Seorang wanita penipu ulung yang sengaja menjebak para pria kaya yang sudah mempunyai istri dengan cara berpura - pura menjadi selingkuhannya . Untuk melancarkan aksinya itu ia bersikeras mengumpulkan data - data target sebelum melancarkan aksinya .
Namun pekerjaannya itu hancur saat terjadi sebuah kecelakan yang membuatnya harus terlibat dengan pria dingin tak bergairah yang membuatnya harus menikah dengannya .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 . Kontrak di Malam Hujan
Panti Asuhan Mawar Putih – Lima Tahun Lalu
Hujan itu turun bukan sekadar air yang jatuh; ia turun seperti dendam purba yang menampar-nampar genteng seng panti hingga berderit menyedihkan. Dari retakan plafon, tetes-tetes kecil bocor, menimpa lampu 5 watt yang lemah—membentuk bayangan bergetar di dinding kusam warna kelabu. Meski setiap petir memekikkan guntur, penghuni panti tetap tertidur pulas; hanya dua gadis di ranjang susun nomor tiga yang terjaga, terpaku pada malam yang terasa lebih kejam daripada biasanya.
Di kasur bawah, Aurora—delapan belas tahun, rambut hitam sepunggung, mata sekeras obsidian—mendekap lutut di balik selimut tipis. Kain itu sudah berbulu, tapi ia menahannya erat-erat, seolah selimut compang-camping itu satu-satunya bendera yang tersisa untuk harga dirinya. Di kasur atas, Kalea berbaring miring, telinga terpasang, menyimak hujan dan—tanpa ia sadari—menyimak degup jantung Aurora yang tak kunjung tenang.
“Rora,” bisik Kalea akhirnya, turun perlahan. Kakinya menyentuh lantai dingin yang rembes air hujan; ia mengerut, lalu duduk bersila di hadapan sahabatnya. Rambut panjangnya basah, menempel di pipi. “Kau belum tidur lagi?”
Aurora menggeleng. Matanya menatap jendela kayu yang goyang, seolah ia sedang menghitung setiap tetes air. “Kalea,” suaranya serak. “Besok kita genap delapan belas, tahu?”
“Dan itu berarti…”
“Berarti panti resmi punya alasan mengeluarkan kita kapan saja.” Aurora mencabut daun cat yang terkelupas di bingkai ranjang, menggulungnya di antara ibu jari dan telunjuk. “Kalau itu terjadi, kita mau tinggal di mana? Makan dari apa? Jualan es lilin juga takkan cukup.”
Kalea menarik napas panjang, menatap lantai. Tak ada jawaban; hanya aroma lembap bubur kacang hijau sisa makan malam yang sudah basi di kaleng sampah pojok kamar.
Tiba-tiba Aurora bangkit, membuka laci plastik kebesaran warna pudar di ujung ranjang. Ia mengeluarkan dua tiket bus malam—robekan koran, tempat ia menulis angka-angka. “Lihat. Harga kuliah, uang kos, makan, buku—semua kuhitung. Butuh puluhan juta. Puluhan, Lea. Dan itu minimal.”
Kalea meneliti coretan ballpoint hitam yang mengisi tiket itu. Tangannya bergetar: antara kagum pada kecermatan Aurora dan takut pada kenyataan di depan mata.
“Aku tak mau jadi gawai rusak yang dilempar ke pasar loak,” bisik Aurora, suaranya terlipat amarah. “Kalau dunia mau menawar tubuh kita, maka kita menawar balik—dengan ilusi setinggi harga yang mereka sanggup bayar.”
“Ilusi?”
“Ya.” Aurora menatap Kalea lurus-lurus. “Senyum manis, cerita palsu, detak jantung yang mereka kira cinta. Kita jadi aktris. Tapi di balik semua topeng itu, kita masih pegang kendali.”
Kalea menahan napas. “Kendali apa yang tersisa, Rora?”
Aurora menggenggam kedua tangan Kalea, dingin di antara suara hujan. “Kita masih punya hak memilih apa yang tak boleh dijual. Kalau mereka mau segala rupa fantasi, silakan. Tapi ada satu hal—satu saja—yang tetap milik kita.”
Petir menggelegar, menyambar menyingkap tirai malam sekejap. Kedua gadis terdiam, saling menatap dalam kilat cahaya.
“…Keperawanan kita,” lirih Kalea, akhirnya.
Aurora mengangguk. “Bukan karena kita kudus—kita bukan malaikat. Tapi karena itu garis terakhir: tanda tangan di atas martabat. Begitu kita serahkan itu, besok lusa mereka akan minta jiwa kita, lalu membuang kita seperti sepotong kertas minyak.”
Kalea menelan ludah. Tiba-tiba kilasan masa depan melintas di matanya: dirinya berdiri di trotoar malam, lampu neon murah menyorot, menggigil menunggu tumpangan. Ia merinding. “Kalau satu hari aku goyah…?”
“Aku tarik kau balik.” Aurora menggenggam lebih erat. “Sebaliknya, kalau aku yang jatuh, kau tampar aku sampai sadar.”
Kalea tertawa pendek—tawa getir yang berakhir dalam isak tercekik. Mereka sama-sama tahu dunia akan menertawakan janji ini; tapi di kamar pengap itu, janji mereka rasa-rasanya lebih kokoh ketimbang tembok panti yang rapuh.
Aurora mengulurkan kelingking. “Janji?”
Kalea menyambut. “Janji.”
Jari kelingking mereka mengait, lalu mereka menepuk punggung tangan masing-masing tiga kali—ritual kecil yang mereka ciptakan sejak usia tujuh. Saat petir menggelegar lagi, kontrak itu seolah dicap di langit malam: dua yatim piatu menantang jalan hidup yang tak pernah adil.
---
Empat Tahun Kemudian
Klub Eksklusif “Violetta”, Jakarta Selatan – Pukul 23.15 WIB
Lampu ungu menari-nari di dinding kaca seperti ingatan mabuk—gemerlap tapi tak pernah stabil. Dalam cermin rias berbingkai emas, Aurora—kini dua puluh empat—mengaplikasikan eyeliner wing tip yang presisi. Setiap garis tampak melukis rasanya terhadap dunia: tajam, tak ada ruang ragu. Di sebelah, Kalea dengan rambut lilac terikat tinggi menekuk badan, memeriksa belahan gaun midi marun yang sempurna menonjolkan tulang selangkanya.
“Target kita malam ini ganti,” ujar Kalea, menutup compact powder. “Tuan Yunus gagal datang. Tapi ada investor tambang—kartu hitam, limit tak terbatas.”
“Aku yang tangani,” sahut Aurora, mengambil lipstik merah cabai.
Kalea menggeleng. “Tidak. Kau sudah dapat porsi yang lebih ‘panas’. Ada pria di lounge VIP, jam tangannya yang—uh—bisa bayar DP apartemen. Tapi… sorot matanya bikin bulu kudukku berdiri. Namanya Tristan Alvaro.”
Aurora terdiam setengah detik, lalu menyeringai tipis. “Tristan Alvaro? Kedengarannya seperti sinetron. Pemilik perusahaan perkapalan?”
“Lebih buruk. Pewaris multi-holding. Reputasi keluarga ‘bersih’, tapi rumor di media gelap—hilangnya dua pesaing bisnis, pembelian paksa saham minoritas.” Kalea menatap cermin, mata gelisah. “Kudengar dia kesepian… dan obsesif.”
Aurora memutar lipstik, mencium aromanya. “Orang kesepian paling gampang ditebak.” Ia berdiri, gaunnya jatuh anggun sepanjang paha. “Kita hanya perlu jadi oasis lima menit.”
Kalea membalas tatapan Aurora lewat cermin. “Rora… janji di panti? Kau ingat?”
Aurora pura-pura tertawa. “Tidak ada pria mana pun yang layak membuatku melupakan itu.” Namun, saat ia menunduk menyelipkan kartu debit di balik bra, seserpih keraguan menyelinap—adakah harga yang tak sanggup dibayar dunia saat ia lengah?
Area VIP
Musik EDM berganti drop, lantai dansa berguncang. Aurora berjalan menembus kerumunan, langkahnya bagai ayunan metronom terukur. Aroma parfum mahal bercampur keringat penari menampar hidung, membuat kepala sedikit ringan. Tapi Aurora hafal cara menambatkan dirinya: satu tangan memegang clutch, satu tangan lain meraba gelang logam di pergelangan—pengingat bahwa janji mereka tak kasat mata tapi nyata.
Dari jauh, ia melihat Kalea bicara sopan dengan pria perut buncit berkemeja linen. Kalea melemparkan anggukan kode: Target aman. Aurora membalas senyum. Tapi di detik berikutnya, sekelebat bayangan hitam berdiri di antara lampu strobo—tinggi, tegap, menciptakan vakum di keramaian.
Aurora menghentikan napas. Itulah Tristan. Setelan jas hitam yang jatuh mulus di bahu lebar, dasi gelap yang hampir menyatu dengan kemeja. Wajahnya seperti pahatan granit yang memancarkan dingin; mata hitamnya menolak memantulkan sedikit pun cahaya klub. Ia sedang berbicara dengan bartender, suaranya rendah, sebelum entah bagaimana tatapan mereka bersirobok.
Detik itu dunia keruh seakan beku. Aurora menegakkan bahu, menarik napas, lalu melangkah. Kendalikan narasi sebelum ia menulisnya untukmu, batinnya menegur.
“Selamat malam,” sapa Aurora, nada terukur. “Baru pertama di Violetta?”
Tristan memindai Aurora dari ujung rambut ke sepatu stiletto perak. “Pertanyaan klise,” ujarnya datar, tapi suaranya renyah, menandakan aksen internasional tipis. “Kau pasti bisa lebih kreatif dari itu.”
Aurora tersenyum, menarik bangku tinggi, duduk tanpa meminta izin. “Aku biasanya dibayar untuk kreatif, Pak. Kali ini… saya beruntung tak perlu menunggu order.”
Mulut Tristan terangkat seujung milimeter—hampir tak terdeteksi. “Lalu apa yang kau jual?”
“Keberanian.” Aurora menahan senyum lebih lebar meski dada bergetar. “Malam ini, keberanian dibanderol satu botol Champagne 2012.”
Tristan mengetuk counter bar. “Dua botol.” Ia memberi isyarat pada bartender. “Kalau begitu, aku ingin double.”
Aurora tertawa kecil. Tapi tawa itu terbelah lemah ketika ia menyadari betapa gampangnya pria ini memegang ritme percakapan. Biasanya, ia dalang; kini, ia bisa saja boneka tali. Janji di panti berdentang di kepalanya.
Jangan jatuh. Jangan biarkan dia menarikmu.
Saat bartender menaruh champagne berembun di antara mereka, Tristan menyodorkan kartu kredit titanium. Aurora mengenali: kartu yang hanya diterbitkan lewat undangan khusus. Sekali gesek, ia bisa membayar dua semester kuliah. Ia menggigit bibir.
Tristan menatapnya. “Kau tampak… ragu.”
“Aku hanya terpesona,” jawab Aurora, menguasai ekspresi. “Jarang ada yang tahu bahwa keberanian memang mahal.”
“Tidak ada harga yang terlalu mahal jika hadiah di ujungnya otentik,” kata Tristan, lalu menaikkan gelas. “Untuk keberanianmu.”
Ketukan gemuruh jantung Aurora tenggelam di bawah bass EDM. Namun, di pojok ruangan, Kalea berdiri memerhatikan. Mata mereka bertemu, dan dalam satu kilatan lampu strobo, Aurora membaca peringatan itu: Jaga garis kita. Aurora mengangguk nyaris tak terlihat.
---
Kamar Rias, Lima Menit Kemudian
Aurora menutup pintu, punggung bersandar pada kayu. Udara sejuk AC mendadak tak cukup mendinginkan wajahnya yang panas.
Kalea sudah menunggu, tangan terlipat. “Apa yang terjadi?”
“Dia… bukan tipikal sugar daddy,” bisik Aurora, menahan gemetar. “Dia tahu cara memecah defensiku.”
Kalea melangkah mendekat, suaranya lebih lembut. “Apa kau mau berhenti malam ini?”
Aurora menatap diri di cermin. Bayangan gadis panti asuhan itu menatap balik—mengerjapkan mata basah. Ia mengingat hujan deras, janji kelingking, dan genggaman tangan Kalea. Ia menutup mata sejenak, menarik napas.
“Tidak.” Pandora berbisik di kepalanya: Ingat impian, tagihan, dan caramu menggenggam dunia. Ia membuka mata, sorotnya membaja. “Aku tidak akan melanggar kontrak. Tapi aku juga tidak mundur.”
Kalea menyentuh pundaknya, menekannya lembut. “Pastikan kau masih pegang kendali.”
Aurora mengangguk. “Jika aku goyah, tarik aku balik, Lea.”
“Aku akan.”
Mereka berpelukan singkat—pelukan yang hanya dimengerti dua orang yang pernah kehilangan segalanya bersama. Lalu, Aurora merapikan gaun, memperbaiki lipstik. Sebelum keluar, ia menoleh, berbisik:
“Janji masih janji?”
“Janji,” jawab Kalea mantap.
---
Kembali ke Area VIP
Aurora menemukan Tristan menatap panggung DJ seakan melihat pola tak kasatmata di cahaya. Ketika Aurora mendekat, ia menoleh perlahan, seolah sudah tahu timing-nya sempurna.
“Aku suka orang yang kembali,” ujarnya.
“Aku suka orang yang menunggu,” sahut Aurora.
Mereka bersulang. Dari kejauhan, Kalea berdiri—mata tajamnya seperti jembatan antara masa lalu dan masa depan mereka.
Bass menendang lebih keras, lampu ungu merangkak di dinding. Namun Aurora hanya mendengar satu suara: desau hujan lima tahun lalu, menyanyikan sumpah di telinganya.
Selama garis itu belum kaulangkahi, Rora, kau masih milikmu sendiri.
Dan malam itu, ketika dunia berdesir menuntut lebih, Aurora bersumpah ia akan tetap perempuan yang menulis nasibnya sendiri—apa pun harga yang Tristan tawarkan.
.
.
.
Bersambung