Dunia Yumna tiba-tiba berubah ketika sebuah video syur seorang wanita yang wajahnya mirip dengan dirinya sedang bercinta dengan pria tampan, di putar di layar lebar pada hari pernikahan.
Azriel menuduh Yumna sudah menjual dirinya kepada pria lain, lalu menjatuhkan talak beberapa saat setelah mengucapkan ijab qobul.
Terusir dari kampung halamannya, Yumna pun pergi merantau ke ibukota dan bekerja sebagai office girl di sebuah perusahaan penyiaran televisi swasta.
Suatu hari di tempat Yumna bekerja, kedatangan pegawai baru—Arundaru—yang wajahnya mirip dengan pria yang ada pada video syur bersama Yumna.
Kehidupan Yumna di tempat kerja terusik ketika Azriel juga bekerja di sana sebagai HRD baru dan ingin kembali menjalin hubungan asmara dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Di rumah kontrakan sederhana, lampu ruang tamu memancarkan cahaya kuning hangat. Di tengah ruangan, Arundaru duduk di lantai dengan laptop yang menyala di pangkuannya. Kabel charger berseliweran di sekelilingnya, seolah menjadi saksi betapa sejak tadi ia tidak beranjak.
Jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard, sesekali berhenti untuk membaca ulang file laporan digital yang ia susun. Sesekali dahinya berkerut, bibirnya komat-kamit menahan emosi.
“Mereka menerima suap agar membuat berita sesuai pesanan, Kek. Uangnya tiap bulan tidak main-main,” ucap Arundaru sambil memegang headset.
Di seberang sana, suara berat Kakek Rama langsung meledak, “Apa?! Berani-beraninya mereka bermain kotor di tempatku!”
Arundaru meringis, spontan menyingkirkan headset dari telinga. “Kakek! Jangan teriak di telinga aku! Mau aku budek?!”
“Kamu juga jangan teriak! Kakek enggak budek!” balas Kakek Rama, makin keras.
Hening dua detik. Lalu, Arundaru mendesah panjang. “Kita ini lagi ngomongin orang korup atau adu siapa yang suaranya paling keras, Kek?”
“Ya keduanya lah!” sentak Kakek Rama.
Arundaru memutar bola mata, menutup file laporan. Dinamika seperti ini bukan hal baru. Hubungannya dengan sang kakek sejak dulu memang aneh, setengah dekat dan setengah lagi ingin saling mencekik.
Sejak remaja Arundaru memang sekolah di luar negeri, tapi setiap pulang liburan, dia lebih memilih tinggal di rumah Kakek Rama dibandingkan rumah orang tuanya sendiri. Entah kenapa, walau ribut terus, justru di rumah sang kakek ia merasa diterima sebagaimana adanya.
“Pokoknya, kamu pastikan semua oknum itu terdata dengan jelas. Nama, jabatan, berapa kali melakukan, siapa saja yang terlibat,” ucap Kakek Rama, kembali ke nada serius.
“Sudah aku rangkum semua,” balas Arundaru. “Termasuk yang bagian HRD itu, yang suka minta uang pelicin kalau ada orang mau masuk kerja. Padahal aturan dari kakek kan jelas kalau ADTV tidak boleh memungut biaya apa pun.”
Suara Kakek Rama terdengar makin berat. “Dulu, saat kakek masih aktif, tidak ada yang berani macam-macam begitu. Kakek menua sedikit saja, eh orang-orang mulai coba-coba. Dasar ular berbulu manusia.”
Arundaru mengangkat alis. “Biasanya manusia berbulu domba, Kek.”
“Sama saja!” Bentakan itu membuat Arundaru menegang sekaligus geli.
Pembicaraan mereka akhirnya kembali memanas, berubah menjadi perdebatan sepele seperti biasanya. Namun, setelah beberapa menit, Arundaru berhasil memutuskan panggilan.
Arundaru memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang. “Huh ...!” gumamnya sambil menepuk pipi sendiri.
“Daripada ngomel-ngomel enggak jelas, mending jalan keluar. Sekalian cari udara segar. Siapa tahu ketemu Yumna.” Nada suaranya langsung berubah lembut ketika menyebut nama itu. Tanpa sadar, senyum kecil muncul di bibirnya.
Arundaru merapikan laptop, memasukkannya ke meja kecil di samping sofa. Lalu, ia keluar rumah, memasukkan kedua tangan ke saku celana, berjalan santai menyusuri gang kontrakan. Mata Arundaru terus mengamati sekitar, siapa tahu Yumna sedang keluar membeli makan seperti biasanya.
Malam itu suasana kontrakan cukup ramai. Beberapa tetangga terlihat duduk-duduk di kursi plastik sambil mengobrol. Lampu temaram dari warung gorengan di ujung jalan membuat suasana terasa semakin hidup.
Di waktu bersamaan, Yumna berdiri di depan pintu kamar kosnya. Ia merapikan cardigan abu-abunya, lalu keluar dengan niat membeli makanan. Perutnya sudah lapar sejak tadi, tapi ia menahan diri karena ingin memastikan semua pekerjaan hariannya selesai dulu.
Biasanya, Yumna membeli nasi goreng atau mie tektek yang lewat di depan kos. Namun, malam ini ia ingin berjalan sedikit lebih jauh ke pedagang yang ada di ujung jalan.
Baru beberapa langkah berjalan, suara lembut seseorang memanggilnya.
“Yumna, mau ke mana?” tanya Oma Sari dari teras rumahnya.
Perempuan paruh baya itu sedang menata dua keresek besar berisi makanan. Senyum ramahnya selalu membuat orang betah diajak bicara.
“Mau beli nasi goreng di depan sana, Oma,” jawab Yumna sambil tersenyum sopan.
“Eh, enggak usah beli. Nih!” Oma Sari mengangkat dua keresek itu. “Ada nasi berkat. Penghuni baru yang tinggal di kamar pojok tadi bagi-bagi.”
Mata Yumna langsung berbinar. “Wah, serius, Oma? Yumna suka banget nasi berkat!” ucapnya penuh antusias.
Oma Sari terkekeh. “Iya, ambil aja satu. Masih hangat, enak kalau dimakan sekarang.”
Yumna menerima keresek berisi nasi berkat itu dengan kedua tangan. Wajah dia berbinar senang dan senyum lebar menghiasi wajahnya.
“Terima kasih, Oma. Ini rezeki malam-malam. Siapa nama penghuni kamar itu, Oma?" tanya Yumna.
“Namanya siapa, ya, tadi,” gumam Oma Sari sambil mengingat-ingat. “Ah! Izrail!”
Yumna langsung tertegun. “Izrail?”
“Iya,” jawab Oma Sari sambil manggut-manggut. “Namanya memang itu. Mungkin orang tuanya terinspirasi dari sesuatu.”
Yumna mematung sejenak, memandangi nasi berkat di tangannya. “Namanya kok sama dengan malaikat maut? Apa orang tuanya enggak mikir dua kali saat memberinya nama?” pikir Yumna dalam hati.
Oma Sari mencondongkan tubuh, wajahnya penuh semangat. “Dia itu pria ganteng, loh! Tingginya pas, mukanya bersih, orangnya ramah. Siapa tahu kamu cocok dan berjodoh. Terus lanjut ke pelaminan.”
Yumna tersenyum kaku. “Oma bisa saja ....”
Hati Yumna tergetar aneh. Bukan karena si penghuni baru, tetapi karena kata pelaminan.
Trauma itu masih menghantuinya. Trauma yang muncul tiap melihat dekorasi pernikahan, tiap mendengar musik wedding, bahkan mendengar kata "suami" saja membuat dadanya mengencang.
Oma Sari mengamati perubahan ekspresi Yumna dengan tatapan lembut. “Kamu ini masih muda, masih cantik. Enggak usah takut sama kebahagiaan.”
Yumna menunduk. “Iya, Oma. Makasih sarannya.”
Lalu, Yumna pergi dengan senyum lebar. Kepergiannya tertahan ketika langkah kaki seseorang terdengar dari arah belakang.
“Yumna?”
Yumna menoleh pelan.
Restu nenek dan kakek sdh di genggam 💪🏼💪🏼
Hidup harus melangkah ke depan bukan selalu menoleh kebelakang 💪🏼💪🏼 Yumna