kisah cinta anak remaja yang penuh dengan kejutan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cilicilian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Canggung
Dara berusaha untuk menahan degup jantungnya yang semakin tak terkendali. Wajah Nino yang terlalu dekat terlihat sangat tampan di mata Dara. Ruangan itu terasa sangat hening membuat Dara larut dalam menikmati ciptaan tuhan yang sangat sempurna di depannya saat ini.
Ditengah keheningan itu, Sella tiba-tiba bersuara memecah keheningan di ruangan itu. "Bang, kita mau pamit pulang," katanya, menarik perhatian Nino yang masih fokus mengobati luka Dara.
Tatapan Sella sekilas melihat wajah Dara dan Nino yang begitu dekat membuat kecurigaan di hati Sella semakin besar.
Nino menghentikan kegiatannya mengobati luka Dara. Ia menoleh ke arah Sella dan Della yang tengah bertukar pandang diantara keduanya. "Ya udah kalian pulang dulu, biar nanti Dara pulang sama Abang aja," tawarannya begitu tulus, menunjukkan kepeduliannya pada Dara.
Dara langsung menolak dengan halus, namun penolakannya terdengar tegas. "Nggak, Bang. Abang kan sibuk. Biar aku pulang bareng mereka aja." Ia berusaha menjaga kesopanan, namun nada suaranya menunjukkan penolakan yang cukup kuat. Rasa tidak enak hati memenuhi dirinya.
Ia tidak ingin merepotkan Nino yang masih harus mengurus kafe miliknya. Selain itu, rasa canggung yang masih membebani dirinya membuatnya enggan untuk menghabiskan waktu berdua dengan Nino, meskipun ia menyadari betapa berartinya perhatian dan kepedulian Nino baginya. Ada sebuah kerumitan perasaan yang tersirat di balik penolakannya.
Nino menatap Dara dengan tatapan yang datar, namun di balik kedalaman matanya tersirat sebuah kekhawatiran. Sikap Dara yang keras kepala dalam menolak tawarannya membuat kekhawatiran itu semakin membesar. Ia memahami alasan Dara, namun ia juga tidak ingin meninggalkan Dara dalam keadaan yang masih membutuhkan perawatan.
Ia melanjutkan, suaranya lembut namun tetap tegas, "Ini lukanya masih belum kering, loh, Ra. Harus dikasih kain kasa dulu." ucap Nino, terdengar penuh kekhawatiran melihat kondisi Dara saat ini.
Sella, dengan ekspresi wajah yang mencurigakan, mengangguk menyetujui ucapan Nino. Tatapan matanya yang penuh arti seolah menyampaikan pesan rahasia kepada Dela. "Iya, Ra. Lo nanti pulangnya bareng sama Abang aja. Gue sama Dela pulang dulu." Ucapannya terdengar seperti sebuah saran, namun di balik itu tersimpan sebuah rencana terselubung. Ada sesuatu yang disembunyikan di balik senyumnya yang tampak dibuat-buat.
Dela merasakan ada yang janggal dengan sikap Sella. Keinginan Sella untuk segera pulang terasa terlalu mendadak dan mencurigakan. Ada sesuatu yang disembunyikan di balik ucapan dan tindakan Sella. Instingnya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
"Apaan sih, lo, Sell? Tungguin Dara dulu," bisik Dela, suaranya terdengar sedikit khawatir. Ia mencoba untuk menahan Sella, menunjukkan kekhawatirannya akan sesuatu yang mungkin terjadi. Ia tidak nyaman dengan sikap Sella yang terburu-buru.
Sella, dengan ekspresi yang misterius, berbisik kembali, "Ada yang mau gue omongin sama lo, Del. Biarin Dara pulang sama Abang lo." Suaranya terdengar lirih, namun di balik itu tersirat sebuah niat yang terselubung. Ia sengaja meninggalkan Dara dan Nino berdua.
"Ya udah, Bang. Kita pulang, ya," pamit Sella, suaranya sedikit terburu-buru. Ia menarik lengan Dela dan keluar dari ruangan Nino, meninggalkan Dara dan Nino berdua.
Keduanya masuk ke dalam mobil Dela. Namun, sebelum menyalakan mesin, Dela menatap Sella dengan tatapan penuh curiga. "Sell," bisiknya, suaranya terdengar sedikit khawatir, "Lo kenapa sih, ngajak gue pulang cepet-cepet?" Ia tidak habis pikir dengan sikap Sella yang begitu terburu-buru. Ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman.
Sella menghela napas panjang, menunjukkan rasa frustasinya. "Del, lo emang nggak peka, ya, ternyata." Ia merasa heran dengan ketidakpekaan Dela terhadap situasi yang terjadi.
"Nggak peka gimana sih, Sell?" Dela balik bertanya, suaranya terdengar sedikit kesal. Ia merasa tidak mengerti apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Sella.
"Lo dari tadi nggak lihat interaksi Dara sama Abang lo?" Sella bertanya dengan nada yang sedikit meninggi, menunjukkan rasa frustasinya karena Dela yang tak peka. Ia merasa bahwa Dela sama sekali tidak memperhatikan detail-detail penting yang terjadi.
"Menurut gue, itu biasa aja, kok. Nggak ada yang aneh. Yang ada malah lo yang aneh," Dela menjawab dengan nada yang santai, menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap Sella. Ia merasa bahwa Sella yang terlalu berlebihan dalam menanggapi situasi tersebut.
Sella menghembuskan napas panjang, menunjukkan rasa frustasinya karena Dela yang sama sekali tidak mengerti situasi yang terjadi. "Dela, interaksi mereka tadi itu bukan interaksi yang biasa. Lo lihat nggak wajah Dara tadi?" Ia kembali menegaskan, suaranya terdengar lebih serius. Ia berusaha menjelaskan kepada Dela tentang kejanggalan yang ia lihat.
Dela menggelengkan kepalanya, menunjukkan bahwa ia tidak memperhatikan detail tersebut. "Gue cuma lihat sekilas doang, kalau Abang gue lagi ngobatin lukanya Dara." Ia mengaku bahwa ia tidak memperhatikan interaksi Dara dan Nino secara detail.
Sella melanjutkan, "Pantes aja. Gue tadi lihat muka Dara merah banget, waktu muka Abang lo deket banget sama mukanya Dara." Ia menjelaskan detail yang ia perhatikan, menunjukkan kejanggalan dalam interaksi Dara dan Nino. Ia yakin bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekedar interaksi biasa di antara mereka.
Dela terdiam, mencerna ucapan Sella. Ia mengingat kembali momen saat Nino sedang mengobati luka Dara. Memang, jarak wajah mereka sangat dekat. Dan ia juga melihat rona merah di pipi Dara. Rona merah yang bukan karena luka, melainkan karena sesuatu yang lain. Sesuatu yang menunjukkan adanya perasaan yang berbeda dalam diri Dara.
"Lo… lo bener, Sell," gumam Dela, suaranya hampir tak terdengar. Ia akhirnya menyadari apa yang telah Sella lihat. Ketidakpahamannya tadi kini sirna, digantikan oleh sebuah kesadaran akan sesuatu yang lebih dari sekedar interaksi biasa.
Sella mengangguk pelan, menunjukkan rasa lega karena Dela akhirnya mengerti. "Gue udah curiga dari tadi. Cara Dara ngeliatin Abang lo beda banget. Lembut banget, kayak… kayak lagi ngeliatin cowok yang dia suka." Sella melanjutkan analisanya, menambahkan detail yang memperkuat kecurigaannya. Ia mengamati detail-detail kecil yang terlewat oleh Dela.
Hening sejenak menyelimuti mereka. Kedua sahabat itu larut dalam pikiran masing-masing. Dela memikirkan hubungan Dara dan Nino. Ia tidak pernah menyangka bahwa akan terjadi sesuatu seperti ini. Ia masih bingung bagaimana harus menanggapi hal ini.
Di ruang kerja Nino, suasana terasa berbeda dari biasanya. Keheningan menyelimuti ruangan itu, hanya diisi oleh suara detak jam dinding yang berdetak teratur dan deru napas mereka berdua.
Dara duduk di kursi, luka di pelipisnya telah dibalut rapi dengan kain kasa. Namun, luka itu terasa tak seberapa dibandingkan dengan debaran jantungnya yang masih berpacu kencang. Nino, duduk di balik meja kerjanya, menatap layar laptop di depannya, namun tatapannya sesekali melirik ke arah Dara.
Dara memecah kesunyian yang terasa menyesakkan, suaranya pelan dan sedikit gemetar. "Bang, makasih ya udah ngobatin lukaku," ucapnya, menunjukkan rasa terima kasihnya. Namun, di balik kata-kata itu, tersirat sebuah rasa canggung yang tak dapat disembunyikan.
Ia merasa tidak nyaman dengan keheningan dan kedekatan yang baru saja terjadi. Wajahnya merah padam, menunjukkan betapa malunya ia. Kejadian tadi, ketika wajah mereka sangat dekat, masih terasa begitu nyata dalam ingatannya.
Nino, yang menyadari kecanggungan Dara, tersenyum tipis. Senyumnya, yang terlihat tampak santai, "Sama-sama, Ra. Abang nggak tega lihat kamu kesakitan." Ia menjawab dengan nada yang sangat lembut, suaranya seperti bisikan yang mampu menenangkan hati. Namun, di balik kelembutannya itu, tersirat sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang hanya dapat dirasakan oleh Dara.
Dara mengalihkan pandangannya, merasakan panasnya pipi yang semakin memerah. Kata-kata Nino, yang sebenarnya sangat sederhana, bergema di telinganya. Kedekatan mereka tadi masih terasa begitu nyata. Sentuhan Nino yang lembut, hembusan napasnya yang hangat, semuanya masih terasa begitu jelas. Ia mencoba untuk menepis perasaan yang sepertinya mulai tumbuh di dalam hatinya. Perasaan yang tidak seharusnya ada. Perasaan yang membuatnya semakin kaku dan malu.
Nino menatap Dara sejenak, rasa bersalah memenuhi hatinya. Ia mengingat janjinya untuk mengantar Dara pulang, namun tiba-tiba saja timbul pekerjaan mendadak yang harus diselesaikan hari itu juga.
Ia menghela napas pelan, kemudian berkata, "Kamu bisa kan nunggu Abang kerja dulu? Cuma sebentar kok." Suaranya terdengar sedikit ragu, menunjukkan rasa tidak enak di hatinya. Ia mencoba untuk mencari cara agar Dara merasa tidak bosan di dalam ruangannya.
Dara mengangguk, mencoba untuk menunjukkan sikap yang biasa saja. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya, namun matanya menunjukkan rasa canggung yang tak dapat ia sembunyikan. "Iya, Bang, santai. Aku juga bisa istirahat di sini," ucapnya, suaranya sedikit gemetar, menunjukkan usaha kerasnya untuk menutupi rasa tidak nyaman yang ia rasakan.
Ia mencoba untuk menunjukkan sikap yang tegar di hadapan Nino, namun perasaannya yang bercampur antara senang dan gugup sulit ia sembunyikan.
Nino, yang memahami perasaan Dara, kemudian bertanya dengan lembut, "Em, atau kamu mau makan sesuatu? Biar nggak bosen?" Ia mencoba untuk mencairkan suasana yang terasa agar Dara tidak merasa canggung.
Dara hanya menggelengkan kepalanya, Ia mencoba untuk fokus pada gadget di tangannya, mencari cara untuk menghibur dirinya dan menghilangkan rasa canggung.
Nino kembali fokus pada pekerjaannya. Jari-jarinya menari cepat di atas keyboard laptopnya, namun tatapan matanya sesekali melirik ke arah Dara. Ia mengamati Dara yang sedang mengutak-atik gadgetnya, mengetahui bahwa Dara sedang mencoba untuk menghilangkan rasa bosannya dengan menyibukkan diri.
Nino terus memperhatikan Dara di sela-sela mengerjakan pekerjaannya. Lama kelamaan Dara terlihat kantuk. Kepalanya mengangguk-angguk kecil, jari-jarinya yang semula aktif kini melambat, akhirnya terhenti. Dan akhirnya, Dara tertidur pulas di sofa, gadgetnya tergeletak tak beraturan di sampingnya. Wajahnya tampak tenang dalam tidurnya.
Nino menghela napas panjang. Melihat Dara tertidur pulas di sofa, rasa tidak tega memenuhi hatinya. Ia menyesali keputusannya untuk menyuruh Dara menunggu. Seharusnya ia lebih peka dan segera menyelesaikan pekerjaannya.
"Kalau udah kayak gini jadi nggak tega," gumamnya, suara itu hanya dapat didengarnya sendiri. Ia menatap Dara sejenak, kemudian memutuskan untuk menghentikan pekerjaannya. Prioritasnya kini adalah mengantar Dara pulang.
Ia tidak tega melihat Dara tertidur dalam keadaan yang kurang nyaman di ruangan kerjanya. .
Dengan hati-hati, Nino mendekat ke arah Dara. Ia menyentuh lembut rambut Dara, mencoba untuk membangunkan gadis itu yang terlihat sangat pulas dalam tidurnya.
"Ra, udah sore," ucap Nino dengan suara lembutnya. "Bangun ya kita pulang,"
Dara mengerjapkan matanya perlahan, menatap Nino dengan tatapan yang masih mengantuk.