Hari yang seharusnya menjadi momen terindah bagi Hanum berubah menjadi mimpi buruk. Tepat menjelang persalinan, ia memergoki perselingkuhan suaminya. Pertengkaran berujung tragedi, bayinya tak terselamatkan, dan Hanum diceraikan dengan kejam. Dalam luka yang dalam, Hanum diminta menjadi ibu susu bagi bayi seorang duda, Abraham Biantara yaitu pria matang yang baru kehilangan istri saat melahirkan. Dua jiwa yang sama-sama terluka dipertemukan oleh takdir dan tangis seorang bayi. Bahkan, keduanya dipaksa menikah demi seorang bayi.
Mampukah Hanum menemukan kembali arti hidup dan cinta di balik peran barunya sebagai ibu susu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Perasaan itu sulit untuk dicerna.
Jam dinding di ruang kerja Abraham sudah menunjukkan pukul satu siang. Seharusnya dia sibuk dengan tumpukan dokumen yang menanti tanda tangannya, atau rapat bersama para direktur yang sudah dijadwalkan sejak pagi. Namun, pria itu malah duduk di kursinya dengan tatapan kosong menembus kaca jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota.
Sisa kehangatan pagi tadi terus mengganggu pikirannya. Bayangan Hanum yang gugup saat menyerahkan Kevin, lalu Kevin yang tenang dalam pelukannya, dan lebih dari itu, genggaman tangan mungil Kevin yang memaksa mereka terhubung bersama. Semua itu membuat dadanya bergetar aneh, sesuatu yang belum pernah ia izinkan sejak Alma pergi.
Abraham meremas pena di tangannya, mencoba fokus. 'Ini bodoh … kenapa aku harus memikirkan wanita itu?' batinnya. Dia menggertakkan rahang, berusaha menolak perasaan yang perlahan menembus benteng dingin di hatinya.
Pintu ruangannya terbuka pelan. Julio, asisten barunya, masuk dengan beberapa berkas di tangan.
“Tuan, ini proposal dari divisi properti. Mereka butuh tanda tangan Anda segera, karena sore nanti akan ada presentasi lanjutan dengan investor.”
Tidak ada jawaban, Abraham tetap menatap keluar jendela, bahkan tidak bergeming sedikit pun.
Julio menghela napas, lalu melangkah lebih dekat. “Tuan?” panggilnya sekali lagi.
Masih tidak ada respons, wajah Abraham tetap datar, tapi matanya jelas tidak sedang di sini. Julio meletakkan berkas dengan sedikit hentakan di meja, suaranya agak meninggi. “Tuan Abraham!”
Barulah Abraham tersentak, dia menoleh cepat, sorot matanya tajam dan dingin menatap asistennya. “Kenapa berteriak?” suaranya rendah, tapi mengandung nada peringatan. Julio langsung menunduk, merasa bersalah. “Maaf, Tuan. Saya sudah memanggil Anda beberapa kali, tapi Anda tidak merespons.”
Abraham mendesah berat, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. Dia mengusap wajah dengan kedua telapak tangan, mencoba menghapus keterkejutannya. “Apa yang kau bawa?” tanyanya datar.
Julio cepat-cepat menyerahkan berkas. “Ini proposal divisi properti, juga laporan keuangan bulan lalu. Ada beberapa poin penting yang harus Anda lihat.”
Abraham membuka lembaran itu, tapi pikirannya masih melayang. Kalimat-kalimat di kertas terasa kabur, seolah otaknya menolak bekerja. Lagi-lagi wajah Hanum muncul dalam benaknya, tatapan teduh, suara lirih, dan bagaimana ia terlihat rapuh tapi tetap kuat di saat bersamaan.
Julio memberanikan diri bersuara, nada suaranya hati-hati. “Tuan … sepertinya Anda sedang banyak pikiran.”
Abraham menurunkan kertas, menatapnya tajam. “Urus saja pekerjaanmu. Jangan ikut campur dalam urusan pribadiku.”
Suasana mendadak membeku. Julio menelan ludah, lalu mengangguk cepat. “Baik, Tuan.” Dia mundur beberapa langkah, namun dalam hati tak bisa menahan rasa penasaran. Dia jarang melihat Abraham seperti ini, terlihat goyah, seakan ada sesuatu yang mengganggu ketenangannya.
Setelah pintu kembali tertutup, Abraham melemparkan pena ke meja dengan kasar. Dia mengembuskan napas panjang, lalu menatap tangannya sendiri, tangan yang semalam digenggam erat oleh Hanum dalam tidurnya, dan pagi ini digenggam Kevin dengan penuh kepercayaan.
'Apa aku mulai goyah?' batinnya. 'Tidak … ini tidak boleh terjadi.'
Namun, semakin ia menyangkal, bayangan Hanum justru makin kuat menempati hatinya. Hari sudah mulai merambat sore. Langit Jakarta dipenuhi awan jingga keemasan, memantulkan cahaya hangat yang seakan membungkus seluruh kota. Biasanya, jam-jam seperti ini Abraham masih terjebak dalam rapat panjang atau tenggelam di balik tumpukan dokumen. Tapi entah kenapa, setelah rapat singkat bersama timnya, Dia menutup laptop dan berdiri.
“Batalkan semua agenda malam ini,” ujarnya dingin.
Julio, sang asisten, melongo. “Tuan, tapi...”
“Tidak ada tapi. Urus sisanya, aku akan pergi.”
Nada Abraham tak bisa dibantah, dan Julio hanya bisa mengangguk meski wajahnya penuh tanda tanya. Jarang sekali ia melihat bosnya pulang lebih cepat, apalagi tanpa alasan yang jelas.
Mobil hitam mewah itu melaju di jalanan, membelah kepadatan lalu lintas sore. Abraham duduk bersandar, matanya terpejam, namun pikirannya tak pernah benar-benar diam. Bayangan wajah Hanum, tatapannya yang selalu berusaha tegar, caranya menenangkan Kevin, hingga senyum samar yang ia sembunyikan di balik kesibukan rumah tangga, terus muncul silih berganti.
Ketika mobil memasuki halaman rumah keluarga Biantara, Abraham menghela napas panjang, mencoba menegaskan pada dirinya sendiri bahwa ini hanya kebetulan.
'Aku pulang karena lelah, bukan karena rindu...' katanya dalam hati, meski ia tahu, kalimat itu lebih terdengar seperti alasan. Di dalam rumah, Hanum sedang duduk di ruang tengah. Kevin berada di pangkuannya, tertawa kecil ketika ibunya menggelitik perut mungilnya. Suara tawa bayi itu memenuhi ruangan, menghadirkan suasana hangat.
Hanum tidak menyadari pintu depan terbuka. Siska yang sedang membaca majalah di sofa justru yang pertama kali melihat putranya masuk. Alisnya sedikit terangkat. “Bian? Kau sudah pulang? Biasanya jam segini kau masih di kantor.”
Hanum sontak menoleh, matanya membesar. “Tuan Abraham?” ucapnya gugup.
Abraham berdiri di ambang pintu ruang tengah, mengenakan kemeja yang lengan atasnya sudah ia gulung. Penampilannya masih rapi, tapi ada lelah yang tak bisa disembunyikan. Pandangannya langsung jatuh pada Hanum yang memangku Kevin. Hatinya berdebar tanpa alasan.
“Aku … pulang lebih awal,” jawabnya singkat, lalu melangkah masuk. Kevin tiba-tiba merentangkan tangan, seolah meminta digendong oleh Abraham. Hanum refleks menoleh ke arah bayinya, lalu ke arah suaminya. “Sepertinya … dia ingin ke Tuan,” katanya pelan.
Abraham terdiam sejenak. Dia mendekat, lalu dengan hati-hati menerima Kevin dari gendongan Hanum. Bayi mungil itu langsung diam, bahkan tersenyum sambil menyentuh dagu Abraham dengan jemari kecilnya.
Pemandangan itu membuat Hanum menatap terpaku. Ada sesuatu yang begitu hangat saat melihat Abraham, pria yang selama ini dingin, memeluk Kevin dengan penuh ketenangan.
Siska tersenyum tipis, menutup majalahnya. “Sepertinya Kevin lebih nyaman di pelukan papanya.”
Abraham menoleh sekilas pada ibunya, lalu kembali menatap Kevin. “Dia hanya ingin ditemani. Bukan berarti aku terbiasa mengurus bayi,” ucapnya datar, meski dalam hati ia merasakan kebanggaan yang sulit ia akui. Hanum menunduk, menyembunyikan senyumnya.
“Tetap saja … Tuan terlihat cocok menggendongnya.”
Abraham sempat terdiam, lalu pura-pura mengalihkan perhatian pada Kevin. Bayi itu masih mencengkeram jari Hanum, meski kini berada dalam pelukan ayahnya. Hubungan ketiganya terlihat begitu alami, seakan-akan mereka memang keluarga kecil yang utuh.
Suasana itu membuat Siska menghela napas lega. Dalam hati, ia berdoa semoga perlahan-lahan, dinding dingin yang dibangun putranya runtuh, digantikan oleh kehangatan yang datang dari Hanum dan Kevin.
Malam itu, setelah makan malam bersama, Abraham berdiam di balkon kamarnya. Angin malam berembus pelan, membawa aroma bunga dari taman. Ia menatap langit gelap yang dihiasi bintang samar.
Pikirannya kembali melayang ke Hanum. Tadi, ketika ia melihat senyum kecil wanita itu saat dirinya menggendong Kevin ada sesuatu yang menusuk dalam. Rasa yang asing, namun tidak menyakitkan.
“Kenapa aku pulang lebih cepat?” gumamnya pada diri sendiri. Padahal, dia tahu jawabannya, tapi memilih untuk tetap bungkam.
[Bian, aku kembali. Aku dengar Alma telah meninggal. Aku turut berduka ya,] pesan singkat masuk ke ponsel Abraham yang terletak di atas ranjang besar itu. Hanya tertulis nama Rania di ponselnya itu, dengan profil cewek cantik bak artis bintang Hollywood.
waspada Abraham
Istri mu nggak kaleng2 Biiii 👏👏👏