Nadia Prameswari menjalani kehidupan yang sempurna dengan suaminya di mata publik. Namun sebenarnya, pernikahan itu hanya untuk kepentingan bisnis dan politik.
Nadia seorang wanita aseksual, membuat Arya selingkuh dengan adik tirinya.
Hal itu membuat Nadia bertekad memasang chip di otaknya untuk mengaktifkan hasrat yang selama ini tidak pernah dia rasakan.
Namun, apa yang terjadi setelah rasa itu aktif? Apa dia akan menjerat Arya atau justru terjerat pria lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7
Nadia hanya tertawa kecil mendengar perkataan Arya. “Sepertinya sakit Papa tidak terlalu parah,” ucapnya dingin sambil menyandarkan diri. “Aku mau pulang saja. Kalau Papa memang ingin memberikan perusahaan itu pada Rissa, berikan saja tanpa perlu memberi syarat. Aku yang akan memberi syarat pada perusahaan itu nanti.”
Nadia berdiri pelan. Senyum miring terukir di wajahnya saat matanya menatap lurus ke arah Rissa. “Baiklah, kalau ini yang kalian inginkan, aku akan menerimanya."
“Nadia, Papa kamu sedang sakit. Jangan bicara seperti itu,” ujar Ibu tirinya dengan nada penuh emosi.
Nadia berhenti sejenak di depan pintu. Dia tidak menoleh, hanya tersenyum tipis. “Papa sudah menentukan, buat apa lagi aku berdebat," ucapnya tenang, lalu membuka pintu dan melangkah keluar tanpa sedikit pun keraguan.
Arya mengejar Nadia dan menahan lengannya di koridor. “Nadia, kamu tidak bisa keluar sekarang. Di depan rumah sakit masih banyak wartawan. Mereka belum pergi.”
Nadia memandang tangannya yang dicengkeram Arya dengan tatapan datar, lalu menatap pria itu pada kedua matanya. “Kalau kamu mau tinggal di sini, tidak masalah. Aku bisa bilang pada mereka kalau kamu sedang menggantikanku menjaga papa mertua. Biar mereka tahu kamu sangat berbakti.”
“Nadia! Tidak bisakah kamu bekerjasama. Apa salahnya kita punya anak. Kamu hanya tidak memiliki naf su tapi fisik kamu normal," kata Arya. Meski pelan tapi perkataannya sangat tajam di telinga Nadia.
"Melakukan tanpa menikmati? Itu sangat tidak adil. Kamu tenang saja, aku tidak akan kehilangan perusahaanku."
Sebelum Arya sempat menahannya lagi, sebuah tangan lain menyela di antara mereka. Niko berdiri tegak di sisi Nadia, tubuhnya sedikit condong ke depan ujarnya untuk melindungi. “Jangan paksa Bu Nadia."
“Niko, bawa aku keluar dari sini.”
Niko menunduk singkat sebagai tanda hormat, lalu mengangguk. Dia mempersilakan Nadia melangkah lebih dulu, berjalan cepat menuju lift. Tatapan tajam Arya mengikuti mereka hingga pintu lift tertutup perlahan.
Di dalam lift, Nadia bersandar pada dinding metal dingin dan memejamkan matanya sejenak. “Jadi ini rencana mereka semua. Ingin cucu? Yang benar saja."
Niko menatap pantulan wajah Nadia di cermin lift. Wajah itu tampak tenang, tapi di baliknya ada kemarahan dan kelelahan yang dalam. “Saya sudah bertanya pada dokter dan dokter hanya mengatakan tekanan darah tinggi tiba-tiba. Tapi sepertinya memang ada yang ditutupi.”
Nadia membuka matanya dan menatap lurus ke depan. “Seperti dugaanku. Mereka memanfaatkan keadaan Papa. Aku yakin, mereka sengaja membuat Papa seperti ini. Kamu tetap selidiki secara diam-diam. Bagaimanapun juga, aku tidak ingin Papa kenapa-napa."
"Baik, Bu Nadia."
Lift berhenti di lantai dasar dan pintu itu terbuka. Begitu mereka keluar, beberapa wartawan masih berjaga di dekat lobi, kamera siap di tangan. Kilatan lampu kamera menyambar lagi saat mereka mengenali sosok Nadia. Namun, Niko dengan cepat bergerak di depan, tubuhnya tegap menahan langkah para jurnalis yang mencoba mendekat.
“Mohon beri jalan! Bu Nadia sedang tidak enak badan. Sebagai gantinya, Pak Arya yang sedang menjaga Pak Anas di sini."
Berbagai pertanyaan meluncur namun Nadia tak berkomentar sama sekali.
Nadia berjalan cepat melewati kerumunan itu. Meski kilatan cahaya terus mengejarnya, dia sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut ataupun gelisah. Matanya hanya fokus pada mobil hitam yang menunggu di depan.
Begitu pintu mobil dibuka, Nadia segera masuk. Niko menutup pintunya dan bergegas masuk ke kursi kemudi. Begitu mobil melaju menjauh, suara kamera perlahan menghilang, tergantikan oleh hujan yang mulai menitik di kaca jendela.
Nadia bersandar di kursinya, menatap ke luar jendela yang kini basah oleh hujan. “Aku benar-benar lelah hari ini. Setelah tahu kenyataan bahwa Arya selingkuh dengan Rissa, mereka langsung mengibarkan bendera perang."
Senyum dingin kembali menghiasi bibirnya. “Tapi, mereka tidak akan mendapatkan apa yang mereka mau. Mereka mengincar perusahaan produksi dulu lalu pasti akan ke pusat penelitian. Niko, kamu batasi produksi yang ada sekarang. Aku akan mengupayakan membuka cabang baru untuk proyek baru."
Niko menganggukkan kepalanya. "Baik. Akan saya urus."
Nadia menempelkan keningnya di kaca jendela. Dia tersenyum sambil melihat jalanan yang mulai basah. "Aku bersyukur, takdir mempertemukan kita. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, jika bukan kamu yang menjadi asistenku."
Niko tak menyahutinya. Iya, dia sudah bekerja dengan Nadia selama lima tahun. Bersamaan saat Nadia menikah dengan Arya. Seandainya saja waktu lebih cepat, mungkin jalan cerita tidak akan seperti ini.
Sudah tidak ada lagi suara dari Nadia. Yang terdengar hanya suara napas teratur dari Nadia. Niko tersenyum kecil sambil meliriknya dari kaca spion.
"Sekuat apapun kamu, kamu tetap seorang wanita."
Niko menghentikan mobilnya di halaman rumah Nadia. Namun, dia tak juga membangunkan Nadia dan justru mengambil selimut tipis untuk menutupi tubuhnya.
Hingga akhirnya hujan berhenti. Nadia mengubah posisi kepalanya dan hampir terjatuh jika saja tangan Niko tidak menahannya.
Nadia membuka kedua matanya. Dia menatap Niko yang memiringkan badannya dari kursi pengemudi demi menahan kepalanya.
Buru-buru Nadia menegakkan tubuhnya. "Mengapa tidak kamu bangunkan?"
"Maaf, karena Bu Nadia tidur sangat nyenyak."
"Iya, tidak apa-apa."
Niko keluar dari mobil dan akan membukakan pintu untuk Nadia tapi Nadia sudah lebih dulu membukanya. Buru-buru dia masuk ke dalam rumah.
"Aneh, mengapa aku salah tingkah begini. Selama ini aku tidak pernah seperti ini meskipun aku menyukainya."
Nadia melangkah cepat menaiki tangga. Dia masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu kamar itu.
Dia mengambil piyamanya lagi dan mengganti pakaiannya. Tatapan mata Niko masih terbayang-bayang.
"Apa Niko mengerti maksudku? Apa dia akan memutuskan secepatnya?"
Nadia duduk di atas ranjangnya dan menarik selimut. Dia menggigit ujung jarinya. "Mengapa aku terus terbayang-bayang? Tubuh dan tatapannya. Apa ini? Apa aku sudah normal?"
Nadia mengambil ponselnya. Dia mencari drama romantis yang bisa menggetarkan tubuh. Tapi setelah diputar, dia masih tidak ada minat sama sekali.
Nadia melempar ponselnya dan semakin menarik selimutnya hingga menutupi setengah wajahnya. "Apa Niko akan segera memberi keputusan untuk melakukan prosedur itu? Apa dia masih tidak mengerti kalau aku melakukan itu untuk dia, bukan untuk Arya?!"
***
Ada yang baca gak ya? Komen dong... ☺️
hottttt
di tunggu updatenya
pasti Nadia luluh...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya
parah ni