Sepenggal kisah nyata yang dibumbui agar semakin menarik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummushaffiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 — Riak-Riak Baru di Dua Dunia
Ruang rapat perlahan kosong, tapi atmosfer kekaguman terhadap Zahwa masih menggantung seperti aroma makanan yang belum sepenuhnya hilang.
Beberapa petinggi perusahaan Daniel masih berada di sana, sengaja memperlambat langkah agar bisa berbicara langsung dengannya.
Zahwa merapikan sisa-sisa slide di laptopnya ketika pintu terbuka, menampilkan dua petinggi divisi pemasaran dan finance yang kembali menghampiri.
“Bu Zahwa,” ujar Bu Nadia, kepala divisi marketing yang terkenal perfeksionis. “Saya mau bilang, presentasi Ibu tadi… luar biasa. Jujur saja, saya langganan catering premium, tapi konsep Ibu beda lebih hangat, lebih punya cerita.”
Zahwa tersenyum sopan.
“Terima kasih banyak, Bu.”
“Saya serius,” sambung Bu Nadia lagi. “Kalau Ibu butuh bantuan dalam branding, saya siap bantu tanpa biaya. Saya ingin lihat usaha Ibu berkembang.”
Zahwa tertegun.
Ia tidak pernah disambut dengan penghargaan setulus itu sebelumnya.
Di rumah Farhan, usaha sekecil apa pun yang ia lakukan dianggap biasa, bahkan kadang salah di mata Rita dan Bu Nina.
Pak Dimas dari finance ikut bergabung.
“Bu Zahwa, untuk kerja sama besar nanti, Ibu jangan kaget kalau kita akan mengajukan kontrak bulanan. Ini kalau berjalan, bisa jadi proyek jangka panjang.”
Zahwa menahan napas.
Benarkah ini akan sejauh itu?
Ia hanya ingin bertahan hidup… tapi Allah membuka pintu lebih jauh daripada yang ia duga.
“InsyaAllah saya siap,” jawab Zahwa merendah.
Pujian demi pujian datang.
Beberapa staf meminta kartu nama, sebagian menawar untuk pesan makanan pribadi, bahkan ada yang minta tips plating dan foto makanan.
Daniel memperhatikan semuanya dari jauh.
Bukan dengan cemburu, tapi dengan tatapan bangga yang tak bisa ia sembunyikan.
Arvino berjalan mendekat, membisikkan, “Pak, Bu Zahwa punya potensi besar sekali. Aura ketika presentasi tadi… semua pada terpesona.”
Daniel mengangguk kecil tanpa melepas pandangannya dari Zahwa.
“Dia lebih dari potensi, Vin,” katanya pelan. “Dia… istimewa.”
Arvino tersenyum.
Ia sudah menduga.
---
Setelah semua petinggi pergi, hanya Zahwa, Daniel, dan Arvino yang tersisa.
“Zahwa,” Daniel berjalan mendekat. “You did amazing. Honestly… I expected good, but this… exceeded everything.”
Zahwa menunduk malu. “Saya hanya berusaha sebaik mungkin.”
“Kau selalu berkata begitu,” Daniel menatapnya lembut. “Padahal apa yang kau lakukan jauh lebih besar dari ‘berusaha’.”
Zahwa terdiam.
Daniel jarang memuji berlebihan, kalimat itu terasa jujur, tulus, dan menenangkan.
“Kalau boleh tahu,” tanya Daniel dengan hati-hati, “kau belajar presentasi dari mana? Cara bicaramu… sangat terstruktur.”
Zahwa tersenyum kecil. “Saya belajar dari kajian online, dari lihat presentasi orang lain. Selebihnya… saya cuma bicara dari hati.”
Daniel terpaku sejenak.
Simple answer, but it shook him in a way he didn’t expect.
Zahwa lalu menatap keluar jendela kaca gedung tinggi itu.
“Apa menurut Anda… makanan saya bisa diterima pasar luas?”
“Zahwa,” jawab Daniel mantap, “kalau saya tidak yakin, saya tidak akan biarkan satu gedung ini mencicipi masakanmu.”
Ia menahan diri agar tidak mengatakan lebih dari yang seharusnya.
Ia sadar Zahwa masih berdiri di persimpangan hidup.
“Untuk selanjutnya,” Daniel melanjutkan, “aku ingin kau fokus membangun konsep final kita. Kau tidak sendirian. Aku… dan perusahaanku ada untuk mendukungmu.”
Ada jeda.
Zahwa tertegun.
“Terima kasih, Pak Daniel. Saya benar-benar… tidak tahu harus bilang apa.”
“Cukup bilang ya, kalau kau butuh apapun.”
Zahwa tersenyum tipis, senyum yang membuat Daniel merasakan sesuatu yang ia belum izinkan tumbuh.
---
Sementara Itu di Rumah Farhan…
Berbanding terbalik dengan kejayaan Zahwa di kantor Daniel, suasana rumah Farhan sedang berlangsung panas.
Bu Nina duduk di ruang tamu dengan wajah kusut. Rita mondar-mandir gelisah sambil memegang bantal, sesekali tertawa kecil lalu marah sendiri.
Abang pertama Farhan datang bersama istrinya.
Obrolan mereka mengarah ke satu hal:
Mengusir Zahwa permanen.
“Ibu,” kata Rita tiba-tiba, “Farhan harus cerai. Zahwa itu… bikin suasana rumah gak tenang.”
Abang pertama mengangguk cepat. “Betul. Dan Lagian… rumah kalian yang baru itu bagus. Tapi kenapa desainnya mirip rumah Zahwa banget? Jangan-jangan dia yang atur, ya?”
Bu Nina mendengus. “Iya. Semua dia yang desain. Enak saja. Rumah itu harusnya Farhan yang tentukan.”
“Makanya,” sambung Abang pertama, “kalau cerai, hak rumah bisa ditarik. Toh tidak ada perjanjian apa-apa. Rumah atas nama Farhan, bukan atas nama Zahwa.”
Istri Abang pertama menambahkan dengan sengit,
“Lagipula Zahwa itu terlalu banyak campur tangan. Pantas Farhan jenuh.”
Rita tiba-tiba tertawa pendek.
“Farhan udah harus bebas. Cari istri baru. Yang nurut sama keluarga.”
Perkataan itu membuat semua hening sejenak… sebelum justru jadi bahan setujuan bersama.
Abang pertama mengambil ponsel.
“Aku punya kenalan pengacara. Kita tinggal minta Farhan tanda tangan. Surat cerai langsung dikirim.”
Bu Nina tampak ragu sejenak… tapi hanya sejenak.
Ambisi mengalahkan logika.
“Kalau itu memudahkan…” kata Bu Nina akhirnya, “ya sudah. Kita ikuti saran kalian.”
Rita menepuk tangan bersemangat.
“Iyaa! Farhan harus cerai! Rumah itu, nanti buat aku sama Ibu!”
Istri Abang pertama menambahkan,
“Nanti cari alasan saja. Bilang Zahwa tak cocok sama keluarga.”
Percakapan itu berlangsung tanpa sedikit pun memikirkan perasaan Zahwa.
Tanpa sedikit pun memikirkan perjuangan Zahwa yang sampai hari ini bahkan masih mereka rasakan manfaatnya.
Dan sementara mereka merencanakan kehancuran rumah tangga Zahwa…
Zahwa sedang membangun hidup baru yang lebih kuat daripada yang mereka kira.