NovelToon NovelToon
Istri Muda Paman

Istri Muda Paman

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / CEO / Cinta Terlarang / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Hasri Ani

Kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Mala, membuat gadis itu menjadi rebutan para saudara yang ingin menjadi orang tua asuhnya. Apa lagi yang mereka incar selain harta Pak Subagja? Salah satunya Erina, saudara dari ayahnya yang akhirnya berhasil menjadi orang tua asuh gadis itu. Dibalik sikap lembutnya, Erina tentu punya rencana jahat untuk menguasai seluruh harta peninggalan orang tua Mala. Namun keputusannya untuk membawa Mala bersamanya adalah kesalahan besar. Dan pada akhirnya, ia sendiri yang kehilangan harta paling berharga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KAMU MILIKKU

Langit malam mulai gelap sempurna ketika mobil yang dikendarai Tama berhenti di halaman sebuah hotel bergaya etnik yang terletak tak jauh dari perkampungan nelayan di sisi pantai selatan, tempat Ningsih saat ini tinggal.

Sore tadi, setelah pertemuannya dengan Ningsih, Tama memutuskan untuk membawa kemala menginap di hotel. Bukan karena tidak level tinggal di rumah panggung dengan tembok bilik itu, namun ia hanya ingin Kemala menenangkan diri. Bersama dengan Ningsih hanya akan menambah luka di hati istrinya.

Lampu-lampu gantung dari bambu menyala remang, menyambut kehadiran mereka dengan kehangatan sederhana. Hotel itu tidak besar, namun memiliki nuansa tenang dan jauh dari hiruk pikuk kota-tempat yang sempurna untuk beristirahat dari segala luka dan kenyataan pahit.

Tama turun lebih dulu, membukakan pintu untuk Kemala yang duduk diam sambil menatap kosong ke arah laut yang masih terlihat dari kejauhan. Wajahnya lelah, mata sayunya menyimpan tangis yang sudah tak lagi sanggup ia keluarkan. Terlalu banyak kejutan, terlalu banyak luka yang harus ia terima dalam waktu singkat. Tapi ia tetap berjalan, menggandeng tangan Tama yang setia menemaninya.

Tuhan itu maha adil. Kemala datang untuk mencari tahu kebenaran tentang kematian kedua orang tuanya,

Namun kenyataan pahit harus dia dapatkan. Namun dibalik itu, Tuhan hadirkan Tama, laki-laki yang tidak pernah Kemala duga akan menjadi suaminya meskipun pada awalnya pernikahan ini hanya untuk balas dendam.

Setelah melakukan check-in, mereka menaiki anak tangga menuju kamar yang menghadap langsung ke pantai. Di dalam kamar, nuansa kayu dan ukiran tradisional menambah kenyamanan. Jendela besar menghadap laut, dan balkon mungil di luarnya diterangi cahaya temaram dari lampu gantung rotan.

Tama meletakkan tas mereka di sofa, lalu mendekat ke arah Kemala yang masih berdiri menatap ke luar jendela.

"Kemala," panggilnya lembut, "aku tahu kamu capek. Duduk dulu, ya. Aku siapkan air hangat di bathtub. Kamu perlu relaksasi."

Kemala hanya mengangguk pelan. Ia tidak banyak bicara sejak perjalanan dari pantai. Bibirnya kering, suaranya seperti hilang tertelan badai yang mengguncang jiwanya sejak tadi siang.

Tama masuk ke kamar mandi. Ia menyalakan air hangat, meneteskan sabun aromaterapi ke dalam bathtub, lalu meletakkan handuk dan pakaian tidur yang dibawanya untuk Kemala. Aroma lavender mulai memenuhi ruangan, menenangkan dan menyejukkan.

Setelah semuanya siap, Tama kembali dan menggandeng tangan Kemala. "Ayo, aku temani sampai kamu masuk. Jangan biarkan kesedihan menggerogoti kesehatanmu."

Kemala menatap Tama. Tatapan itu masih redup,

Namun ada sedikit kehangatan yang menyusup di sana. Ia tidak menjawab, hanya menggenggam tangan Tama erat dan masuk ke kamar mandi perlahan.

Sementara Kemala merendam tubuhnya, Tama menyusun makan malam yang sudah ia pesan lebih dulu.

Di balkon kamar, ia menata meja kecil dengan dua piring, dua gelas anggur tanpa alkohol, dan satu lilin mungil di tengahnya. Ia memilih menu ringan-sup krim hangat, ikan bakar khas pesisir, dan sepiring buah segar.

Suara deburan ombak menjadi musik pengantar alami yang menenangkan. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma laut yang menyatu dengan aroma makanan dan lilin wangi yang menyala lembut.

Tak lama, Kemala keluar dari kamar mandi.

Rambutnya yang panjang dikeringkan seadanya, wajahnya lebih segar meski sorot matanya belum sepenuhnya pulih.

Ia mengenakan pakaian tidur berwarna lembut yang dipilihkan Tama, dan melangkah pelan ke balkon.

Tama berdiri, menarikkan kursi untuknya.

"Duduklah. Mas tahu kamu belum nafsu makan, tapi seteguk sup hangat bisa bantu tenangkan tubuhmu."

Kemala duduk, tersenyum kecil-senyum yang nyaris tidak tampak. "Terima kasih, Mas."

Tama duduk di seberangnya. "Mas tahu ini berat buat kamu. Tapi aku sangat bangga. Kamu wanita yang baik, Sayang. Kamu mau memaafkan sahabatmu dan mencoba menerima bayinya. Itu hal yang luar biasa."

Kemala tersenyum samar. "Ya, karena bayi itu gak salah, Mas. Bapak telah menghancurkan masa depan

Ningsih. Rasanya gak adil kalau aku membenci Ningsih karena kelakuan bapak. Hanya ini yang bisa aku lakukan. Tapi menerima anaknya bukan berarti aku mau dia tinggal sama kita, Mas. Kamu paham 'kan?"

Tama mengangguk. "Kamu takut aku tergoda, Heum?"

Kemala terkekeh pelan. "Ada kalanya kita harus berjaga-jaga sebelum kejadian terulang. Aku bukan Tante Erina yang bodoh, Mas. Aku saja bisa tergoda olehmu, apalagi orang lain," ucap Kemala yang membuat Tama tertawa.

"Kamu memang menggemaskan. Mana mungkin aku bisa kepincut yang lain jika sudah punya bidadari sepertimu."

Kemala tersipu. Kata-kata itu terdengar tulus. Semoga saja Tama benar-benar bisa menjaga kesetiaannya. Kemala tak mau ada orang ketiga di dalam hubungannya ini.

Meskipun sebagian orang menganggapnya pelakor, namun ia tidak mau jika dirinya dikhianati.

Mereka makan perlahan, tidak banyak bicara. Sesekali pandangan mereka bertemu, dan tak perlu kata-kata untuk memahami bahwa ada kehangatan dan cinta yang tumbuh semakin besar. Di tengah dinginnya angin pantai, kehadiran satu sama lain menjadi penghangat.

Tama menggeser kursinya, duduk lebih dekat pada Kemala. Ia meraih tangan wanita itu, menggenggamnya erat.

"Kamu boleh marah, sedih, kecewa... semuanya wajar. Tapi jangan pernah berpikir kamu sendiri. Ada aku. Dan aku akan selalu ada."

Kemala menatapnya. Matanya berkaca-kaca. "Aku takut, Mas. Takut semuanya akan makin rumit. Aku bahkan takut sama bayangan sendiri. Orang yang paling aku percaya, seseorang yang jadi cinta pertamaku nyatanya tidak setia. Dulu, aku pernah bermimpi ingin punya pasangan yang seperti bapak. Dia adalah panutanku. Tapi nyatanya bapak mengkhianati ibu. Dan entah, sebelum meninggal dunia, apakah bapak sempat jujur dan meminta maaf pada ibu? Semuanya benar-benar rumit, Mas."

Kemala menundukkan kepalanya. Wajahnya terlihat sendu. "Aku takut semua ini berbalik padaku. Aku sangat percaya dengan karma. Aku tidak mau, aku maupun keturunanku nanti mengalami hal yang sama."

"Tak apa takut. Itu manusiawi. Tapi jangan biarkan ketakutan itu menghentikan langkahmu. Yang harus kita lakukan dalam memperbaiki diri. Kita pelan-pelan, ya? Aku nggak minta kamu menyembunyikan kesedihanmu malam ini. Aku cuma minta... biarkan aku jadi tempatmu bersandar."

Air mata Kemala jatuh perlahan. Ia mengangguk, lalu menyandarkan kepala di bahu Tama.

"Terima kasih, Mas," bisiknya lirih.

Tama mengecup pucuk kepala Kemala. "Aku yang seharusnya berterima kasih karena kamu masih memilih berdiri, meski dunia seolah runtuh di sekitarmu."

Malam itu berlalu dengan tenang. Tak ada janji manis, tak ada harapan yang muluk. Hanya dua manusia yang saling memahami luka masing-masing, duduk bersama dalam diam, dan membiarkan cinta tumbuh perlahan di

Antara gelap malam dan nyala lilin yang terus berkedip di bawah langit pantai selatan.

Udara malam menyusup lembut melalui sela tirai tipis yang menari diterpa angin laut. Di luar, ombak menggulung pelan, seolah ikut menyanyikan lagu pengantar yang hanya bisa dipahami oleh dua hati yang tengah mencari kehangatan satu sama lain. Langit memantulkan cahaya bulan yang malu-malu menyorot ke kamar hotel bergaya tropis itu-tempat keheningan, cinta, dan penyerahan menyatu dalam diam.

Kemala duduk bersandar di kepala ranjang.

Rambutnya terurai di bahu, kulitnya yang masih sedikit basah dari sisa uap lavender memancarkan kelembutan. Matanya menatap Tama yang tengah mematikan lampu di sudut ruangan, menyisakan cahaya redup dari lilin-lilin di balkon yang memantulkan bayangan lembut pada dinding kamar.

Tama berjalan mendekat. Langkahnya mantap namun perlahan, seolah menjaga ritme malam agar tetap tenang. Ia menatap Kemala lama, sebelum berlutut di hadapannya dan menggenggam tangan kecil istrinya.

"Sayang..." suaranya rendah, serak oleh perasaan yang sulit ia ungkapkan dengan kata. "Malam ini, izinkan aku mencintaimu... sepenuhnya."

Kemala menjawab tanpa kata, hanya dengan menyentuh pipinya dan mengangguk pelan. Tatapannya bukan hanya penuh kerinduan, tapi juga kepasrahan seorang wanita yang percaya dan merasa aman.

Tama membungkuk, mencium jemari Kemala satu per satu. Lalu tangannya naik ke pipi istrinya, menyusuri garis rahang, menyeka helai rambut yang menempel di pelipis. Ciu-mannya mendarat ringan di dahi, lalu turun ke ujung hidung, sebelum akhirnya berhenti di bibir yang bergetar lembut menantikan pelukan kasih yang lebih dalam.

Mereka berci-uman lama, penuh rasa. Ciu-man yang menghapus segala luka, memecah keheningan, dan membuka gerbang menuju kein timan yang tertunda terlalu lama. Tama perlahan mendorong tubuh Kemala hingga berbaring di atas ranjang, lalu dengan satu gerakan penuh hormat, ia naik ke atas ranjang, membungkus tubuh keduanya dalam kehangatan yang mendalam.

Tangannya menjelajahi tubuh Kemala seakan menelusuri peta yang telah ia hafal tapi tetap ingin ia ulangi. Jemarinya berhenti di lekuk pinggang istrinya, membuat Kemala mengerang pelan dan memejamkan mata. Hembusan nafasnya berubah cepat, jantungnya berdebar tak karuan. Namun bukan karena malu, melainkan karena cinta yang kini menyala tanpa bisa ditahan.

Di bawah sorotan lembut cahaya lilin, tubuh mereka bersatu perlahan. Tama, dengan kelembutan dan kendali seorang pria matang, memperlakukan Kemala seperti bunga yang sedang mekar: tidak tergesa, tidak kasar, hanya penuh penghormatan dan rasa syukur. Setiap gerakan terasa seperti tarian yang teratur, penuh irama dan makna.

"Aaah, Mas Tama ...."

"Ya, Sayang. Terus panggil namaku. Kau milikku!" bisik Tama lembut.

Kemala memejamkan mata saat Tama menyusuri bagian d4da, pria itu memainkan gunung kembar dan boba kemerahan yang begitu menantang hingga kemudian menikmatinya seperti bayi rakus.

Perlahan namun pasti, Tama yang gagah itu menunjukkan kehebatannya. Membuat Kemala merasa menjadi seorang ratu.

Suara desa-han mulai memenuhi ruang. Bukan teriakan li ar, bukan jerit kesakitan, melainkan bisikan dua jiwa yang sedang saling menyentuh lebih dalam dari sekadar kulit.

Kemala melengkungkan punggungnya, merasakan getar yang menjalar dari ujung kaki hingga tengkuk. Ia memeluk tubuh suaminya erat, seolah tak ingin lepas. "Mas..." bisiknya nyaris tak terdengar. "Aku milikmu..."

Dan Tama mengecup lehernya dalam, menjawab dalam diam bahwa ia pun telah menjadi miliknya, sejak pertama kali melihat mata sendu itu yang kini menatapnya penuh percaya.

Malam kian dalam. Ritme penyatuan mereka mengalun dalam tempo yang tak terburu, namun sarat makna. Peluh membasahi tubuh, tapi tak terasa melelahkan. Justru sebaliknya, setiap tetes keringat menjadi tanda bahwa mereka hidup-bahwa cinta masih nyata dan tumbuh dalam pelukan yang sah.

Di puncak penyatuan itu, Kemala merasa dirinya terbang. Dunia memudar. Yang ia rasakan hanya

Kehangatan Tama, deru napas mereka yang memburu, dan detak jantung yang berpacu cepat. Ia tidak menangis, tidak tertawa, hanya terdiam dalam ekstase yang suci. Seolah tubuh dan jiwanya tak lagi terpisah.

Tama menatap wajah istrinya-kemerahannya, kehangatannya, getar di matanya. Ia merangkulnya erat, dan keduanya mencapai titik paling dalam dalam kein-timan yang hanya dimengerti oleh mereka yang saling mencinta dengan tulus.

Setelahnya, mereka berbaring dalam diam. Kemala bersandar di dada Tama, mendengarkan irama jantung yang perlahan kembali tenang. Suaminya menyelimuti tubuh mereka dengan selimut tipis, dan tak melepaskan pelukannya sedikit pun.

"Aku nggak tahu... kalau menyatu denganmu seperti ini bisa membuat semua rasa sakitku mereda," gumam Kemala, matanya mulai terpejam.

Tama mencium pucuk kepala istrinya, membiarkannya tertidur dalam dekapannya. "Karena cinta itu bukan hanya rasa, sayang... tapi penyembuh. Dan kamu pantas sembuh. Mulai malam ini, dan selamanya."

Malam itu, tak ada mimpi buruk. Tak ada tangisan. Hanya napas dua manusia yang saling mencintai, menyatu, dan saling menguatkan hingga fajar menjelang.

Keduanya melakukannya lagi dan lagi. Dan malam itu, menjadi malam panjang yang tak akan mereka lupakan seumur hidup. Keduanya memang belum sempat honeymoon keluar Pulau apalagi ke luar negeri setelah sah menjadi suami istri. Namun di tempat ini, di hotel tak

Jauh dari pantai dengan deburan ombak yang terdengar syahdu, keduanya saling melepas has-rat dalam ga i r ah yang tak tertahankan.

*

Sementara itu di tempat lain, seorang laki-laki diikat kedua tangan dan kakinya. Dua orang masuk, membawa pecut dan kembali melayangkan pertanyaan yang sama.

"Kau yang selama ini menyebarkan informasi pada wanita itu, Hah?" tanya laki-laki berbaju hitam dengan banyak tato di tubuhnya itu.

Bukannya menjawab, pria yang wajahnya sudah babak belur itu hanya tersenyum sinis. "Kau tidak akan mendapatkan jawaban apapun. Meskipun aku mati, kalian semua akan tertangkap dan pada akhirnya membusuk di penjara!"

BUGHH.

Satu pukulan kembali mendarat di wajah pria itu. Dan untuk kesekian kalinya, laki-laki yang ditangkap di apartemennya itu kembali tak sadarkan diri.

Beberapa saat kemudian.

Suara langkah sepatu hak tinggi menggema di koridor bawah tanah yang lembap dan sunyi. Derapnya pelan namun mantap, seolah setiap ketukan tumit itu adalah tanda kehancuran yang semakin dekat.

Angel muncul di ambang pintu ruangan interogasi. Rambutnya diikat rapi ke belakang, dan setelan merah darahnya begitu mencolok dalam bayang-bayang lampu redup. Di belakangnya, dua bodyguard bertubuh besar mengikuti tanpa suara.

Di tengah ruangan, pria yang babak belur itu kini duduk terikat di kursi besi yang dibaut ke lantai. Nafasnya berat, dadanya naik turun seperti hendak pecah. Bekas darah mengering di ujung bibir dan pelipisnya.

Angel melangkah mendekat.

"Jangan mentang-mentang Yudha melindungimu, kau bersikap seenaknya. Masih tidak mau mengaku?" gumamnya pelan, nada suaranya seperti racun manis yang menetes dari bibir ular.

Pria itu mengangkat kepala perlahan. Matanya yang lebam menyipit, menatap perempuan di hadapannya dengan sorot jijik.

Angel tersenyum lebar. "Kau tahu... biasanya, aku menghukum para pengkhianat dengan peluru. Tapi kau... kau istimewa. Aku ingin bermain lebih lama."

Ia membungkuk perlahan, menatap wajah pria itu dari dekat. Tangannya yang terbalut sarung kulit menyentuh dagu si pria, mengangkatnya sedikit.

"Masih banyak yang bisa aku lakukan padamu sebelum kau mati. Dan mungkin... aku ingin tahu, sejauh mana mentalmu bisa dihancurkan."

Dengan sengaja, Angel duduk di pangkuan pria itu, membuat tubuh pria itu menegang. "Kau tahu kenapa mereka takut padaku?" bisiknya di telinga si pria. "Karena aku bisa mencampur hukuman dan... kenikmatan. Tapi sayangnya, aku tak sedang ingin bersenang-senang."

"Tapi kalau mau, aku bisa saja membebaskanmu. Jadilah pemu*sku seperti Yudha, gimana?"

Tangan Angel bergerak, menyusuri dada pria itu

Secara perlahan. Namun sebelum ia bisa melanjutkan, PLAKK! - pria itu meludahi wajah Angel.

Hening sejenak.

Tubuh Angel membeku. Air liur menetes di pipinya.

Kedua bodyguard langsung melangkah maju, tapi Angel mengangkat tangan, menahan mereka.

Ia berdiri perlahan, mengusap wajahnya dengan saputangan. Lalu, ia menatap pria itu. Mata Angel berubah. Tak ada lagi senyuman. Tak ada lagi nada menggoda.

"Bawa dia ke ruangan pendingin. Gantung kakinya.

Pastikan dia tetap hidup... tapi berharap mati," ucapnya datar.

Bodyguard-nya mengangguk. Mereka menarik paksa tubuh pria itu yang kini tak bisa melawan. Rantai bergemerincing saat tubuhnya diseret keluar ruangan.

Angel menatap pintu yang tertutup kembali dengan dingin. Lalu ia berbalik, melangkah keluar tanpa sepatah kata.

Di matanya, pria itu telah ditandai-bukan hanya sebagai pengkhianat, tapi sebagai simbol bahwa siapa pun yang berani melawan, akan dihancurkan bukan hanya tubuhnya... tapi harga dirinya.

Dan Angel... menikmati setiap detiknya.

"Menarik. Dia cukup menantang. Aah, aku harus hubungi Yudha, aku ingin dipu*skan malam ini," ucapnya sambil menyeringai.

***

1
Towa_sama
Wah, cerita ini seru banget, bikin ketagihan!
✨HUEVITOSDEITACHI✨🍳
Ngakak banget!
im_soHaPpy
Datang ke platform ini cuma buat satu cerita, tapi ternyata ketemu harta karun!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!