Renjiro Sato, cowok SMA biasa, menemukan MP3 player tuanya bisa menangkap siaran dari masa depan. Suara wanita di seberang sana mengaku sebagai istrinya dan memberinya "kunci jawaban" untuk mendekati Marika Tsukishima, ketua kelas paling galak dan dingin di sekolah. Tapi, apakah suara itu benar-benar membawanya pada happy ending, atau justru menjebaknya ke dalam takdir yang lebih kelam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amamimi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ancaman Pembatalan
Dua hari menjelang pertandingan persahabatan melawan SMA Seihoku.
Ruang OSIS yang biasanya berbau kertas dan teh hijau, sore ini berbau cat poster dan tiner. Lantai ruangan dilapisi koran bekas. Di tengah ruangan, terbentang kain putih panjang sepanjang tiga meter.
"Sato-kun," tegur Marika tajam, matanya menyipit di balik poni ratanya. "Garis huruf 'K'-nya miring 2 derajat. Kau mau spanduk penyemangat sekolah kita terlihat seperti tulisan cakar ayam?"
Ren, yang sedang berjongkok memegang kuas besar, menghela napas. Punggungnya pegal.
"Ini namanya 'seni abstrak', Ketua. Biar ada dinamikanya," elak Ren, mencelupkan kuas ke cat merah.
"Seni itu butuh presisi, bukan alasan," Marika mengambil kuas dari tangan Ren. Jari mereka bersentuhan sebentar, meninggalkan noda cat merah kecil di jempol Marika. Dia tidak mempedulikannya.
"Minggir. Biar aku perbaiki," katanya.
Ren mundur, duduk bersila di lantai sambil memperhatikan Marika bekerja.
Gadis itu luar biasa. Dengan gerakan tangan yang stabil dan percaya diri, dia memperbaiki garis miring buatan Ren. Dia menambahkan shading (bayangan) pada huruf kanji "KEMENANGAN MUTLAK", membuat tulisan itu terlihat hidup dan berwibawa.
Bukan cuma itu. Di sudut spanduk, Marika menggambar maskot sekolah—burung elang—dengan detail yang memukau. Elang itu terlihat garang, siap menyambar mangsa. Jauh lebih bagus daripada logo resmi sekolah yang kaku.
"Wow..." gumam Ren tanpa sadar. "Kamu beneran jago ya, Marika. Elang itu kayak mau terbang keluar dari kain."
Bahu Marika menegang. Dia berhenti melukis sejenak, tapi tidak menoleh. Telinganya memerah.
"I-Ini standar," gumamnya kaku. "Visual yang mengintimidasi diperlukan untuk menjatuhkan mental lawan. Psikologi warna."
Ren tertawa kecil. "Iya, iya. Psikologi warna. Bilang aja kamu seneng gambar."
Ren mengambil tisu basah dari tasnya. Dia bergeser mendekat ke Marika.
"Tangan kamu kotor," kata Ren. Tanpa minta izin, dia meraih tangan kiri Marika yang terkena noda cat merah tadi.
Marika tersentak. "A-Apa yang kamu lakukan?!"
"Diem bentar. Nanti kering susah ilang," kata Ren santai, mengusap jempol Marika dengan tisu basah.
Jarak mereka sangat dekat. Ren menunduk fokus membersihkan jempol Marika, sementara Marika mematung, menatap ubun-ubun Ren dengan napas tertahan. Jantung Marika berdegup kencang, takut suaranya terdengar di ruangan yang sunyi itu.
"Nah, bersih," kata Ren, melepaskan tangan Marika sambil tersenyum lebar. "Sekarang tangan Ketua steril lagi."
Marika menarik tangannya cepat-cepat, mendekapnya di dada. Wajahnya merah padam, kontras dengan cat putih di sekelilingnya.
"Ti-Tidak perlu sedetail itu!" omelnya, suaranya sedikit melengking. "Ayo selesaikan! Kita harus pasang ini di GOR sebelum tim basket selesai latihan!"
"Siap, Bos!"
Pukul 17.00. Ren dan Marika berjalan menuju GOR membawa spanduk yang sudah kering.
Suara sepatu berdecit dan pantulan bola menggema sampai ke luar gedung. Tim basket sedang latihan tanding internal 5-on-5. Intensitasnya tinggi. Pelatih berteriak-teriak memberikan instruksi.
Ren dan Marika masuk diam-diam, berniat menggantung spanduk di balkon lantai dua. Namun, langkah Ren terhenti saat matanya menangkap sosok bernomor punggung 7 di lapangan.
Takae Yumi.
Dia sedang melakukan fast break. Dia berlari kencang melewati dua pemain bertahan, melompat, dan melakukan lay-up mulus.
Gerakannya sempurna. Terlalu sempurna.
Tapi mata Ren menyipit. Dia fokus ke kaki kanan Takae.
Lutut itu....
Tidak ada pelindung lutut medis berwarna hitam yang Ren beli dengan uang jajannya (yang sudah diganti OSIS). Tidak ada decker. Kaki Takae polos, hanya dibalut kaos kaki setinggi betis.
Darah Ren mendidih.
"Anak itu..." geram Ren pelan.
Marika, yang berjalan di depannya, berhenti dan menoleh. Dia mengikuti arah pandang Ren. Dia melihat Takae yang sedang tertawa-tawa setelah mencetak poin. Lalu dia melihat kaki Takae. Dan dia melihat rahang Ren yang mengeras.
"Dia tidak memakainya?" tanya Marika datar.
"Enggak," jawab Ren, suaranya dingin. "Padahal udah janji."
Takae kembali berlari ke pertahanan. Saat dia berbalik arah dengan cepat, Ren melihatnya.
Sebuah kerutan di wajah Takae. Sangat singkat. Kurang dari satu detik. Tapi Ren melihatnya. Takae menggigit bibir bawahnya saat menumpu beban di kaki kanan.
Dia kesakitan.
"Marika, pegang ini bentar," Ren menyerahkan ujung spanduk ke Marika.
Tanpa menunggu jawaban, Ren berjalan cepat menuruni tangga tribun menuju pinggir lapangan. Marika menatap punggung Ren, lalu menghela napas panjang. Dia melipat spanduk itu dengan rapi, meletakkannya di bangku, dan menyusul Ren dengan langkah tegas.
Di lapangan, peluit pelatih berbunyi. "ISTIRAHAT 5 MENIT!"
Takae berjalan ke pinggir lapangan sambil menyeka keringat dengan ujung jerseynya. Dia mengambil botol minum, mendongak, dan... tersedak saat melihat Ren berdiri di depannya dengan tangan bersedekap.
"Uhuk! Ren?!" Takae batuk, air menetes dari dagunya. "Ngapain kamu di sini? Kangen ya?"
Ren tidak tersenyum. Wajahnya serius. Menakutkan.
"Mana?" tanya Ren singkat.
"Mana apanya?" Takae pura-pura bingung, matanya melirik ke mana-mana.
Ren menunjuk lutut kanan Takae. "Pelindung lututnya. Decker medis seharga 4.500 Yen yang kita beli. Mana?"
"Oh... itu..." Takae nyengir kuda, menggaruk kepalanya. "Ada kok! Di tas! Aku... aku lupa make tadi. Buru-buru."
"Bohong," potong Ren. "Tadi kamu main full game 20 menit. Nggak mungkin lupa. Kamu sengaja nggak make."
Takae menghela napas, senyumnya hilang. Wajahnya berubah kesal.
"Itu nggak enak, Ren! Gatel! Panas!" keluh Takae. "Terus rasanya kaku. Aku nggak bisa lari cepet kalau pake gituan. Rasanya kayak robot!"
"Lebih baik jadi robot daripada jadi pesakitan," balas Ren tajam. "Tadi pas pivot, kamu ngeringis kan? Kamu pikir aku nggak liat?"
"Itu cuma..."
"Cuma apa?! Cuma pegel?!" Ren meninggikan suaranya sedikit, membuat beberapa pemain lain menoleh. "Minggu depan tanding, Takae! Kalau kamu maksa sekarang, minggu depan kamu cuma bakal jadi penonton di bangku cadangan!"
Takae terdiam. Dia tidak pernah melihat Ren semarah ini. Biasanya Ren itu santai, pasrah, dan penurut. Tapi sekarang, matanya menyala.
"Ren, kamu nggak ngerti," kata Takae pelan, suaranya keras kepala. "Kalau aku pake itu, pelatih bakal tau kaki aku sakit. Dia bakal cadangin aku. Aku ini Ace. Aku harus main."
"Kalau kamu main dan patah di tengah jalan, itu lebih ngerugiin tim!"
"Tapi..."
"Ekhem."
Suara dehem yang dingin dan berwibawa memotong perdebatan mereka. Marika muncul di samping Ren, memegang papan jalan (entah dari mana dia dapat benda itu, sepertinya sudah jadi bagian tubuhnya).
"Kapten Takae," kata Marika, suaranya tenang tapi menusuk.
Takae mendengus. "Apa lagi nih? Bu Ketua mau ceramah juga?"
"Bukan ceramah. Ini ultimatum," kata Marika. Dia menatap Takae lurus di mata.
"Sebagai penanggung jawab kegiatan klub, OSIS berhak mencabut izin partisipasi pemain yang dinilai tidak fit secara medis demi keselamatan siswa," ucap Marika lancar, seolah membaca pasal undang-undang.
Mata Takae melotot. "Lo... kamu ngancem aku?"
"Saya menyatakan fakta," lanjut Marika. Dia menunjuk tas olahraga Takae di bangku. "Pakai pelindungnya sekarang. Atau saya akan lapor ke pelatihmu bahwa kamu menyembunyikan cedera, dan nama kamu akan dicoret dari daftar pemain hari ini juga."
Takae mengepalkan tangannya. Dia menatap Marika dengan benci. Lalu dia menatap Ren.
Ren tidak membela Takae. Ren berdiri di samping Marika, menatap Takae dengan tatapan: 'Dia benar. Lakukan.'
Takae merasa dipojokkan. Dua orang pintar ini... mereka bersekongkol.
"Cih," decih Takae.
Dengan kasar, dia menyambar tasnya. Dia merogoh ke dalam, mengeluarkan knee support hitam tebal itu. Dia duduk di bangku, dan dengan gerakan marah, memasangnya di kaki kanannya.
Sreeek. Bunyi perekat velcro terdengar nyaring.
Dia berdiri, menghentakkan kakinya beberapa kali.
"Puas?!" bentak Takae pada Ren dan Marika. "Nih! Udah dipake! Puas kalian?!"
"Sangat efisien," kata Marika datar.
Ren menghela napas lega, bahunya turun. Dia melangkah mendekat ke Takae, suaranya melembut kembali.
"Makasih, Takae," kata Ren tulus. " Aku... aku cuma nggak mau liat kamu nangis minggu depan."
Kalimat itu menohok Takae. Amarahnya kempes seketika. Ren tidak marah karena benci. Ren marah karena peduli.
Wajah Takae memerah samar. Dia memalingkan wajah.
"Bawel," gumam Takae. "Yaudah sana pergi! Aku mau latihan lagi! Ganggu aja!"
Dia berlari kembali ke lapangan. Langkahnya terlihat sedikit lebih kaku karena pelindung itu, tapi Ren melihat sesuatu yang lain: pendaratannya lebih stabil. Dia tidak lagi meringis.
Ren tersenyum tipis. Misi berhasil.
"Ayo balik ke atas," ajak Ren pada Marika. "Kita belum pasang spanduknya."
Marika tidak langsung menjawab. Dia menatap Ren. Ada sorot mata yang rumit di sana.
"Kamu..." kata Marika pelan. "Kamu sangat gigih kalau menyangkut dia."
Ren menoleh, sedikit panik. "Itu demi misi, Ketua! Demi... efisiensi aset sekolah!"
Marika mendengus, tapi kali ini tidak ada bisa dalam suaranya. Dia berbalik menuju tangga.
"Alasan diterima," katanya. "Tapi lain kali... jangan terlalu dramatis di depan umum. Seperti sinetron. Memalukan."
Ren tertawa kecil dan mengikuti Marika.
Di lapangan, Takae menatap ke balkon lantai dua, tempat Ren dan Marika mulai membentangkan spanduk putih bertuliskan "KEMENANGAN MUTLAK".
Dia meraba pelindung lutut di kakinya. Terasa hangat dan kencang.
"Sato bodoh," bisik Takae sambil tersenyum miring. "Awas aja kalau aku menang. Aku bakal minta hadiah lebih dari sekadar minuman."
Tapi saat dia melompat untuk shoot berikutnya, rasa nyeri tajam menusuk dari dalam lututnya, menembus pelindung tebal itu. Takae menggertakkan gigi, menelan rasa sakitnya.
Pelindung itu membantu. Tapi Takae tahu, dan mungkin Ren juga tahu... itu hanya menunda bom waktu yang sedang berdetik di kakinya.