NovelToon NovelToon
Faded Lust

Faded Lust

Status: sedang berlangsung
Genre:Slice of Life / Penyesalan Suami / Selingkuh / Cintapertama / Tamat
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Mga_haothe8

Lunara Angelita selalu percaya bahwa pernikahannya dengan Halden Nathaniel—pelukis jenius yang menjadi kebanggaan kota kecil mereka—adalah rumah paling aman yang pernah dimilikinya. Lima tahun bersama, lima tahun bahagia… atau setidaknya begitu yang ia yakini.

Hingga pada malam hujan yang sunyi, saat listrik padam, Luna tanpa sengaja menemukan sebuah kanvas tersembunyi di gudang. Dan di balik kain putihnya terpampang wajah perempuan yang seharusnya telah lama hilang dari hidup mereka—Karina, mantan kekasih Halden. Dilukis dengan detail yang hanya diberikan oleh seorang pria pada seseorang yang masih memenuhi hatinya.

Lukisan itu baru. Sangat baru.

Saat Luna menuntut kebenaran, Halden tidak berbohong—tetapi jawabannya jauh lebih menyakitkan dari pengkhianatan.

Melukis, katanya, bukan tentang siapa yang menemani hari-harinya.
Melainkan tentang siapa yang tak pernah benar-benar pergi dari hatinya.

Seketika dunia Luna runtuh.
Apakah selama ini ia hanya menjadi istri di ata

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Awal Kehancuran"

Malam itu, Halden mengajak Luna makan malam di sebuah restoran kecil yang dulu sering mereka kunjungi. Tempatnya sederhana, hangat, dengan lampu temaram dan musik pelan—semua hal yang dulu membuat Luna merasa pulang.

Namun kini, ada jarak yang tak terlihat.

Luna duduk berhadapan dengan Halden, menatap menu tanpa benar-benar membaca. “Kok ke sini?” tanyanya pelan. “Udah lama banget.”

Halden tersenyum kaku. “Aku cuma… pengin kita kayak dulu.”

Luna mengangguk kecil. “Dulu ya.”

Pesanan datang. Mereka makan dalam keheningan yang aneh. Tak ada canda, tak ada cerita ringan seperti dulu. Hanya suara sendok bertemu piring.

“Kamu capek banget akhir-akhir ini,” ujar Halden akhirnya.

“Kerjaan lagi banyak,” jawab Luna singkat. “Pasien nggak bisa nunggu.”

Halden mengangguk. Ia ingin bilang *aku kangen kamu*, tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokan. Ia merasa tak pantas.

“Lun,” ucapnya hati-hati, “kalau suatu hari… aku bikin kamu kecewa, kamu bakal gimana?”

Luna berhenti makan. Ia menatap Halden, lama. “Kenapa nanya gitu?”

“Cuma kepikiran aja.”

Luna menghela napas. “Aku bukan orang yang gampang nyerah, Halden. Tapi aku juga bukan orang yang bisa pura-pura nggak sakit.”

Kalimat itu seperti pisau tipis yang menggores pelan. Halden menunduk. “Kamu masih percaya sama aku?”

Luna terdiam beberapa detik. “Aku milih percaya. Karena kalau aku berhenti percaya, pernikahan ini nggak ada artinya.”

Halden menggenggam sendoknya kuat-kuat. Dadanya sesak. Kepercayaan itu terasa terlalu mahal untuk dikhianati—dan ia sudah terlanjur melakukannya.

Setelah makan, mereka berjalan keluar restoran. Udara malam dingin. Luna menyilangkan tangannya.

“Kamu dingin?” tanya Halden.

“Sedikit.”

Halden melepas jaketnya dan menyampirkannya ke bahu Luna, kebiasaan lama yang reflek ia lakukan. Luna menoleh, tersenyum kecil. “Makasih.”

Senyum itu membuat Halden ingin berteriak jujur. Tapi ketakutannya lebih besar.

~•------------------------------------------------•~

Di sisi lain kota, Karina berdiri di depan jendela apartemennya. Ponselnya di tangan, layar gelap. Ia menunggu pesan yang tak kunjung datang.

“Akhirnya kamu pilih makan malam sama istri kamu,” gumamnya.

Ia menghela napas, lalu mengirim pesan singkat.

**Karina:**

*Kamu ke mana?*

Beberapa menit berlalu. Tak ada balasan.

Karina tersenyum tipis, pahit. “Pengecut,” bisiknya.

~•------------------------------------------------------------------•~

Di mobil, perjalanan pulang terasa sunyi. Lampu kota berpendar di kaca jendela.

“Halden,” ujar Luna tiba-tiba, “kamu bahagia nggak sama aku?”

Pertanyaan itu membuat Halden menginjak rem sedikit lebih pelan. “Kenapa kamu nanya gitu?”

“Entah,” jawab Luna jujur. “Aku ngerasa kamu jauh. Padahal kamu ada di samping aku.”

Halden menelan ludah. “Aku bahagia.”

Kebohongan itu keluar terlalu mudah.

Luna menatap jalan di depannya. “Kalau suatu hari kamu ngerasa nggak bahagia lagi, bilang. Jangan cari pelarian.”

Kalimat itu membuat tangan Halden bergetar di setir. “Kamu mikir aku bakal gitu?”

“Aku harap enggak,” jawab Luna pelan. “Karena aku nggak akan kuat.”

Sesampainya di apartemen, Luna langsung masuk kamar, kelelahan. Halden berdiri di ruang tamu, ponselnya kembali bergetar.

**Karina:**

*Kamu selalu bilang aku penting, tapi aku selalu datang setelah dia. Sampai kapan?*

Halden memejamkan mata. Rasa bersalah itu kini berubah menjadi ketakutan.

Ia mengetik balasan dengan tangan gemetar.

**Halden:**

*Aku butuh waktu.*

Balasan datang cepat.

**Karina:**

*Waktu itu milik orang yang berani memilih. Kamu cuma menunda kehancuran.*

Halden meletakkan ponselnya. Ia menoleh ke arah kamar, tempat Luna tertidur dengan wajah lelah namun tenang.

Untuk pertama kalinya, ia benar-benar sadar:

jika ia terus diam, ia akan kehilangan semuanya.

~•--------------------------------------------------------------------•~

Pagi berikutnya, di rumah sakit, Luna hampir pingsan saat berdiri lama di ruang operasi. Nathan sigap menahannya.

“Na!”

“Aku… nggak apa-apa,” ujar Luna lemah.

Nathan membantu Luna duduk. “Kamu butuh istirahat. Ini bukan negosiasi.”

Luna tersenyum lemah. “Kamu galak ya.”

“Karena aku peduli.”

Tatapan mereka bertemu. Terlalu lama. Terlalu dalam.

Luna segera memalingkan wajah. “Makasih, Nat.”

Nathan mengangguk, tapi hatinya bergejolak. Ia tahu, semakin ia berada di dekat Luna, semakin sulit ia menarik diri.

~•----------------------------------------------------------------•~

Sore itu, Halden menerima satu pesan yang membuat jantungnya berhenti sesaat.

**Karina:**

*Aku hamil.*

Halden terduduk. Dunia seakan runtuh di sekelilingnya.

Dan tanpa ia sadari, badai yang sesungguhnya baru saja dimulai.

Halden menatap layar ponselnya tanpa berkedip. Kata-kata itu berulang di kepalanya, menghantam satu per satu pertahanannya.

*Aku hamil.*

Tangannya gemetar. Napasnya terasa pendek. Ia bangkit dari sofa lalu berjalan mondar-mandir di ruang tamu, mencoba berpikir, mencoba menyangkal.

Ia menekan tombol panggil.

“Karina,” ucapnya begitu panggilan tersambung. “Kamu serius?”

Di seberang sana, Karina terdiam beberapa detik. “Kamu pikir aku bercanda soal hal kayak gini?”

“Kamu… udah cek ke dokter?”

“Sudah. Dua minggu,” jawab Karina tenang. Terlalu tenang. “Dan sebelum kamu tanya, iya, itu anak kamu.”

Halden menutup mata. “Kamu kenapa baru bilang sekarang?”

“Karena aku mau lihat, sejauh apa kamu masih bisa pura-pura,” jawab Karina. “Dan karena aku capek sendirian.”

Halden duduk terhempas. “Aku butuh waktu buat mikir.”

“Selalu itu yang kamu minta,” sahut Karina dingin. “Tapi sekarang bukan cuma soal kamu lagi.”

Panggilan terputus.

Halden memandangi langit-langit apartemen. Untuk pertama kalinya, kebohongan yang ia bangun terasa benar-benar menjebaknya. Ini bukan lagi rahasia yang bisa disembunyikan dengan alasan lembur atau rapat.

Ini nyawa.

~•---------------------------------------------------------------•~

Di rumah sakit, Luna duduk di ruang istirahat, memegangi kepalanya. Dunia masih sedikit berputar, tapi ia memaksa tersenyum saat Nathan masuk membawa segelas air.

“Minum dulu,” ujar Nathan lembut.

Luna menuruti. “Aku kayaknya kecapekan.”

“Kamu bukan ‘kayaknya’,” balas Nathan. “Kamu memang kecapekan.”

Luna tertawa kecil, lalu terdiam. “Nat… kalau kamu ada di posisiku, punya pasangan tapi merasa sendirian, apa yang bakal kamu lakuin?”

Nathan tak langsung menjawab. Ia menimbang kata-katanya. “Aku bakal cari tahu, apakah kesendirian itu datang karena jarak… atau karena kejujuran yang hilang.”

Luna menatap gelasnya. “Kadang aku takut jawabannya.”

“Takut bukan alasan buat nutup mata,” ujar Nathan pelan.

Luna mengangguk, meski hatinya bergetar. Ada perasaan tak nyaman yang tak bisa ia jelaskan.

~•---------------------------------------------------------------•~

Malam itu, Halden pulang lebih lambat dari biasanya. Luna sudah menunggunya di ruang tamu, masih mengenakan pakaian rumah.

“Kamu dari mana?” tanya Luna.

Halden melepas sepatunya perlahan. “Rumah sakit. Aku ketiduran.”

Kebohongan lagi. Dan entah kenapa, kali ini Luna merasakannya.

“Oh,” jawab Luna singkat.

Mereka duduk bersebelahan, tapi terasa jauh.

“Halden,” ucap Luna tiba-tiba, “kalau aku tanya sesuatu, kamu jawab jujur ya.”

Jantung Halden berdetak keras. “Tentang apa?”

“Tentang kita,” jawab Luna pelan.

Halden menelan ludah. “Iya.”

Luna menatapnya. “Kamu masih setia sama aku?”

Pertanyaan itu menggantung di udara. Detik terasa memanjang.

“Iya,” jawab Halden akhirnya.

Namun matanya tak mampu menatap Luna.

Luna tersenyum tipis. Senyum yang tak sampai ke mata. “Oke.”

Ia berdiri. “Aku mau tidur.”

Halden menatap punggung Luna yang menjauh. Ada rasa lega sesaat karena kebohongannya kembali dipercaya. Tapi lebih besar dari itu—ada ketakutan yang mencengkeram.

Karina. Kehamilan. Luna. Nathan.

Empat titik yang kini saling terhubung oleh satu kesalahan besar.

Di balkon kamar, Luna berdiri sendirian, menatap malam. Dadanya terasa berat, seolah firasat buruk sedang mengetuk pelan.

“Sesuatu bakal terjadi,” bisiknya pada angin.

Dan tanpa ia tahu, kebenaran sedang berjalan mendekat.

Tak bisa dihentikan.

1
Telurgulung
lanjut atau end disini aja?
Yunie
akhirnya bisa bahagia... lanjut thor
Yunie
sedihnya jadi Luna
Yunie
alurnya menarik
Yunie
makin menarik
Siti M Akil
lanjut Thor
ayu cantik
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!