Duit tinggal ceban, aku ditawarin kerja di Guangzhou, China. Dengan tololnya, aku menyetujuinya.
Kupikir kerjaan itu bisa bikin aku keluar dari keruwetan, bahkan bisa bikin aku glow up cuma kena anginnya doang. Tapi ternyata aku gak dibawa ke Guangzhou. Aku malah dibawa ke Tibet untuk dinikahkan dengan 3 laki-laki sekaligus sesuai tradisi di sana.
Iya.
3 cowok itu satu keluarga. Mereka kakak-adik. Dan yang paling ngeselin, mereka ganteng semua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mega Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
“Sonam, plis jangan begini.”
Secepat mungkin aku melepas tangan Sonam dari pinggangku, lanjut melangkah sampai menjauh dari suami pertamaku itu—Risih, itu lah yang kurasakan.
“Kamu kenapa?” Sonam terkejut melihat reaksiku.
Aku menatap Norbu yang tampak bingung, menatap Tenzin yang tampak tenang, lalu kembali menatap Sonam yang masih kaget. “Aku gak suka kamu main cium-cium begitu.”
Aku kembali memindahkan pandangan ke arah Tenzin. Yang padahal, Tenzin juga pernah cium aku—cium bibir malah. Tapi anehnya, aku gak semarah ini.
“Kenapa tidak boleh cium?” tanya Sonam. “Ini hanya cium. Di malam pertama nanti kamu akan dapat yang lebih.”
“Ya gak boleh pokoknya,” jawabku asal. “Malu lah dilihat Tenzin dan Norbu.”
“Hanya alasan itu? Bukankah di perjanjiannya kita berempat akan iclik bersama? Cuma cium, hal yang wajar, kan?” Sonam memandang Norbu dan Tenzin, meminta pendapat.
“Iya, wajar. Kamu harus terbiasa, Beby. Jangan merasa tidak enak walau ditonton kami. Toh, saat iclik bersama nanti, kita semua akan melihat satu sama lain,” jawab Norbu.
Mataku langsung berpindah ke wajah Tenzin, menunggu responnya. Tapi kali ini, dia tetap diam saja.
“Oke-oke, terserah," jawabku akhirnya.
“Bagus.” Sonam kembali menarik pinggangku sambil tersenyum, namun kakiku refleks mundur.
“Aku mandi dulu, ya,” asbunku untuk mengelak.
“Mandi? Kamu tidak dingin mandi di musim dingin begini?” tanya Sonam.
“Enggak, aku gerah. Kulitku lengket habis menempuh perjalanan jauh.” Lekas aku meninggalkan mereka dengan masuk ke kamar mandi.
Pintu tertutup, aku gak tau harus gimana lagi. Yang jelas, aku gak ikhlas kalau kesucianku harus dinikmati pria yang gak aku cintai.
**
**
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam.
Aku duduk di sofa luas yang letaknya tepat di depan jendela kaca raksasa. Kaca itu membentang dari lantai hingga hampir menyentuh langit-langit, membuatku seolah duduk di tepi dunia.
Di baliknya, suasana Beijing di malam hari tampak berkilau seperti lautan cahaya—gedung-gedung tinggi memancarkan lampu keemasan, jalanan dipenuhi garis cahaya kendaraan yang bergerak tanpa henti, dan papan-papan neon berpendar dalam bahasa yang belum sepenuhnya akrab bagiku.
Indah, megah, tapi terasa asing.
Aku memeluk bantal sofa, menyandarkan dagu di atasnya. Di balik kemewahan kota ini, aku justru merasa sepi. Apalagi ke tiga suamiku itu belum kembali.
Tadi, saat aku membersihkan diri, ketiga suamiku itu pamit. Katanya mereka akan langsung menghadiri kerjasama yang entah dengan siapa, karena mendadak mendapat panggilan. Akhirnya, ya begini lah. Aku sendirian kamar ini.
“Mereka gak capek, kah? Baru juga sampai, udah kerja lagi aja,” gumamku, bosan.
TING!
Ponselku yang jarang mendapat notif mendadak berbunyi.
“Tumben? Deti, kah?”
Membuka ponsel, dugaanku salah. Aku mendapat chat dari nomor tak dikenal, tapi setelah kuperhatian foto profilnya—fotonya mirip Tenzin.
“Oh my God!” Terkejut sampai membungkam bibir.
[Sedang apa?] Isi chatnya menggunakan bahasa Indonesia.
”Serius, ini Tenzin bukan, sih? Dia dapet nomorku dari mana? Kok chatnya pake bahasa Indonesia?”
Aku sedikit bingung karena merasa gak pernah membagi nomorku pada siapa pun.
[Siapa?] Balasku.
[Suamimu.]
“Suami?” Aku tertegun.
[Tenzin?] Send.
[Ya.]
Uh—Aku membungkam bibir yang ingin tertawa karena bahagia.
[Kamu dapet nomorku dari mana?] Send. Lanjut senyum-senyum sendiri.
[Deti.]
“Oh, Deti.” Manggut-manggut sebentar, lanjut balas chat.
[Kok kamu bisa ngetik chat pake bahasa Indonesia?] Send.
“Aaaaaakhh!” jeritku di bekapan bantal sofa, gara-gara terlalu senang mendapat nomor Tenzin.
[Translate.]
“Oh, translate.” Aku senyum-senyum lagi, lanjut membalas chat dengan semangat.
[Kamu di mana?] Send.
[Di jalan.]
[Sama Sonam dan Norbu juga?] Send.
[Ya.]
“Singkat banget sih balasnya,” gumamku agak kesal.
[Oh ya, kenapa kamu bilang ke yang lain kalau datang bulanku udah selesai?] Send.
[Agar kamu jujur.]
[Loh, tapi kan hasilnya Sonam jadi pingin cepet-cepet iclik aku.] Send, emoticon cemberut.
[Agar giliranku cepat juga.]
“Anjim,” Aku terkejut. “Jadi dia numbalin aku, kah?”
Mood mendadak hilang untuk membalas pesan.
“Kenapa sih harus Sonam duluan? Gak ikhlas sumpah, gak ikhlas! Gak rela kalau Sonam yang ambil itu. Kenapa bukan Tenzin aja sih?”
Kulemparkan ponsel ke ujung sofa. Mau berusaha ikhlas pun, gak bisa. Bagiku, kegadisan ini benar-benar barang suci yang gak boleh diberikan ke orang sembarangan— Apa lagi aku sudah punya cowok sepesial.
TOK! TOK! TOK!
Suara ketukan pintu membuatku terkesiap. Apalagi saat pintu itu terbuka sendiri tanpa menunggu persetujuan pemilik kamar.
“Siapa?!”
Dengan cepat aku turun dari sofa, hendak mendorong pintu itu–Takut yang datang orang jahat. Tapi saat pintu terbuka sempurna, kakiku langsung mematung di tempat.
“Kamu belum tidur?” tanya Sonam.
Aku terkejut melihat suami pertamaku itu pulang. Namun tak lama kemudian Norbu tiba-tiba masuk, disusul Tenzin.
Loh, katanya tadi masih di jalan?
“K-kalian udah pulang?” tanyaku gugup.
“Sudah,” jawab Sonam yang langsung berdiri di hadapanku.
“Kamu kenapa, Baby?” tanya Norbu setelah meletakkan tas.
“Gak papa, hehe.”
Pandanganku langsung tertuju pada Tenzin yang berdiri di belakang Sonam— Lagi-lagi dia hanya diam dengan gesture tenang.
“Kamu menungguku, ya?” Sonam menarik pinggangku, hingga bagian depan tubuh kami beradu.
“Wah, beruntung sekali kak So bisa iclik malam ini,” ujar Norbu.
“Iclik?”
Jantungku spontan berdebar karena malam ini pasti saatnya. Dengan cepat aku melirik Tenzin yang masih berdiri di belakang Sonam, tapi sialnya dia tetap diam.
“Kamu siap?” Sonam membelai pipiku, disambut tubuhku yang semakin kaku.
“Jadi kami harus tunggu di luar?” tanya Norbu.
“Tentu. Kalian pesan kamar lain saja. Malam ini, kamar ini akan jadi kamar khusus kami.”
Jawaban Sonam tanpa sadar membuatku hampir berkaca-kaca. Sumpah demi apa pun, aku gak ikhlas kalau Sonam duluan.
“Ya sudah, ayo kita pesan kamar lain.” Norbu menarik tangan Tenzin, namun suami keduaku itu mendadak beku seperti batu.
“Hey brother, ayo kita keluar. Malam ini malam pertama kak Sonam.” Norbu merangkul pundak Tenzin, namun Tenzin gak bergeming.
“Tenzin? Kamu kenapa? Cepat keluar,” titah Sonam.
Tenzin tak henti menatapku, lalu beralih menatap Sonam. “Sepertinya tidak adil kalau jadwal gilirannya mengikuti tahun lahir.”
“MAKSUDNYA?” suara Sonam dan Norbu terdengar kompak.
“Bukan kah memang tidak adil jika jadwal giliran ditentukan oleh usia? Tidak ada tantangannya.”
“Maksudmu apa, Tenzin?” Sonam menarik kerah Tenzin. “Aku kakak kalian. Aku putra tertua. Aku berhak mendapatkan giliran pertama.”
Tenzin menurunkan tangan Sonam dari kerahnya dengan gesture tetap tenang. “Lalu Norbu? Bukankah tidak adil jika Norbu dapat giliran terakhir hanya karena dia putra bungsu?”
Mendengar itu, tubuh Norbu langsung tegap. “Benar juga. Kak So, ini memang tak adil bagiku. Kenapa putra terakhir selalu dapat bekasan?”
Sonam mengepalkan tangan. “Kalian berdua kenapa? Bukannya sudah begitu aturannya? Putra pertama yang atur semuanya!”
“Ini hanya soal gantle.”
Jawaban Tenzin membuat Sonam memiringkan kepala. ”Maksudmu apa?”
“Jadwal giliran harus diundi secara pria, bukan melalui usia.”
“SETUJU!” seru Norbu.
“Oh, jadi kalian ingin peraturannya diubah?”
“Ya,” jawab Tenzin.
“Dengan cara apa?”
“Bertarung.”
Alis Sonam menukik. ”Bertarung bagaimana?”
Tenzin menatapku, lanjut kembali menatap Sonam. “Yang menang, yang dapat giliran pertama.”
“SETUJU!” seru Norbu.