"𝘏𝘢𝘭𝘰, 𝘪𝘺𝘢 𝘬𝘢𝘬 𝘱𝘢𝘬𝘦𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘨𝘦𝘳𝘢 𝘥𝘪 𝘬𝘪𝘳𝘪𝘮, 𝘮𝘰𝘩𝘰𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘴𝘱𝘢𝘮 𝘤𝘩𝘢𝘵 𝘢𝘱𝘢𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶 𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘴𝘢𝘺𝘢, 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘴𝘢𝘺𝘢 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢𝘪 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨.
𝘴𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵,
𝘑𝘢𝘷𝘢𝘴—𝘬𝘶𝘳𝘪𝘳 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘦𝘫𝘢𝘳 𝘫𝘢𝘯𝘥𝘢!"
Bagi Javas, seorang kurir dengan sejuta cara untuk mencuri perhatian, mengantarkan paket hanyalah alasan untuk bertemu dengannya: seorang janda anak satu yang menjadi langganan tetapnya. Dengan senyum menawan dan tekad sekuat baja, Javas bertekad untuk memenangkan hatinya. Tapi, masa lalu yang kelam dan tembok pertahanan yang tinggi membuat misinya terasa mustahil. Mampukah Javas menaklukkan hati sang janda, ataukah ia hanya akan menjadi kurir pengantar paket biasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Resti_sR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Sera.
"Javas, kamu ngapain ada di sini, dan apa-apaan ini, Jav?"
Serafina Florenza berdiri terpaku di depan motor itu. Mata lebarnya membulat, napasnya terhenti sepersekian detik seolah dunia mendadak melambat.
Dia menatap Javas dari ujung helm yang masih tergantung di lengannya, turun ke wajah tampan yang dulu begitu dia hapal sampai ke pori-porinya.
Tidak ada yang berubah. Masih tampan, masih dengan tatapan elang yang selalu membuatnya kikuk, masih dengan aura maskulin yang menyebalkan tapi bikin kangen.
Namun bukan itu yang membuatnya syok.
Fokusnya kini jatuh ke motor beat lusuh yang Javas duduki. Motor yang terlalu… bukan Javas banget. Sebagaimana yang dia tahu, pria itu sebelumnya jarang naik motor dan jikapun membawa motor, pasti motor besar seperti Kawasaki Ninja H2, dan sejenisnya, malah pria itu juga sering ganti koleksi mobil mewah, jadi kontras dengan saat ini.
Dan fakta bahwa dia berada di depan sekolah dasar pagi-pagi seperti orang tua murid lain?
Mustahil. Sangat mustahil.
Serafina paling tahu bagaimana hidup Javas sebelumnya.
Dia tahu keluarga Javas yang sibuk, tahu bahwa pria itu anak sulung yang belum menikah, tahu bahwa Javas tidak punya keponakan, bahkan membayangkan Javas dekat dengan anak kecil saja terasa aneh.
Pria yang biasanya bangun siang.Yang tidak peduli kehidupan orang lain.Yang mageran.Sekarang?
Pria itu berdiri di depan sekolah SD, Mengantar seorang anak kecil. Dan dari ucapan Keano tadi, anak itu memanggilnya Papi?
Serafina menatap Javas lebih lama, wajahnya berubah muram.
“Jav… kamu… ngapain di sini? Dan… siapa tadi? Anak siapa itu?” tanyanya pelan, nyaris berbisik, seolah takut mendengar jawabannya.
Javas menatap malas, dia tau Sera sedang menilainya, dan itu cukup membuatnya risih.
"Apa itu penting untuk kamu ketahui, Sera?" bukan menjawab, Javas malah balik bertanya dan itu membuat Sera mendengus pelan.
"Tentu saja penting, Javas. Sebagai calon tunangan kamu, aku berhak banget tau dong! sekarang jawab aku kenapa kamu bisa berada di sini?" desak Sera. Dia tidak lagi peduli kepada keponakannya. Melihat tantenya yang malah bicara akrab, membuat bocah kecil itu mendengus, lalu tanpa pamit dia melepas genggaman Sera, dan berjalan masuk ke dalam sekolah, karena berpikir sebentar lagi jam masuk kelas.
Javas menyadari itu, namun dia enggan berbicara. Jujur saja dia masih kesal jika melihat bocah itu.
...----------------...
"Jav..."
Javas tertawa kecil, menatap Sera sekilas, "Calon tunangan, mimpi kamu?" ujarnya sedikit kesal lalu memakai kembali helmnya.
"Mimpi, tentu saja tidak. Kamu lupa beberapa bulan lalu orang tua kita sempat membahas perjodohan kita, Javas. Pasti Om Haidar sudah memberitahu kamu kan, secepatnya kita akan tunangan," tukas Sera berujar cepat, dan lagi-lagi kalimatnya di anggap gurauan oleh Javas.
Javas mengangkat kaca helmnya, menatap Sera lebih lama, tatapannya datar dan dingin. "Kamu pikir saya menerimanya?" tanyanya sarat penolakan.
Sera berkedip, dia membalas tatapan Javas dengan pandangan penuh puja.
"Jav, apa yang buat kamu tidak menerima perjodohan ini? kamu tau sendiri aku sangat mencintai ka—"
"Tapi aku enggak!!" jawab Javas memotong cepat. "mau perjodohan atau apapun kalau salah satu antara kita tidak ada perasaan cinta, maka mustahil, Sera. Dari dulu aku hanya anggap kamu teman, tapi kamu ngelunjak banget, risih tau!"
Kata-kata itu telak. Jelas. Tidak bisa ditawar.
Sera membeku. Jari-jarinya yang tadi berusaha meraih lengan Javas terhenti di udara, seolah dunia mendadak memaksanya berhenti bergerak. Tatapannya bergetar, pupilnya mengecil seperti baru saja ditampar kenyataan yang selama ini ia abaikan.
“Oh iya,” Javas menoleh sedikit, suaranya meruncing tajam “soal keponakan kamu yang kurang ajar itu… bilang ke orang tuanya buat didik anaknya dengan bener.”
Sera mengerjap, tersentak. “Keano? Kenapa kamu sampai segitunya nggak suka sama dia, Jav?”
Javas menghembuskan napas kasar dari hidung, rahangnya mengeras.
“Kamu masih nanya?”
Ia mencondongkan tubuh sedikit, menatap Sera seperti menatap sumber masalah.
“Kamu yang ngajarin dia kan? Bilang kalau orang punya banyak ‘papi’, berarti ibunya nggak benar.”
Jari Javas menggenggam setang motor begitu kuat sampai buku-bukunya memutih.
Sisa amarahnya pada Keano jelas masih mendidih, dan sekarang tertumpah pada Sera.
Sera tertahan. “Javas, aku—”
Tapi Javas tak memberi ruang. Dengan gerakan cepat dan dingin, ia memutar motornya tanpa menatap lagi wanita itu. Mesin menderu, lalu… Ia melesat pergi dari area sekolah tanpa sisa keinginan untuk mendengar apa pun dari Sera.
“Javas! Javas, tunggu dulu!!!”
Terikan Sera menggema, tapi Javas menghilang di tikungan.
Sera berdiri di sana, napasnya naik turun menahan campuran emosi yang menyesakkan.
Tangan yang mengepal menunjukkan betapa panas dadanya—marah karena ditolak, kesal karena ditegur, dan tersinggung karena Javas sama sekali tak memberi celah.
Untuk kesekian kalinya pagi itu… Sera merasakan rasa sakit yang menusuk jauh lebih dalam daripada apa pun yang diucapkan Javas sebelumnya.
...----------------...
Sera duduk di balik kemudi, tubuhnya sedikit gemetar. Amarah yang tadi meledak tiba-tiba mereda, tapi berganti dengan rasa sedih yang menyeruak begitu saja. Jemarinya menggenggam setir begitu erat seakan itu satu-satunya yang bisa menahannya untuk tidak menangis.
Mobilnya belum bergerak.
Ia menarik napas panjang, tapi dada justru makin sesak. Air mata menggantung di ujung mata, namun ditahannya keras-keras.
“Tidak…” bisiknya lirih, kepala mendongak seolah memaksa air mata kembali naik.
“Aku nggak akan biarkan semuanya berakhir kayak gini. Perjodohan itu harus jalan… apa pun caranya. Javas harus menerimanya.”
Ada obsesi yang menyala di balik tatapannya—bukan sekadar cinta, tapi kebutuhan untuk memiliki.
Tangan Sera meraba ponsel di pangkuannya, menyalakan layar dengan gerakan terburu-buru. Ia menekan nama ayahnya, menunggu sambungan tersambung sambil menggigit bibir bawah menahan emosi.
“Papi…”
Suaranya pecah begitu sambungan telepon terangkat.
{Iya, ada apa sayang?}
Suaranya ayahnya terdengar berat namun lembut, memancing air mata Sera kembali berkumpul.
“Papi… soal perjodohan Sera sama Javas… Om Haidar ada bilang apa? Ada perkembangan?”
Ada jeda kecil, lalu suara ayahnya terdengar lebih serius.
{Belum, sayang. Beberapa bulan lalu Haidar cuma bilang kalau Javas sempat menolak. Dia bahkan pergi dari rumah karena nggak mau.}
Sera menutup mata erat, napasnya tercekat sesaat.
{Tapi Om Haidar tetap akan cari cara. Kamu tahu sendiri kan Javas itu nggak bakal betah lama-lama hidup sederhana di luar sana. Semua fasilitasnya juga udah Haidar bekukan, jadi kamu tenang. Cepat atau lambat dia pasti balik, dan… dia nggak akan punya banyak pilihan selain menerima perjodohan ini.}
Sera membuka matanya perlahan. Ada sedikit cahaya lega yang muncul, tapi juga ada tatapan gelap yang perlahan mengambil alih wajah cantiknya.
“Terima kasih, Pi…” suaranya lebih halus, namun ada nada tak menyerah di baliknya.
“Kalau begitu… Sera akan pastikan semuanya berjalan sesuai rencana.”
Ia menutup telepon.
Dan untuk pertama kalinya hari itu, sebuah senyuman kecil, dingin dan ambisius terbit di bibirnya.
"Aku ke kediaman Oliver sekarang, bertanya pada tante Naya sekaligus mengambil hati wanita itu. Hanya aku yang boleh menjadi menantunya, hanya aku yang pantas!" ujar Sera menyemangati dirinya sendiri, dia kembali ke setir, mengemudi mobilnya pelan dan sangat hati-hati. Tujuannya jelas, ke rumah orang tuanya Javas.
TBC...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...