Irish kembali, membawa dua anak kembar dan luka lama yang telah berubah menjadi kekuatan. Ethan, pria yang dulu mengabaikannya tanpa rasa, kini tak bisa mengalihkan pandangan. Ada yang berbeda dari Irish, keteguhan hatinya, tatapannya, dan terutama... anak-anak itu. Nalurinya berkata mereka adalah anaknya. Tapi setelah semua yang ia lakukan, pantaskah Ethan berharap diberi kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 7
"Kalau dia terlambat itu salahmu!" Ucap Hanna melotot pada pelayan.
“Silakan, silakan!” Melihat Hanna yang tampak marah, pelayan itu buru-buru mundur, memberi jalan pada Irish.
“Huh!” gumam Hanna, lalu menarik tangan Irish dan membawanya masuk ke dalam aula.
“Sekarang kamu tunggu di sini. Aku akan ambilkan gaun untukmu. Setelah itu kita ke ruangan sebelah untuk ganti pakaian,” perintah Hanna sebelum berbalik meninggalkannya.
Irish berdiri di tempat, seperti anak kecil yang takut kehilangan arah. Ke mana Hanna pergi, dia ingin mengikutinya. Apa pun yang dikatakan Hanna, dia hanya bisa mengangguk tanpa protes. Sebenarnya, dalam hatinya sekarang sedang berantakan. Dia bahkan tidak tahu harus bersikap seperti apa. Jadi, ketika Hanna berlalu pergi, Irish tetap diam di tempat, menunggu dengan tenang.
Namun, waktu terasa berjalan lambat. Sambil menunduk, Irish memperhatikan sepatu kain putih yang dikenakannya, lalu menyadari ada noda tanah yang menempel. Dia membungkuk, merogoh tas untuk mengambil tisu, berniat membersihkannya.
Tiba-tiba, sepasang sepatu hak tinggi merah mencolok muncul di hadapannya.
Irish terkejut, mundur reflek hingga hampir tergelincir di lantai licin. Tangannya bertumpu di lantai agar tidak jatuh.
Saat dia mendongak, terlihat seorang wanita dengan dandanan menor berdiri di sana, tersenyum sinis.
Suara tawa dingin wanita itu membuat Irish menegang. Setelah lebih jelas memandang wajahnya, dia sadar siapa wanita itu, yang ternyata adalah Kirana..
Berdandan seperti itu malam-malam begini, bahkan setan pun mungkin kaget melihatmu! pikir Irish sambil menarik napas panjang.
Meski dalam hati mencibir, Irish tetap bersikap sopan. Ia tersenyum tipis dan menyapa, “Halo, Nona Kirana.”
Hari ini Kirana tampil mencolok dalam balutan gaun musim gugur berwarna merah menyala dengan motif bunga-bunga besar yang tampak seolah mekar dari kainnya. Daun-daun hijau zamrud tersebar di sepanjang rok, menciptakan kontras tajam yang langsung menarik perhatian. Potongan dada yang rendah memberi kesan sensual, sementara riasan wajahnya yang tebal dan tajam mempertegas aura percaya diri dan tak tersentuh. Di tengah keramaian yang berbalut warna-warna netral, Kirana tampak seperti percikan api yang tak bisa diabaikan.
Tapi apa yang Kirana lakukan setelahnya, langsung meruntuhkan sedikit rasa hormat Irish padanya.
Alih-alih membalas sapaan, Kirana malah berputar-putar mengelilingi Irish seperti sedang menilai barang murah. Lalu dia pura-pura terkejut dan berkata, “Oh, ternyata kamu, Nona Irish! Kukira tadi ada cleaning service yang lagi malas kerja di sini!”
Irish hanya menarik napas dalam-dalam. Sejak awal, dia sudah tahu tak akan ada hal baik saat Kirana muncul.
“Nona Kirana, ada urusan?” tanyanya datar, malas menanggapi ejekan.
Irish memandang Isabel dengan lelah. “Kamu sepertinya cari validasi dari merendahkan orang lain, ya?”
“Jangan GR. Aku artis besar, untuk apa aku repot-repot cari validasi dari kamu?” hardik Kirana, matanya menyala, tambah garang karena riasan tebalnya.
“Kalau begitu, tolong minggir.” Irish menghela napas dan hendak berbalik, tak ingin membuang waktu.
Tapi Kirana malah menghadangnya dan bertanya dengan penuh kecurigaan, “Acara ini milik Ethan dan istrinya, Carisa. Kamu siapa, kok bisa masuk ke sini?”
“Karena Carisa yang mengundangku.” Irish menjawab jujur namun tetap tenang.
“Ngaco! Kakak iparku itu wanita terhormat, mana mungkin mengundang orang sepertimu!” Kirana mendengus tak percaya, lalu menunjuk wajah Irish dengan kasar.
Irish tetap sabar. “Kalau tidak percaya, kamu tanya sendiri saja ke dia.”
“Aku tidak perlu tanya! Mending langsung aku usir aja!” Kirana berteriak. “Satpam! Satpam! Di mana satpam?! Ada penyusup di sini!”
Namun, belum sempat satpam datang, Dion muncul lebih dulu.
Malam itu Dion tampil cukup rapi, berbeda dari biasanya. Meski tetap flamboyan dengan kemeja merah-hitam bergaris, setidaknya sesuai suasana acara. Di tangannya ada segelas bir, dan di wajahnya, senyum malas yang khas.
Dia melangkah mendekat. “Kirana, ke mana saja kamu? Aku cari-cari!”
“Pas sekali kamu datang!” seru Kirana langsung menggandeng Dion dan menunjuk Irish. “Lihat! Dia masuk tanpa undangan! Kita harus usir dia!”
Dion menatap Irish dan sempat terdiam. Ia mengenal wanita ini. Irish memang tampak sangat kontras dengan tamu lain, hanya mengenakan kaus putih, jeans, sepatu kain, dan rambut dikuncir simpel. Tapi kesederhanaannya justru tampak bersih dan menyejukkan.
Senyum tipis muncul di wajah Dion. “Nona Irish, halo.”
“Halo, Pak Dion,” jawab Irish sambil mengangguk sopan.
Kirana geram. “Dion! Kamu lupa apa yang aku bilang tadi?”
“Apa ya?” Dion pura-pura bingung.
“Irish tidak punya undangan! Dia menyusup!”
gemessaa lihatnya