadira — yang masih menyelinap lewat "akses relawan" — sedang menyentuh komputer utama di ruang penyambung proyektor utama.
Dia menyalin file presentasi palsu ke folder atas nama Kayla, lalu menghapus yang asli.
“Selamat bersinar... dan langsung tenggelam, Kayla,” gumamnya licik.
Di tempat lain – Markas rahasia cowok-cowok protektif
Leon sedang menyusun rundown acara sambil ngopi, sementara Renzo membuka laptop dan melihat log akses sistem konferensi.
Demon mengangkat alis. “Ini file presentasi Kayla?”
Renzo mengangguk. “Ya. Tapi ini file aneh. Gak mungkin dia nulis begini. Terlalu... dangkal.”
Leon langsung berdiri. “Kayla gak akan pakai presentasi tanpa sumber ilmiah yang kuat.”
Demon berdiri. “Gue ke ruang kontrol. Kalau perlu, gue intai Nadira sendiri.”
Pagi hari – Hari konferensi nasional
Kayla berdiri di belakang panggung besar, mengenakan jas putih terbaiknya. Rambutnya disanggul rapi. Wajahnya... gugup.
Liam datang menghampiri.
“Tenanglah. Semua mata akan tertuju padamu.”
“Dan itu yang bikin aku takut.”
Liam menatapnya dalam. “Bukan mereka yang harus kamu buktikan. Tapi dirimu sendiri.”
Kayla menarik napas. “Terima kasih... sudah datang.”
Liam hendak bicara lebih lanjut, tapi suara MC menggema:
“Kita sambut, dokter termuda hari ini — Dokter Kayla!”
Panggung – 1000 peserta
Kayla melangkah mantap ke panggung. Layar besar menyorot wajahnya.
Saat ia membuka presentasi... tampilan di layar berubah.
“Populasi bayi dan persepsi salah tentang imunisasi alami” — bukan materi dia!
Kayla tertegun. Detik itu juga...“Slide salah. Bukan file saya,” gumamnya pelan ke panitia.
Tapi sebelum panitia menjawab, layar tiba-tiba blank. Dan file baru muncul.
File asli Kayla.
MC berbisik, “File sudah diperbaiki. Lanjutkan, Dok.”
Kayla bingung. Tapi tetap maju.
Di belakang panggung –
Leon tersenyum puas. “File asli udah kami ambil dari backup server pribadi.”
Renzo menambahkan, “Dan akses Nadira udah ditutup total.”
Demon menatap monitor dengan tatapan gelap. “Kalau dia muncul hari ini, gue pastiin dia gak bisa masuk lagi ke rumah sakit mana pun seumur hidupnya.”
Kayla melanjutkan presentasi dengan penuh kepercayaan diri.
Kalimatnya lugas, data valid, dan retorika kuat.
Begitu selesai — seluruh ruangan berdiri dan bertepuk tangan.
Bahkan beberapa profesor terkemuka mengangguk penuh kagum.
Selesai acara – di luar auditorium
Kakek Albert sudah menunggu di mobil, tersenyum bangga.
Sementara Liam menghampiri Kayla.
“Kamu sadar siapa yang bantu kembalikan file-mu?”
Kayla tersenyum. “Entah siapa. Tapi... aku tahu orang itu percaya padaku.”
Liam menatap dalam. “Kalau orang itu adalah aku?”
Kayla tertawa kecil. “Berarti kamu gak sepenuhnya dingin lagi.”
Liam hanya menjawab pelan, “Hanya kalau itu soal kamu.”
...----------------...
Hari Rabu sore — di rumah Kayla
Kayla baru saja pulang dari rumah sakit setelah shift pagi. Seharusnya hari ini ia libur sore dan malam, dan sudah menyiapkan rencana masak bersama Aldi. Tapi rumah terasa terlalu sunyi.
“Aldi?” panggilnya, membuka pintu kamar.
Tak ada sahutan.
Kayla membuka pintu lebih lebar dan terkejut — Aldi terbaring di tempat tidur, tubuhnya menggigil, wajahnya sangat pucat, dan keringat dingin membasahi bantal.
“Aldi! Ya Tuhan, Aldi!” serunya panik.
Kayla langsung menyentuh dahinya — panasnya luar biasa.
Tanpa pikir panjang, ia memapah Aldi ke mobil kecil pemberian Kakek Albert, dan melaju ke rumah sakit dalam kecepatan tinggi.
Di IGD rumah sakit utama
“Pasien anak laki-laki, usia 15 tahun! Demam tinggi, menggigil, tanda vital menurun, keluhan sejak kapan?”
“Baru ketahuan barusan. Kemungkinan sudah dari pagi,” jawab Kayla cepat.
Tim medis langsung bergerak. Lala dan Cika datang lebih dulu, wajah mereka tegang.
“Astagaaa, Aldi??” Lala langsung meraih bahu Kayla.
Cika memeluk Kayla sebentar. “Dia akan baik-baik aja. Udah masuk observasi intensif.”
Renzo datang sambil bawa rekam laboratorium. “Kita curiga ini demam tifoid parah, udah dehidrasi juga. Tapi kita kejar cepat.”
Rina dari ruang forensik bahkan ikut datang, membawa pelukan diam-diam untuk Kayla.
Kayla menunduk, matanya berkaca. Tapi ia menggigit bibir menahan air mata.
Malam hari — luar ruang rawat intensif anak
Kayla duduk memeluk lutut di kursi tunggu. Sudah berjam-jam. Tak menyentuh makanan, tak bicara.
Liam datang… pelan-pelan. Tanpa suara. Ia hanya duduk di sampingnya, lalu menyodorkan sebotol teh hangat.
“Minum.”
Kayla tak bergeming.
“Kayla.”
Akhirnya Kayla berkata lirih, “…Aku takut.”
“Wajar.”
“Aku takut kehilangan dia. Aku takut dia ngerasa sendirian kayak aku dulu…”
Liam diam sejenak, lalu bicara pelan.
“Dia gak sendiri. Dia punya kamu. Dan kamu gak sendiri, Kayla.”
Kayla memandangnya, matanya merah.
“Aku dokter, Liam… tapi saat yang aku sayang sakit, aku cuma manusia.”
Liam menggenggam tangannya. “Dan itu bukan kelemahan. Itu bukti kamu punya hati.”
Dua hari kemudian — Aldi sadar
“Aldi?” Kayla menggenggam tangan adiknya.
Aldi membuka mata perlahan, suaranya kecil.
“Kak…”
“Ya, sayang. Kakak di sini…”
“Aku… bikin Kak Kayla takut, ya?”
Kayla tersenyum sambil menangis. “Kamu bikin Kakak belajar gimana rasanya kehilangan napas karena takut. Jangan bikin Kakak begini lagi, ya?”
Aldi mengangguk kecil. “Maaf…”
“Udah. Yang penting kamu kembali. Kamu rumah Kakak.”
Lala, Cika, dan Rina menangis diam-diam di luar pintu sambil melambai pelan.
“Jangan pernah kejadian kayak gini lagi!” bentak Cika dengan hidung merah.
Demon dari belakang menggoda, “Kamu nangis?”
“Enggak! Debu!” sahut Cika kesal.
Leon nyengir, menatap Lala yang tersedu. “Sini.”
Lala langsung memeluknya erat.
Bersambung
reader aja bngga bgt loh sm kayla....smngtttt......😘😘😘
bnyk yg syng dn pduli sm dia,bhkn smp mlakukn apa pun dmi mmbelanya....
yg jd biang kerok,mga cpt d pecat....trs jd pngangguran....😛😛😛
mantap 👍
kl orng lain,mngkn g bkln skuat kayla....
ank kcil,brthan hdp s luarn sna pdhl dia msh pnya sseorng yg nmanya ayah.....
😭😭😭
mudah dipahami