Livia hidup dengan satu aturan: jangan pernah jatuh cinta.
Cinta itu rumit, menyakitkan, dan selalu berakhir dengan pengkhianatan — dia sudah belajar itu dengan cara paling pahit.
Malam-malamnya diisi dengan tawa, kebebasan, dan sedikit kekacauan.
Tidak ada aturan, tidak ada ikatan, tidak ada penyesalan.
Sampai seseorang datang dan mengacaukan segalanya — pria yang terlalu tenang, terlalu dewasa, dan terlalu berbahaya untuk didekati.
Dia, Narendra Himawan
Dan yang lebih parah… dia sudah beristri.
Tapi semakin Livia mencoba menjauh, semakin dalam dia terseret.
Dalam permainan rahasia, godaan, dan rasa bersalah yang membuatnya bertanya:
apakah kebebasan seindah itu jika akhirnya membuatnya terjebak dalam dosa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 Hari Sial
Veronica memandangi Narendra dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. Elegan, namun penuh luka. Cantik, namun dingin. Suaranya pelan, tetapi mampu menusuk seperti pisau tipis.
“Aku sudah duduk di kursi roda selama enam bulan, Mas,” ujarnya, menyilangkan jari-jarinya yang pucat. “Dan selama itu pula kamu lebih banyak menghabiskan waktu di kantor daripada di rumah.”
Narendra mengepalkan tangan pelan. “Aku bekerja untuk kita. Kamu tahu itu.”
Veronica tertawa pendek dan getir.
“Untuk kita? Atau untuk melarikan diri dariku?”
Narendra mendesah panjang, memijit pangkal hidungnya. “Veronica, aku lelah membahas ini. Kamu datang tiba-tiba tanpa kabar, dan kantor sedang padat—”
“Dan kamu tidak suka aku mengganggumu, begitu?” potong Veronica cepat.
“Padahal aku hanya ingin memastikan suamiku tidak lupa kalau ia punya istri.”
Narendra menatapnya lama. Ada sedih di matanya, bukanlah amarah.
“Kamu tahu kenapa aku jarang di rumah,” katanya lirih. “Setiap kali aku pulang, kamu selalu memulai pertengkaran. Kamu selalu curiga… seolah aku musuhmu.”
Veronica sedikit menegakkan posisi tubuhnya.
“Kalau aku tidak curiga, aku bukan Veronica.”
Dia menatap Narendra tajam. “Karena hanya itu satu-satunya cara agar kamu tetap memandangku.”
Narendra terpaku.
Tatapan itu… tatapan seseorang yang hancur, bukan yang ingin berperang.
“Aku tidak pernah menjauh karena kamu lumpuh,” Narendra berkata pelan. “Aku menjauh karena kamu terus menolakku untuk membantu. Kamu terus menyalahkan dirimu… dan aku.”
Veronica meremas lengan kursi rodanya hingga buku jarinya memutih.
“Aku tidak butuh bantuan siapa pun,” gumamnya dengan mata berair. “Tidak dari perawat, tidak dari orangtuaku—dan tidak dari kamu.”
Narendra menatapnya dengan lelah.
“Itu masalahnya, Vero. Kamu ingin terlihat kuat, tapi kamu menghukum semua orang yang mencoba mendekat.”
Air mata Veronica jatuh, namun dengan cepat ia seka, ia tidak ingin terlihat rapuh di depan suaminya.
“Kalau aku tidak kuat, aku akan hancur, Mas,” suaranya pecah. “Aku sudah kehilangan banyak hal. Kaki ku… hidupku… aku tidak mau kehilangan kamu juga.”
Narendra menunduk, suara hatinya sendiri kacau.
“Aku tidak pergi kemana-mana, Vero. Aku di sini.”
Veronica kembali tersenyum, senyum yang terasa pahit.
“Kalau begitu, jangan macam-macam di belakangku Mas. Apa pun yang terjadi…” Mata Veronica tampak menggelap.
“...aku akan tahu.”
Narendra membeku.
Ucapan itu bukan sekadar cemburu.
Ada ancaman halus di dalamnya.
Di luar ruangan, Livia berdiri terpaku di balik dinding kaca buram. Ia tak mendengar keseluruhan percakapan, tapi dua kata terakhir itu.
'aku akan tahu' menggema ke telinganya.
Ia mundur pelan, berniat menjauh sebelum ia terseret ke dalam konflik yang bukan miliknya.
Namun saat melangkah mundur, tumit sepatunya menyentuh kusen pintu, membuat bunyi kecil.
Krek.
Dalam hitungan detik, kepala Veronica menoleh ke arah pintu.
Mata mereka bertemu melalui celah kaca buram.
Dan untuk pertama kalinya…
Veronica melihat Livia.
Tatapan mereka terkunci.
Dingin. Menilai. Mencurigai.
Seolah Veronica baru saja menemukan alasan lain untuk bertengkar dengan suaminya.
Segera Livia menutup rapat napas gugupnya. Tatapan Veronica barusan seperti belati yang menyapu kulitnya. Tapi ia tidak mungkin kabur begitu saja, map laporan yang ia bawa harus diserahkan hari ini juga.
Dengan cepat ia membenarkan blazernya, mengetuk pintu dua kali, dan memaksa dirinya masuk.
Tok. Tok.
Narendra menoleh, sedikit terkejut. “Livia?”
Livia menunduk sopan.
“Maaf mengganggu, Pak. Saya ingin menyerahkan laporan keuangan yang Bapak minta tadi pagi.”
Veronica menatap Livia dari ujung rambut hingga ujung kaki, seolah mencoba membaca seluruh hidupnya hanya dari sepuluh detik pandang. Senyumnya tipis, tidak terlihat ramah, lebih seperti seseorang yang sedang menilai ancaman.
“Oh…” Veronica bergumam pelan, suaranya lembut tapi menusuk. “Kamu staf disini ?”
Livia terhenti sesaat.
“Iya, Bu. Saya staf administrasi di divisi keuangan.”
Veronica tersenyum kecil. “Cantik.”
Narendra langsung memotong, suaranya tegas.
“Ver, jangan mulai.”
“Aku hanya bilang apa yang kulihat, Mas.”
Veronica melirik Livia lagi, kali ini lebih tajam dari sebelumnya.
“Perempuan cantik biasanya cepat naik kariernya… terutama kalau dekat dengan atasan.”
Livia tercekat.
“Bu, saya—”
“Tolong, Ver.” Narendra meletakkan berkas di mejanya, napasnya berat. “Livia salah satu staf terbaik. Jangan lempar tuduhan tidak baik seperti itu.”
Veronica hanya mengangkat alis, seolah menikmati kondisi ini.
Livia mencoba tetap profesional, meski jantungnya berdebar lebih keras dari yang ingin ia akui.
“Ini laporannya, Pak Narendra. Sudah saya rangkum sesuai permintaan Bapak.”
Ia meletakkan berkas itu di meja, menghindari kontak mata dengan Veronica.
Narendra menerima laporan itu. “Terima kasih, Liv. Kerjamu bagus seperti biasa.”
Veronica memiringkan kepala, wajahnya tak lagi menyembunyikan rasa curiga.
Livia merasa tubuhnya menegang. Ia hampir mundur ketika Veronica berbicara lagi.
“Namamu, Livia ?”
“Besok-besok… kalau mau masuk ke ruangan suamiku, pastikan kamu mengetuk lebih keras.”
Tatapannya menusuk.
“Aku tidak suka kejutan.”
Livia membeku.
Narendra segera menatap istrinya tajam. “Veronica, cukup!”
Tapi Veronica hanya tersenyum tipis, senyum seseorang yang merasa sudah memenangkan sesuatu.
Livia menunduk cepat.
“Permisi, Pak. Bu.”
Ia keluar dari ruangan itu secepat mungkin, dan saat pintu menutup, barulah ia berani mengembuskan napas panjang.
Astaga… apa gue baru saja diancam istri atasan sendiri?
Livia meremas map kosong di tangannya.
Ia sudah terbiasa dengan kebebasan.
Sudah terbiasa dengan luka.
Tapi satu hal yang tak pernah ia bayangkan adalah ini: Bahwa kehidupannya yang nyaris stabil… baru saja disentil oleh badai besar bernama Veronica.
Dan dari balik pintu yang tertutup itu, suara Veronica kembali terdengar samar, suara itu dingin, menusuk, dan penuh prasangka.
Livia kembali ke kubikelnya dengan langkah cepat, hampir menghentak. Wajahnya memerah, bukan karena malu, melainkan karena kesal. Napasnya naik-turun tidak teratur, dan tangannya menggenggam map kosong seolah ingin meremasnya sampai hancur.
Astaga… apa salah gue?
Gue cuma nganterin laporan. Itu doang!
Ia menjatuhkan diri ke kursinya, menyandarkan punggung, lalu menutup wajah dengan kedua tangannya. Rasa panas menjalar dari dada, naik sampai ke tenggorokannya.
“Dituduh macam-macam, digituin di depan atasan pula… dasar…” Livia bergumam kesal, lebih kepada dirinya sendiri.
Ia memukul meja dengan telapak tangannya, tidak keras, tapi cukup untuk melepaskan sedikit kekesalan yang mengganjal.
Gue bahkan nggak tertarik sama suaminya.
Gue cuma kerja.
Kerja!
Livia memandang layar komputer yang belum kembali ia sentuh sejak pagi. Matanya mengerjap dua kali, berusaha menahan amarah yang mendidih.
“Gila… kok gue yang diserang?” gumamnya lagi, bibirnya mencibir sinis.
“Emangnya semua cewek cantik pasti ngegodain suami orang?”
Ia menutup mata sebentar, menarik napas dalam-dalam. Namun semakin ia mencoba menenangkan diri, semakin terasa memalukan perlakuan Veronica tadi. Seperti ia adalah ancaman. Seperti ia adalah orang ketiga. Seperti ia adalah masalah.
Padahal…
Ia bahkan tidak pernah menatap Narendra dengan cara yang salah. Tidak sekalipun.
Tiba-tiba, sebuah suara lembut terdengar dari samping.
“Kamu nggak apa-apa, Liv?”
Burhan berdiri di sisi kubikel, membawa dua cup es kopi latte. Ekspresinya bingung karena ia jarang melihat Livia sefrustrasi itu.
Livia memasang senyum tipis, senyum palsu yang sudah ia latih seumur hidup.
“Gak apa-apa, Pak. Cuma… banyak kerjaan.”
Burhan menatapnya lama, hampir tak percaya.
“Kamu yakin? Mukamu merah semua.”
Livia menghela napas dan membuang pandangan.
“Mungkin AC kantor terlalu panas.”
Burhan tersenyum tipis, lalu meletakkan satu cup kopi latte itu di mejanya.
“Nih. Buat kamu. Biar adem.”
Livia menatap kopi itu, hatinya sedikit luluh.
“Terima kasih, Pak.”
Saat Burhan pergi, Livia kembali meraih kepala dengan kedua tangan.
Rasa kesal memang perlahan mereda… namun satu hal jelas: Veronica baru saja membuka bab konflik yang tidak pernah Livia minta.
Dan Livia tahu… wanita itu tidak akan berhenti sampai ia yakin tak ada yang mengancam rumah tangganya.
Masalahnya, Livia tidak berniat mengancam siapa pun.
Tapi hidup seakan tidak peduli apa yang ia niatkan.
...🥂...
Hari ini benar-benar terasa seperti hari sial bagi Livia.
Setelah semua kekesalan yang ia telan mentah-mentah dari istri Narendra, kini langit ikut bersekongkol menjatuhkannya. Begitu Livia sampai di lobi kantor dan hendak keluar, suara hujan deras menyambutnya lebih dulu, memekik di atas kanopi, memantul keras di trotoar.
Air turun seperti ditumpahkan langsung dari langit.
Bukan gerimis.
Bukan hujan biasa.
Tapi hujan badai.
Livia berdiri mematung di depan pintu kaca besar lobi, memeluk tasnya di dada. Angin menerpa, membuat rambutnya sedikit berantakan. Ia hanya bisa menatap derasnya hujan yang seolah tidak berniat untuk berhenti.
“Sumpah…?” gumamnya lirih.
“Hari ini beneran deh, mau gimana lagi sama gue?”
Ia mendesah panjang hingga pundaknya turun. Payung? Sudah pasti tidak ada. Dia bahkan jarang bawa payung, lebih sering main feeling dan berharap langit berpihak padanya. Hari ini, jelas tidak.
Di belakangnya, beberapa karyawan lain sudah nekat memesan ojek online, sebagian pasrah berdiri menunggu. Livia hanya diam menatap hujan, seolah berkontemplasi dengan nasibnya sendiri.
Baju lengan panjang yang ia pakai terasa makin gerah. Pergelangan tangan yang memar kembali berdenyut, mengingatkan bahwa hari ini sudah cukup kacau—even sebelum hujan ini turun.
“Kenapa, Liv? Nunggu reda?” tanya, Lolly, staf resepsionis yang kebetulan lewat sambil membawa clipboard.
Livia tersenyum hambar. “Iya, kayaknya harus begitu. taxi online pasti susah dapetnya, kalau hujan deras begini.”
Resepsionis itu mengangguk penuh simpati. “Parah banget ini hujannya. Lebih baik tunggu aja.”
Livia mengangguk, meski dalam hati ia sudah lelah menunggu apa pun hari ini.
Ia menyandarkan tubuh ke pilar marmer lobi, menatap lurus ke luar.
Hujan terus jatuh tak kenal ampun.
Livia menatap langit yang gelap, kemudian menarik napas panjang.
Hari ini… tolonglah. Jangan tambah apa-apa lagi.
Gue udah capek.
Namun pada detik itu, suara langkah mendekat dari belakang membuatnya menoleh perlahan.
Dan tanpa ia duga… seseorang berdiri di dekatnya sambil membawa payung hitam.
...🥂...
...🥂...
...🥂...
...Bersambung.......
lanjut dong🙏🙏🙏