Pernikahan seharusnya membuka lembaran yang manis. Tapi tidak bagi Nayara, dia menyimpan rahasia kelam yang akhirnya merenggut kebahagiaannya.
Suaminya membencinya, rumah tangganya hampa, dan hatinya terus terjerat rasa bersalah.
Hingga suatu hari sumber masalahnya sendiri datang dan berdiri dihadapannya, laki-laki yang kini memperkenalkannya sebagai sopir pribadi.
“Sudah aku katakan bukan. Kamu milikku! Aku tidak akan segan mengejarmu jika kau berani meninggalkanku.”
Apakah Nayara akan mempertahankan rumah tangganya yang hampa atau kembali pada seseorang dimasa lalu meski luka yang ia torehkan masih menganga dihatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila_Anta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Sambaran petir terasa sampai ke ulu hati, begitu mendengar kalimat terucap dari bibir kekasihnya.
Nayara beringsut mundur dengan kedua tangan mengeratkan kain yang menutupi dadanya. "Apa kakak setega itu padaku?" Lirihnya.
Dev pun ikut terduduk. "Kakak bisa jelaskan, Nay."
"Aku tidak butuh penjelasan. Aku hanya minta kakak tidak pernah mengucapkan kalimat itu," tegas Nay yang membuat Dev menelan ludahnya kasar.
"Kakak tidak punya pilihan lain. Ayah menagih karena beliau sudah menyekolahkan kakak hingga saat ini. Kamu tau sendiri, kakak bisa sekolah tinggi karena ayah yang membiayainya."
Nay menggeleng. "Tapi apa yang baru saja kita lakukan kak. Kenapa kamu tega melakukan ini padaku. Apa kamu sengaja ingin menghancurkan hidupku, hah?" sarkas Nay memukul dada kekar Dev.
Laki-laki itu membiarkan tubuhnya menjadi tempat pelampiasan amarah kekasihnya. Ya. Dia memang sengaja melakukan hal ini. Meminta sesuatu yang paling berharga dalam diri kekasihnya, hanya karena tidak ingin Nay berkhianat selama mereka nanti berjauhan.
"Dengarkan kakak dulu." Mencengkram kedua tangan Nay. "Kakak sengaja mengikatmu agar kamu tidak punya niatan sedikitpun untuk meninggalkan kakak. Meski cara ini salah. Tapi, kakak yakin, setelah ini kamu tidak mungkin bermimpi pantas bersanding dengan laki-laki lain."
Egois memang. Tapi cara inilah yang terpikir dibenak Dev untuk mengikat kekasihnya.
Sekujur tubuh Nay bergetar. Saat ini pikirannya benar-benar blank. "Tapi kenapa harus dengan cara seperti ini. Kakak tau sendiri sebesar apa cintaku. Mimpi terbesarku hanya untuk bersanding dengan kakak." Nay terisak dalam pelukan Dev.
"Maafkan kakak, Nay. Meski caraku salah, tapi percayalah, setelah ini cinta kita tidak akan terpisahkan." Dev melonggarkan pelukan. Mengusap air mata Nay dan mengecupnya.
Dev menarik tangan Nay dan menaruhnya di atas kepala. "Kakak bersumpah tidak akan menyentuh wanita manapun selain dirimu." Suara petir kembali terdengar seolah menyahuti setiap kata yang terucap dari bibir Dev. "Hanya kamu, wanita pertama dan terakhir yang bisa memuaskan hasrat ku."
Tatapan keduanya bertemu. Mereka terdiam seolah mendalami perasaan dengan sorot mata masing-masing. Hanya debaran jantung dan deru nafas mereka yang terdengar.
"Apa kali ini kamu bisa percaya?" tanya Dev menyakinkan.
"Aku pegang janji kakak."
Itulah awal mula malapetaka yang akan menimpa mereka kedepannya. Mereka lupa. Manusia hanya bisa berencana. Selayaknya sebuah wayang yang dikendalikan oleh dalang. Begitu juga dengan kita. Kita tidak akan pernah bisa mendahului takdir apalagi melawannya.
Lamunan Dev terbangun ketika suara petir memekik di telinga. Pemuda itu mengusap air mata yang kini membasahi pipinya.
"Ternyata caraku masih tidak tepat. Meski kakak sudah berusaha mengikatmu, ternyata kamu bisa dengan mudah melepasnya," lirih Dev tersenyum getir.
Tanpa berpikir panjang lagi Dev masuk ke dalam mobil, melajukan nya dengan kecepatan tinggi membelah hujan dan hamparan luas perkebunan teh meninggalkan semua kenangan manis yang kini terasa pahit.
Dev sempat ingin membelokkan arah laju mobilnya untuk menemui Ibunya terlebih dahulu. Tapi kata-kata terakhir ibunya saat di hari keberangkatan nya ke kota masih terngiang jelas di telinga.
"Jika itu keputusanmu. Maka pergilah. Dan jangan muncul di depan ibumu ini, sebelum kau merasa hebat. Tunjukkan dirimu saat kau sudah benar-benar sukses di kota."
Ucapan ibunya yang kecewa pada keputusan Dev yang menuruti keinginan ayahnya untuk pindah ke kota. Meninggalkannya seorang diri setelah belasan tahun merawat putranya seorang diri.
Dan akhirnya Dev mengurungkan niatnya. Mobil pun kembali melaju meninggalkan desa tempat kelahirannya.
* * *
Suasana sepi di meja makan.
Kedua orang suami istri menyantap makan malam mereka dalam keheningan. Hanya dentingan sendok dan piring yang terdengar.
Bahkan untuk bisa bernafas saja Nay begitu susah. Rasa sesak yang selalu ia rasakan saat berada di dekat suaminya. Entah sampai kapan mereka akan tetap seperti ini. Hidup bagai kedua orang asing yang tinggal di satu atap yang sama.
Setelah selesai menghabiskan makanannya pun Bian langsung naik ke ruang kerjanya. Menutup pintu dan membiarkan Nay duduk termenung seorang diri.
Gadis itu menarik nafasnya dalam. 'Bahkan untuk sekedar menoleh padaku pun dia tidak sudi,' lirih Nay getir.
Ia membereskan sisa makanan dan membawa piring ke dapur sebelum akhirnya iapun masuk ke dalam kamar dan mengurung dirinya.
Waktu terus berlalu. Seolah perputaran waktu berjalan begitu cepat. Pernikahan Nay sudah berjalan hampir 6 bulan. Tapi sikap dingin suaminya masih tetap sama. Sepertinya gunung es itu tidak pernah mencair. Hati Bian seolah membeku dalam waktu yang begitu lama.
Nay sudah tidak pernah memperdulikan hal itu. Yang penting ia bisa makan dan tetap melanjutkan hidupnya sampai akhirnya hatinya pun ikut membeku.
Pertemuan mereka hanya di depan meja makan. Selebihnya mereka tidak pernah menampakkan diri ataupun saling menyapa walaupun keduanya tidak sengaja berpapasan.
Hingga suatu hari, untuk pertama kalinya Bian mendatangi kamar Nay di pagi hari setelah sarapan.
Laki-laki itu muncul di depan pintu kamar. Nay terkejut dengan suara pintu yang terbuka membuat tubuhnya beringsut saat melihat suaminya berjalan mendekat.
Senyum seringai muncul di bibirnya. "Kenapa? Apa kau setakut itu padaku, hah?"
Gadis itu menunduk, meremas seprai yang kini terduduk di sisi tempat tidur.
"Pakai ini dan berdandan lah. Sore nanti aku harus membawamu keluar," ucapnya dingin. Tangannya masih menggantung dengan sebuah paperbag.
Nay masih terdiam. Ini pertama kalinya Bian berbicara lagi padanya. "Apa selain bisu kau juga tuli. Kau tidak dengar apa yang aku ucapkan?" kesal Bian.
Laki-laki itu melempar paperbag tersebut ke tubuh Nay, gadis itu menangkapnya gelagapan.
"Jika bukan karena sebuah undangan. Mana mungkin aku membawamu. Karena semua kolega bisnisku membawa pasangan, aku harus terpaksa mengajakmu." Kalimat panjang yang Bian lontarkan meski terdengar sarkas.
Tanpa menunggu jawaban, laki-laki itu berbalik dan meninggalkan Nay yang termenung memegangi paperbag di dalam dekapannya.
Sebuah senyuman meski samar terlihat. Nay membukanya. Sebuah gaun yang begitu indah, lengkap dengan alat makeup dan aksesorisnya.
Sore pun tiba.
Bian sudah cukup lama menunggu di lantai bawah. Bersandar di dekat kursi dengan memainkan ponsel dan sesekali melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tangannya.
Laki-laki itu sudah terlihat rapi dengan setelan jas yang pas melekat di tubuhnya. Sore ini ia pulang lebih cepat karena tidak mau nanti pulang kemalaman sepulang dari pesta.
"Huh kenapa lama sekali si. Apa jangan-jangan dia ketiduran dan melupakan ajakanku." Langkah Bian terhenti yang hendak menyusul Nay ke kamarnya.
Ketukan langkah terdengar dari atas tangga. Suara sepatu yang di pakai Nay berdetak seirama debaran jantung Bian saat ini.
Matanya tidak mampu berkedip melihat keindahan yang kini terpampang nyata di depan mata.
Susah payah laki-laki itu menelan ludahnya kasar. "Maaf, saya tidak terbiasa berdandan. Jadi ini membutuhkan waktu lama," cicit Nay yang membuat Bian tersadar.
Laki-laki itu memalingkan wajahnya ke samping. Menyembunyikan rona merah di wajah karena baru saja terpesona dengan penampilan istrinya saat ini.
"Cepatlah. Aku sudah sangat terlambat," ucapnya mengayunkan langkah meninggalkan Nay yang terlihat kesusahan dengan sepatu heels nya.