Untuk membalaskan dendam keluarganya, Swan Xin menanggalkan pedangnya dan mengenakan jubah sutra. Menjadi selir di Istana Naga yang mematikan, misinya jelas: hancurkan mereka yang telah membantai klannya. Namun, di antara tiga pangeran yang berebut takhta, Pangeran Bungsu yang dingin, San Long, terus menghalangi jalannya. Ketika konspirasi kuno meledak menjadi kudeta berdarah, Swan Xin, putri Jendral Xin, yang tewas karena fitnah keji, harus memilih antara amarah masa lalu atau masa depan kekaisaran. Ia menyadari musuh terbesarnya mungkin adalah satu-satunya sekutu yang bisa menyelamatkan mereka semua.
Langkah mana yang akan Swan Xin pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 Sang Dingin dan Si Selengekan ( semau gue, cuek, suka kebebasan)
Cengkeraman di lengannya tidak mengendur. Jari-jari dingin itu seolah terbuat dari baja, mencengkeram kain sutra dan kulitnya dengan kekuatan yang tidak perlu. Swan Xin mendongak, napasnya tertahan. Aura dingin yang memancar dari Pangeran Bungsu itu jauh lebih menusuk daripada tatapan matanya.
“Anda buta?” tanya San Long. Suaranya rendah dan datar, tanpa infleksi, seperti permukaan danau beku. “Koridor istana ini bukan taman bermain tempat Anda bisa berlari sesuka hati.”
Kasim Li di belakangnya sudah bersujud, wajahnya hampir menyentuh lantai marmer. “Mohon ampun, Yang Mulia Pangeran Bungsu! Ini semua salah hamba! Hamba tidak…”
“Diam,” potong San Long tanpa mengalihkan pandangannya dari Swan. “Aku tidak bicara denganmu.”
Swan merasakan amarah dingin merayap naik ke kerongkongannya. Delapan tahun latihan telah mengajarinya untuk mengendalikan emosi, tetapi cengkeraman ini—arogansi ini—terasa personal. Ia bisa saja mematahkan pergelangan tangan pria ini dalam dua detik. Tapi ia adalah Selir Mei Lin sekarang. Lemah dan anggun.
Ia menarik lengannya dengan lembut. Cengkeraman itu tidak bergerak.
“Maafkan kelancangan hamba, Yang Mulia,” kata Swan, suaranya dibuat semanis mungkin, tetapi matanya menantang. “Hamba hanya terlalu terpesona dengan keindahan ukiran di pilar itu.”
San Long melirik sekilas ke pilar polos di dekat mereka. “Pilar itu terbuat dari batu biasa. Sama seperti seratus pilar lainnya di sayap ini. Cari alasan yang lebih baik, Selir Xin.”
“Kok Anda tahu namaku?” balas Swan cepat. Senyum manisnya kini memiliki sedikit keasaman. “Aku kan baru saja tiba.”tanpa hormat dan basa basi lagi. Membuat kasim Li sampai membelalakkan kedua matanya, serta menahan nafas dengan ketakutan dan ngeri. Pangeran Bungsu, di kenal, sebagai, pangeran yang tak pernah tersenyum, sinis, kejam tanpa belas kasihan jika menghukum yang salah. Atau yang bagi dia merugikan Kekaisaran.
“Berita tentang cucu kesayangan Guru Besar Wen menyebar lebih cepat daripada api di padang kering,” sahut San Long. Cengkeramannya sedikit mengerat. “Dan itu artinya, Anda seharusnya tahu lebih baik tentang tata krama. Berjalan di istana itu dengan mata terbuka dan kepala tertunduk.”
“Kepala tertunduk, ya?” ulang Swan. Ia memiringkan kepalanya sedikit. “Bagaimana aku bisa melihat keindahan Istana Naga kalo aku harus menatap sepatuku sendiri sepanjang hari?”
“Keindahan istana ini sudah merenggut lebih banyak nyawa daripada pedang di medan perang,” desis San Long seakan berbisik di dekat telinga Swan, wajahnya mendekat beberapa senti. Swan bisa mencium aroma samar kayu cendana dan ozon dari jubahnya. “Aturan dan protokol adalah satu-satunya benteng yang menjaga kita tetap beradab. Anda melanggarnya di hari pertama Anda. Bukan awal yang bagus.”
Komandan Lei benar. Orang ini berbahaya. Bukan karena kekuatannya yang terlihat, tapi karena obsesinya pada aturan yang kaku. Itu adalah topeng yang sempurna untuk menyembunyikan kekejaman yang tak terduga.
“Kalau begitu, aku berterima kasih atas pelajaran berharganya, Yang Mulia,” sahut Swan, nadanya masih ringan namun penuh sarkasme yang tersembunyi. “Bolehkah aku mendapatkan lenganku kembali sekarang? Atau ini bagian dari hukuman juga?”
San Long menatapnya tajam selama beberapa detik yang terasa seperti satu jam. Tatapannya seolah mencari sesuatu di balik mata Swan. Mencari celah, mencari kelemahan.
“Anda punya mata yang kurang ajar,” katanya pelan.
“Hadiah dari orang tuaku,” balas Swan tanpa berkedip. “Katanya, lebih baik punya mata yang kurang ajar daripada pikiran yang tumpul.”
Untuk sesaat, Swan melihat sesuatu berkedip di mata pangeran itu. Bukan amarah. Sesuatu yang lain. Terkejut? Atau mungkin… geli? Tapi itu lenyap secepat kilat, digantikan lagi oleh topeng es yang sama.
“Di tempat ini, lidah yang tajam akan dipotong lebih dulu sebelum matanya dicungkil,” ujar San Long dingin. “Ingat itu baik-baik.”
Dia baru saja akan melepaskan cengkeramannya ketika sebuah suara yang halus dan hangat memecah ketegangan.
“Adikku sayang, apa yang sedang kau lakukan? Kau menakuti tamu baru kita. Apakah itu caramu menyambut bunga cantik yang sedang mekar dan harum ini? Jangan sampai kau buat lari dan menangis kemudian berlari ketakutan. Dia adalah bunga yang paling cantik di halaman belakang ini. Kiranya jangan membuat kita dianggap mencampuri urusan istana dalam oleh permaisuri.
Sesosok pria lain muncul dari sudut koridor. Jubahnya terbuat dari sutra biru langit, disulam dengan benang perak membentuk awan-awan yang berarak. Wajahnya tampan dengan cara yang lebih lembut daripada San Long. Senyumnya lebar dan ramah, tetapi tidak mencapai matanya yang cerdas dan penuh perhitungan. Pangeran Sulung, Jiang Long.
San Long langsung melepaskan lengan Swan seolah baru saja memegang bara api. Ia melangkah mundur, ekspresinya kembali datar. “Aku hanya mengajarkan selir baru ini tentang pentingnya peraturan.”
“Oh, tentu saja,” kata Jiang Long, tawanya renyah. Ia melangkah mendekat, mengabaikan adiknya dan memusatkan seluruh perhatiannya pada Swan. Ia membungkuk sedikit dengan anggun. “Pangeran Jiang Long, siap melayani Anda, Nona. Maafkan kelakuan adikku. San Long kadang terlalu… serius.”
“Dia hanya memastikan aku tidak tersesat,” sahut Swan, mengusap lengannya yang sedikit memerah.
“Dengan mencengkeram lengan seorang wanita cantik sampai memerah? Itu bukan cara yang diajarkan Ayahanda pada kita,” cibir Jiang Long, melirik sinis pada adiknya.
San Long mendengus pelan. “Aku gak punya waktu untuk permainanmu, Kakak pertama.” Ia menatap Swan sekali lagi, tatapannya penuh peringatan. “Jaga langkah Anda, Selir Xin.”
Tanpa menunggu jawaban, San Long berbalik dan berjalan pergi dengan langkah cepat, jubah hitamnya berkibar di belakangnya sebelum menghilang di tikungan koridor.
Keheningan yang canggung menyelimuti mereka bertiga. Kasim Li masih gemetaran di lantai.
Jiang Long tersenyum lagi, senyum yang terasa seperti mentega hangat yang menutupi sebilah pisau dingin. “Sekarang setelah pengganggu itu pergi…” Dia mengulurkan tangannya yang terawat baik ke arah Swan. “Izinkan aku yang menebus kesalahannya. Sepertinya butuh pemandu yang lebih ramah di istana ini.”ucap Jiang Long dan berusaha untuk menunjukkan sikap yang sangat baik dan menyenangkan.
Tapi Swan Xin hanya melihat dan menganggap biasa saja. Memang lebih ramah dan baik terlihat. Beda dengan pangeran yang mencengkram lengannya dengan sangat kasar dan kuat. Bagaikan beda langit dan bumi.
"Terima kasih, Yang Mulia, Pangeran pertama. Yang Mulia, hingga menghampiri kami. Maafkan kami Yang Mulia. Semua salah hamba..." ucap Swan Xin memukau dan sangat lembut serta terdengar sangat tenang. Bagaikan angin sepoi sepoi yang mengandung butiran embun pagi yang terasa sangat sejuk....
trmkash thor good job👍❤