Nalea, putri bungsu keluarga Hersa, ternyata tertukar. Ia dibesarkan di lingkungan yang keras dan kelam. Setelah 20 tahun, Nalea bersumpah untuk meninggalkan kehidupan lamanya dan berniat menjadi putri keluarga yang baik.
Namun, kepulangan Nalea nyatanya disambut dingin. Di bawah pengaruh sang putri palsu. Keluarga Hersa terus memandang Nalea sebagai anak liar yang tidak berpendidikan. Hingga akhirnya, ia tewas di tangan keluarganya sendiri.
Namun, Tuhan berbelas kasih. Nalea terlahir kembali tepat di hari saat dia menginjakkan kakinya di keluarga Hersa.Suara hatinya mengubah takdir dan membantunya merebut satu persatu yang seharusnya menjadi miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Kesadaran kembali menyeruak dalam kepala Nalea seperti gelombang nyeri yang menghantam.
“Aduh, sakit sekali kepalaku,” Nalea mengerang, tangannya yang diperban lemah-lembut memegang pelipisnya yang berdenyut hebat.
Ia mencoba mengingat. Ruangan ini hening bahkan terlalu sepi, membuat pikirannya mulai bekerja keras
“Apa aku sudah mati?” pikirnya hampa.
Matanya terbuka sepenuhnya. Ia berada di kamar rawat inap yang steril, serba putih. Hanya ada dirinya sendiri. Tidak ada bunga, tidak ada buah, tidak ada Sisilia, dan yang paling menyakitkan, tidak ada anggota keluarga Hersa.
Hati Nalea begitu kosong dan hampa. Ia merasa dirinya benar-benar telah dibuang. Kenyataan bahwa ia nyaris mati karena mendonorkan darah secara berlebihan untuk Sisilia, sementara tidak ada yang peduli padanya kini, menghancurkan sisa-sisa harapan terakhirnya.
“Sepertinya aku memang sudah mati,” pikir Nalea pendek, putus asa. Beberapa saat berlalu, dan pintu ruangan tetap tertutup. Tidak ada yang datang.
Tenggorokannya terasa sangat kering, perih seperti ditelan debu. Nalea berusaha menggerakkan tangannya. Di nakas samping, terdapat segelas air. Ia ingin sekali meraihnya, tetapi tubuhnya terasa seringan kapas, seluruh tenaganya terkuras habis.
Dengan sekuat tenaga Nalea merentangkan tangan. Ujung jarinya menyentuh permukaan kaca gelas. Sedikit lagi. Sedikit lagi—
Prak!
Gelas itu jatuh. Pecahan kaca dan air tumpah membasahi lantai keramik. Nalea tak bisa mengendalikan tangannya. Suara benturan itu memekakkan telinga dalam keheningan.
Tiba-tiba, Brak!
Pintu terbuka dengan keras. Seorang pria berpakaian rapi, namun tampak lusuh dan berantakan, menerobos masuk.
“Nalea!” teriak pria itu. Suara beratnya terdengar sangat lega, nyaris histeris.
Nalea mencoba fokus. Penglihatannya masih mengabur, siluet pria itu tampak bergetar dan tidak jelas.
“Nalea, kamu sudah sadar?” tanyanya dengan nada haru yang mendalam. Langkah kaki itu mendekat cepat, hingga pria itu kini berdiri di samping ranjang.
“Lea, apa ada yang sakit? Nalea, kamu kenapa?” Suara itu, Nalea yakin. Dari nada khawatir, dari kelembutan yang tidak pernah ia dengar dari Ivander, Azlan, atau Zavian.
“H-ha-haus,” suara Nalea terdengar begitu lirih, nyaris tak terdengar.
Pria itu bergerak cepat. Ia segera meraih botol air mineral dari tas yang tergeletak di sofa, membuka tutupnya, dan memasukkan sedotan. Ia dengan sangat hati-hati membantu Nalea minum.
“Minum pelan-pelan, Lea. Jangan terburu-buru.”
Setelah tenggorokannya basah, Nalea mulai bisa berbicara sedikit lebih jelas.
“Mr. Rey… apa itu kamu?” Nalea bertanya pelan, matanya masih berusaha fokus. Ia mengenali aroma parfum maskulin yang samar, bercampur dengan bau rumah sakit, tapi tetap akrab.
“I-iya, Lea. Ini aku, Rey.”
Rey mengusap dahi Nalea dengan punggung tangannya, lalu menyeka air mata Nalea yang diam-diam menetes di pelipis. Rey tahu Nalea bersedih. Wajahnya yang kelelahan dan matanya yang merah menunjukkan ia sudah berhari-hari tidak tidur.
Nalea tergugu, tak bisa berkata apa-apa selain mengeluarkan isakan kecil. Rasa terharu bercampur dengan rasa sakit karena pengkhianatan keluarganya sendiri.
“Tunggu sebentar, Lea,” ujar Rey, suaranya kembali tegang. “Aku panggilkan dokter dulu untuk memastikan kondisimu. Kamu baru saja bangun setelah empat hari tidak sadarkan diri.”
Rey bergegas keluar, meninggalkan Nalea yang kembali merasakan kesepian.
Saat dokter dan perawat datang, mereka berbicara dengan nada pelan dan hormat. Dari ucapan perawat yang sedang memeriksa infus, Nalea mengetahui sesuatu yang menghancurkan hatinya.
“Syukurlah sudah sadar, Mbak. Bapak Rey itu baik sekali. Empat hari ini beliau tidak tidur nyenyak, hanya menjaga Anda di sofa itu. Beliau yang mengurus semua administrasi, bahkan yang mengganti perban Anda tadi pagi,” ujar perawat itu ramah.
Nalea terdiam. Empat hari. Guru privatnya, orang luar, yang menjaganya. Sementara keluarga kandungnya, Mamah, Papa, Azlan, Zavian, sibuk mengurus Sisilia.
Air mata Nalea mengalir deras tanpa suara.
Rey masuk kembali setelah dokter pergi, wajahnya sedikit lebih lega.
“Bagaimana?” tanya Nalea lemah.
“Semua baik. Kamu hanya butuh istirahat,” Rey tersenyum, senyum yang berusaha menutupi keputusasaan.
“Mr. Rey,” Nalea memanggil.
“Ya?”
“Terima kasih,” ucap Nalea lirih.
Rey menggeleng. “Ah, jangan sungkan. Sudah kubilang, aku sudah menganggapmu seperti adikku sendiri.” Rey duduk di kursi di samping ranjang Nalea, meraih tangan Nalea yang tidak diinfus.
“Sekarang lekas sehat kembali, Cantik. Masih ada ujian menanti setelah ini,” lanjut Rey, berusaha meyakinkan dan memberi semangat. Ia menepuk tangan Nalea dengan lembut.
Nalea menarik napas panjang, tatapannya kosong menatap langit-langit. Keputusasaan menggerogoti tekadnya.
“Apa masih perlu, Mr. Rey?” tanya Nalea, suaranya sangat lirih, hampir tak terdengar.
Rey mengerutkan kening. “Maksudmu?”
“Belajar. Semua ini,” jawab Nalea. “Saya rasa ini percuma saja.”
“Jangan seperti itu, Lea,” Rey menegurnya dengan nada yang lebih serius. “Lakukan semuanya untuk dirimu sendiri. Bukan untuk mereka.”
Raut wajah Nalea berubah, emosinya meledak. Ia menarik tangannya dari Rey.
“Untuk diriku? Untuk apa?” Nalea menatap Rey dengan mata berlinang. “Apa aku sudah dianggap mati, Mr. Rey? Apa aku ini tidak dianggap keluarga oleh mereka hanya karena dibesarkan oleh penjahat dan preman?” Kedua tangannya terkepal kuat, tanpa sadar membuat jarum infus tertancap lebih dalam.
“Apa salah aku menginginkan sebuah kehangatan keluarga, ingin merasakan bagaimana disayangi keluarga, diperhatikan dan dipedulikan. Aku tak minta harta, tidak meminta kedudukan dan status. Aku juga tidak meminta agar Sisilia dikeluarkan dari keluarga Hersa. Aku ... aku ... aku ….”
Rey terkejut melihat luapan emosi Nalea. “Nalea, tidak seperti itu. Kamu—”
“Aku tanpa ragu memberikan darahku, Mr. Rey! Walaupun itu mengancam nyawaku, aku tetap memberikannya!” Nalea berseru, suaranya bergetar. Ia memukul pelan dadanya. “Aku pun nyaris mati! Tapi ke mana Mamah, Papa, Kak Azlan, Kak Zavian! Ke mana?”
Nalea terisak, isakannya berubah menjadi tangisan keras yang menyayat hati, meluapkan semua kepedihan dan rasa sakitnya selama ini.
Rey memeluk Nalea. “Mereka… mereka… mereka sedang mengurus Sisilia.” Rey tidak tega berbohong, tetapi ia juga tidak sanggup mengatakan bahwa Azlan baru saja menelepon Rey untuk menanyakan kapan Nalea sadar agar bisa segera dijemput. Bukan karena peduli, tetapi karena Ivander butuh Nalea di rumah untuk menjaga citra keluarga.
Rey hanya bisa memeluk Nalea yang terisak tanpa henti.
“Biarkan aku mati, Mr. Rey…” gumam Nalea di dada Rey.
Grace saja tidak percaya dengan perkataan Madam Lea.. malah mahu mengibul Grace si asisten pribadi yang jenius
mana ada darah manusia lebih rendah derajatnya daripada seekor anjingg🥹🥹🤬🤬🤬