Kakak dan adik yang sudah yatim piatu, terpaksa harus menjual dirinya demi bertahan hidup di kota besar. Mereka rela menjadi wanita simpanan dari pria kaya demi tuntutan gaya hidup di kota besar. Ikuti cerita lengkapnya dalam novel berjudul
Demi Apapun Aku Lakukan, Om
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Petir menyambar-nyambar di langit kelabu, hujan deras menimpa kota tanpa ampun. Tuan Marcos yang tengah melaju perlahan lewat trotoar, tiba-tiba menoleh saat melihat sosok gadis itu. Kakinya telanjang, langkahnya gontai di genangan air yang mulai menggenang. Pakaian tipisnya basah kuyup, menempel di tubuh kecilnya, seolah hujan terus meremukkan semangatnya. Wajahnya pucat, mata kosong menatap ke depan tanpa arah.
Tuan Marcos segera menepikan mobilnya, suaranya tegas memecah gemuruh hujan. “Ken, turun! Tanya dia mau ke mana.” Ken, sang sopir, mengernyit bingung.
“Tapi, Tuan... nanti jok mobil malah basah, kan?” Tuan Marcos menggeleng cepat, matanya penuh iba.
“Tidak apa-apa, Ken. Kasihan sekali dia, tampak sangat sedih dan kesepian. Hujan makin deras, petir juga semakin dekat.” Tanpa menunggu lama, Ken membuka pintu dan melangkah keluar, bergegas menghampiri gadis itu yang masih terpaku, membeku di bawah rintik hujan yang tak bersahabat.
Ken segera membuka pintu mobilnya, langkahnya cepat meski rintik hujan masih jatuh pelan. Tangannya meraih payung hitam yang selalu terpajang rapi di dashboard mobil mewah itu. Dengan hati-hati, dia mendekati seorang gadis remaja yang duduk di bawah pohon, bajunya sudah basah kuyup, rambutnya menempel di wajah. Wajah gadis itu tampak dingin dan lelah, tapi ada semacam kepercayaan yang perlahan terbentuk ketika Ken mulai berbicara pelan, meyakinkan dia agar ikut masuk ke mobil. Tuan Marcos mengernyit ketika melihat wajah itu, sepertinya ada sesuatu yang familiar.
"Loh, bukannya kamu temannya Salsa yang sering ke rumah?" suaranya ragu tapi berusaha tegas. Ken ikut menoleh, mencoba mengingat. Gadis itu mengangguk kecil, suaranya serak,
"Benar, Om. Saya Salwa."
Tuan Marcos segera melepaskan jas hitamnya, lalu membungkuk pelan memakaikan jas itu ke tubuh Salwa yang masih basah. Ken mengerutkan kening, perasaan campur aduk muncul dalam hatinya ternyata gadis yang tadi basah karena kehujanan itu adalah teman dekat putri tuannya sendiri.
"Tuan besar, kita mau pulang atau ke mana?" Ken bertanya, suara sedikit ragu, takut mengambil keputusan tanpa restu.
Tuan Marcos menarik napas panjang, matanya menatap kosong ke arah Salwa yang duduk terdiam di kursi belakang mobil.
"Kita pulang saja. Malam ini, Salwa, kamu menginap di rumah om, ya? Salsa pasti senang kalau kamu di sana."
Suaranya lembut, penuh perhatian, tapi ada beban berat yang tersembunyi di balik tatapannya. Salwa hanya memejamkan mata, bibirnya gemetar kecil seolah menahan sesuatu yang sulit diungkapkan. Merasa khawatir, Marcos meraih handuk kecil dan dengan hati-hati mengelap wajah serta rambut Salwa yang basah oleh keringat.
"Ken, gas lebih kencang! Gadis ini demam tinggi," suara Marcos tiba-tiba bergetar.
Ken, sang sopir, langsung menginjak pedal gas, mobil melaju lebih cepat. Di kursi depan, mata Marcos tak pernah lepas dari sosok Salwa yang kini mulai mengigau, memanggil nama orang tuanya dengan suara pelan dan tidak jelas. Raut wajah pria itu semakin panik, dadanya sesak melihat sahabat kecil putrinya berjuang dalam keadaan seperti itu.
Sesampainya di rumah Tuan Marcos, pria paruh baya itu menggendong Salwa dengan hati-hati. Ia berjalan menuju kamar putrinya, lalu mengetuk pintu beberapa kali. Namun, tak ada suara yang menyahut dari dalam. Pintu tetap tertutup rapat. Wajah Tuan Marcos memperlihatkan keraguan, seolah mencari solusi lain. Akhirnya, dengan berat hati ia membawa Salwa masuk ke kamar itu. Salwa dibaringkan di sofa panjang, tubuh kecilnya masih menggigil. Pakaian basah menempel, membuat pria itu semakin khawatir.
Matanya menatap Salwa yang masih mengigau, memanggil “bapak… ibu…” dalam tidur yang tidak tenang. Tuan Marcos menghela napas panjang, lalu mulai melepas baju basah Salwa perlahan.
“Lemari pakaian putriku di dalam. Harus segera diganti, biar dia nggak tambah demam,” gumamnya sambil sibuk mencari pakaian kering. Tangan pria itu bergetar sedikit saat membalik-balik tumpukan baju, hatinya penuh resah melihat kondisi Salwa yang ringkih di pelukannya.
Tuan Marcos menunduk pelan, tangannya sigap membuka kancing kemeja putih polos yang tadi ia kenakan. Malam sudah sangat sunyi, hanya suara detak jam yang berani melanggar keheningan. Tubuh Salwa masih bergetar karena dingin, rambutnya basah menempel di wajah.
Dengan lembut, Tuan Marcos mengangkat tangan Salwa, mengganti bajunya yang basah dengan kemeja panjang miliknya. Kemeja itu jatuh menutupi tubuh Salwa, meski di bagian dada dan perut masih samar samar tembus pandang. Matanya menangkap kebingungan samar di wajah Salwa, tapi gadis itu diam dan mengikuti setiap gerakannya tanpa protes. Setelah selesai, ia mengambil handuk kimono besar dari lemari, membungkus Salwa dengan penuh perhatian agar hangat.
“Minum ini,” suara Tuan Marcos hangat, sambil menyerahkan gelas berisi minuman panas.
Napas Salwa tampak belum stabil, matanya sesekali menatap kosong ke cangkir itu, lalu kembali padanya dengan rasa percaya yang aneh. Tubuh Salwa terasa lebih ringan seolah beban yang menghimpit perlahan mencair. Tuan Marcos tetap di sampingnya, menjadi pelindung di tengah malam yang dingin.
Salwa menatap bajunya yang basah dan hangat, merasa ada yang aneh. "Om, siapa yang gantiin bajuku?" suaranya bergetar, mata mulai menyelidik ke arah tuan Marcos. Tuan Marcos menghela napas panjang, mencoba tersenyum sambil menjelaskan,
"Itu... tadi Salsa, putriku. Dia panik waktu kamu tiba-tiba pingsan. Dia ambil kemeja ayahnya dari lemari terus pakaiin handuk kimono biar kamu nggak kedinginan."
Kebohongan itu mengalir dari mulutnya dengan rapi, berharap Salwa percaya. Namun Salwa malah mengejutkan dengan pelukan tiba-tiba, badan kecilnya mengguncang dalam isak tangis yang tak bisa ditahan.
"Salwa, ada apa? Ayo duduk dulu," ajak Marcos lembut sambil merangkul bahu cucu itu. Mereka duduk di sofa empuk, di kamar yang megah namun terasa hampa. Air mata Salwa mengalir tanpa henti, jemarinya sibuk mengusap pipi, wajahnya penuh kecewa yang sulit diungkapkan kata-kata.
"Kamu boleh cerita ke om, apa pun yang kamu rasakan," bisik Marcos dengan penuh perhatian, berharap bisa menghapus beban di hati Salwa.
"Ayo, katakan! Apa yang sebenarnya terjadi, Hem?" Tuan Marcos menatap tajam, suara penuh harap.
Ia menyerahkan secangkir teh hangat pada Salwa, yang dengan gemetar menerimanya. Ken, pelayan setianya, sudah membawakan minuman itu dan mengantarkannya hingga ke kamar tuan. Salwa mengangkat cangkir perlahan, menyeruput teh manis itu sambil menahan berat di dada.
"Aku... om, kakakku yang selama ini membiayai sekolah dan hidupku... dia ternyata bekerja sebagai wanita malam," ucap Salwa lirih, wajahnya pucat seketika. Matanya tak berani menatap langsung ke wajah tuan Marcos.
"Dia menjual dirinya demi mendapatkan uang banyak..."
Tuan Marcos mengangguk pelan, wajahnya tak menunjukkan sedikitpun kejutan. Di masa kini, lelaki itu berpikir, sulit bagi gadis remaja menjaga kesucian demi gaya hidup yang semakin menuntut. Bukan lagi sekadar bertahan hidup, tapi semua dilakukan demi kemewahan dan penampilan yang mentereng.
Tuan Marcos menatap Salwa dengan serius, matanya tak menyembunyikan rasa penasaran. “Darimana kamu tahu kakak kandungmu menjual diri sebagai pelacur?” tanyanya tajam.
Salwa mengerutkan dahi, suaranya sedikit bergetar, “Saya lihat sendiri, Om. Kakak saya masuk ke sebuah hotel bersama pria tua. Mereka berjalan sangat mesra.”
Tuan Marcos terkekeh pelan, menyikut pinggulnya. “Loh, siapa tahu kamu salah paham, Salwa. Mungkin itu kekasih kakakmu, yang memang lebih tua.”
“Aku gak percaya, Om! Mana mungkin kakakku punya pacar om-om tua seperti itu?” Salwa mendongak dengan bibir manyun, suara kecewanya terdengar jelas.
Tuan Marcos menyunggingkan senyum dingin, “Zaman sekarang, yang penting duit banyak, Salwa. Bisa jadi kakakmu memang cari pasangan om-om biar kebutuhan kalian terbantu.”
Salwa menunduk, pandangannya kosong. “Kalau begitu, Om… aku juga pengen punya pacar yang bisa biayain sekolah dan hidupku.”
Tuan Marcos langsung tertawa lepas, suara renyahnya memenuhi ruangan. “Nah, itu baru semangat!”
Tuan Marcos terkekeh, suaranya pecah tertawa. "Hahaha, kamu ini memang lucu banget!" ujarnya, matanya menyipit penuh geli.
Di sudut ruangan, Salwa duduk diam, bibirnya menegang, tapi matanya justru mengintip sekilas ke arah Tuan Marcos yang sedang tersenyum lebar dengan wajah yang terlihat manis dan tenang.
Dalam benaknya, muncul bisik-bisik harapan. Kalau saja om Marcos jadi pacarku, pikir Salwa, hidupku pasti jadi mudah. Lagipula, om ini tampan juga, meski usia kami terpaut jauh. Namun, dia buru-buru mengusir bayangan itu. Mana mungkin aku membiarkan diri melayang pada mimpi konyol seperti itu, apalagi sampai membayangkan panggilan ‘mama’ yang aneh dari Salsa, sesuatu yang sangat jauh dari kenyataan. Salwa menarik napas panjang, berusaha mengembalikan pikirannya pada tujuan nyata hari itu.
kau ini punya kekuatan super, yaaakk?!
keren, buku baru teroooss!!🤣💪