Eldoria, yang berarti negeri kuno yang penuh berkah. Negeri yang dulunya selalu di sinari cahaya matahari, kini berubah menjadi negeri yang suram.
Ratusan tahun telah berlalu sejak peperangan besar yang menghancurkan hampir seluruh negeri Eldoria, membuat rakyat harus hidup menderita di bawah kemiskinan dan kesengsaraan selama puluhan tahun sampai mereka bisa membangun kembali Negeri Eldoria. Meskipun begitu bayang-bayang peperangan masih melekat pada seluruh rakyat Eldoria.
Suatu hari, dimana matahari bersinar kembali walau hanya untuk beberapa saat, turunlah sebuah ramalan yang membuat rakyat Eldoria kembali memiliki sebuah harapan.
"Akan terlahir 7 orang dengan kekuatan dahsyat yang dapat mengalahkan kegelapan yang baisa di sebut Devil, di antara 7 orang itu salah satu dari mereka adalah pemilik elemen es yang konon katanya ada beberapa orang istimewa yang bisa menguasai hampir semua elemen dari klan Es"
Siapakah ketujuh orang yang akan menyelamatkan negeri Eldoria?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AzaleaHazel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
07
Karena masih bingung nama apa yang cocok, Liz mendekat kearah Phoenix itu dan memperhatikannya dengan lekat. Dari bulunya yang berwarna merah dan biru, cukup lama dia memperhatikannya, tapi mata Phoenix itu yang paling menarik perhatiannya, warna matanya gelap seperti gelapnya malam.
"Eve, bagaimana menurutmu? Apa kau menyukainya?" Tanya Liz, tiba-tiba saja kata itu terucap dari bibirnya setelah memperhatikan warna mata Phoenix itu dengan lekat.
"Bagus, aku menyukainya, tapi kenapa kau memilih nama itu?" Tanya Phoenix itu penasaran.
Liz melangkah lebih dekat kearah Phoenix itu lalu kembali melihat matanya. "Matamu terlihat seperti gelapnya malam, sangat indah." Jawabnya seraya memandang mata Phoenix itu dengan kagum.
"Baiklah, mulai sekarang namaku adalah Eve. Sekali lagi, salam kenal Liz." Tanpa pikir panjang Phoenix itu menyetujui nama yang di berikan oleh Liz, jujur dia sangat menyukai nama itu.
"Salam kenal juga, Eve." Balas Liz dengan senyum manisnya
"Kau bisa memanggilku kapanpun kau mau, aku pasti datang. Aku pergi dulu, Liz." Ucap Phoenix itu, dia tidak bisa berlama-lama di luar karena takut akan menarik perhatian orang-orang saat tidak sengaja melewati rumahnya. Masalahnya Phoenix adalah hewan legendaris, atau sangat langka seseorang memiliki hewan pelindung seperti Phoenix.
"Tentu, terimakasih Eve." Balas Liz.
Eve menghilang dan sebuah cahaya perlahan masuk ke dalam liontinnya. Liz sangat senang, setelah ini dia tidak akan pernah merasa kesepian karena memiliki Eve di sisinya. Tanyanya tanpa sadar memetang liontin itu dengan erat.
"Dengarkan aku." Suara Acrus membuat atensi Liz teralihkan padanya. Seperti biasa, wajah Acrus selalu datar tapi ada kerutan di alisnya, tidak pernah sekalipun dia tersenyum pada Liz.
"Ada apa, Ayah?" Tanya Liz hati-hati, karena Acrus mudah sekali marah saat bicara dengannya, meskipun Liz tidak yakin apa penyebab Ayahnya seperti itu padanya.
"Selain Phoenix tadi, kau juga memiliki senjata dan kitab. Sekarang coba kau keluarkan." Ucap Acrus, entah sudah keberapa kalinya ucapan Ayahnya membuat Liz kebingungan.
Rasanya setiap hari dia seperti bermain teka-teki karena ucapan Ayahnya, jika tidak paham dia harus mencari tahunya sendiri karena jika bertanya pada Acrus pasti akan di marahi. Liz sering menggerutu dalam hatinya saat kesusahan memahami apa yang di katakan Ayahnya, apalagi Acrus selalu bicara singkat padanya.
"Tapi bagaimana caranya?" Tanya Liz tidak mengerti, ia sudah siap-siap di marahi oleh Acrus karena biasanya selalu begitu saat dia bertanya.
"Bacalah manta ini, karena baru pertama kali memanggilnya, kau membutuhkan mantra ini, tapi jika sudah terbiasa kau bisa memanggilnya tanpa perlu merapal mantra." Balas Acrus, dia memberikan sebuah gulungan berwarna coklat.
Liz mendengar penjelasan Acrus dengan baik, lalu menerima gulungan kertas yang sudah tampak usang itu. Sampai di sini dia sudah bisa menyimpulkan yang perlu di lakukan hanya membaca mantra ini untuk memanggil senjata dan kitab yang Acrus maksud. Saat dia sudah terbiasa, mantra itu tidak di perlukan lagi, intinya dia hanya perlu memanggilnya dalam hati pasti mereka akan keluar.
Liz membuka gulungan kertas itu, lalu membacanya dalam hati. "Egó ímoun aftí pou evlogíthike apó tin ékleipsi ble fengarioú, i Liz, pou kálese ta ópla pou stóchevan enantíon mou."
[Akulah yang diberkati oleh gerhana bulan biru, Liz, memanggil senjata yang ditujukan kepadaku.]
Dan benar saja, setelah mantra itu selesai di baca, sebuah cahaya terang menyilaukan mata sampai membuat Acrus dan Acresia memejamkan matanya, kecuali Liz. Ternyata apa yang Acrus katakan memang benar, kini di depannya ada sebuah sabit dan kitab melayang di udara. Maksudnya bukan berarti Liz tidak percaya pada Acrus, justru dia sangat mempercayai Ayahnya karena saat bicara dengannya selalu serius, hanya saja dia tidak menyangka jika memiliki kedua benda ini.
Tangan Liz bergerak meraih sabit berwarna biru keunguan itu, tepat saat dia berhasil menggenggamnya, tubuh Acrus dan Acresia tiba-tiba saja ambruk, mereka berdua terlihat kacau walaupun masih sadarkan diri.
"Aura macam apa yang di keluarkan sabit itu." Acrus membatin dalam hatinya, kepalanya terasa sangat pusing karena aura yang di keluarkan sabit milik Liz.
Padahal sebelumnya dia sudah mendengar jika sabit itu memang memiliki aura yang sangat kuat dan pekat, tapi saat melihat dan merasakannya sendiri, ternyata benar-benar sangat mengerikan.
"Tidak hanya kuat, tapi juga sangat mengerikan." Sama seperti Acrus, Acresia juga membatin dalam hatinya. Akibat kuatnya aura sabit itu sampai membuatnya mual.
Liz yang belum menyadari keadaan orangtuanya sangat terkejut saat berbalik. "Ayah Ibu apa yang terjadi pada kalian?" Paniknya, dia langsung berlari mendekati mereka dan melempar sabit juga kitabnya karena panik. Sabit dan kitab itu menghilang sebelum jatuh ke tanah.
"Ada apa dengan kalian? Bagaimana bisa seperti ini?" Melihat orangtuanya yang biasanya kuat tiba-tiba seperti ini membuat Liz merasa sangat cemas.
"Kau tidak perlu menghiraukan kami. Masuklah, besok kau harus memulai latihanmu." Balas Acrus, jelas sekali jika dia tidak ingin bicara lebih banyak dengan Liz.
Mendengar jawaban Acrus membuat Liz marah. "Apa maksud Ayah aku tidak perlu menghiraukan kalian? Bagaimana bisa aku melakukan itu padahal kalian berdua adalah orangtuaku!" Suaranya agak meninggi, matanya berkaca-kaca menatap Acrus dan Acresia bergantian.
Entah kenapa setelah mereka berdua mendengar ucapan Liz, ada sesuatu yang mereka rasakan di hati mereka, tapi Acrus dan Acresia menolak untuk mencari tahu perasaan apa itu. Mereka berdua segera bangkit, berusaha menghindar dari kenyataan dan juga dari Liz.
"Kami baik-baik saja, cepat masuk." Perintah Acresia tanpa ingin di bantah, dia menarik tangan suaminya dan meninggalkan Liz sendirian di luar rumah.
Liz hanya bisa membuang nafasnya dengan kasar, lagi-lagi Acrus dan Acresia mengabaikannya. Dan apa yang Acrus katakan tadi? Latihannya sudah akan di mulai besok? Ahh yang benar saja, padahal dia berharap bisa beristirahat sebentar karena sudah bisa menguasai semua elemen, tapi harapannya itu tidak akan pernah jadi kenyataan.
"Apa kau baik-baik saja, Liz?" Tiba-tiba sebuah suara terdengar di telinga Liz, membuat anak itu melirik sekitarnya.
"Eve?" Liz yakin jika ini adalah suara Eve.
"Ya, ini aku, karena kau sudah memberiku nama, kita bisa saling berbicara lewat telepati." Ternyata suara itu memang benar suara Eve. Pantas saja Liz tidak melihat Eve dimanapun karena Eve bicara melalui telepati, jadi suara Eve memenuhi pikirannya.
"Oh baiklah, aku mengerti." Balas Liz dengan anggukan kepala.
"Jadi, apa kau baik-baik saja?" Eve mengulang pertanyaannya memastikan apakah anak itu baik-baik saja atau tidak.
"Ya, lagipula ini sudah biasa terjadi." Balas Liz, tangannya bergerak mengusap sisa air matanya.
"Aku tau. Maaf, jika saja sejak dulu aku bisa menemuimu kau tidak akan pernah merasa sendirian seperti ini." Maksud Eve adalah karena dia sudah mengetahui bagaimana kehidupan Liz selama ini tapi tidak bisa menemuinya sejak dulu dan baru sekarang dia bisa muncul di depan gadis kecil itu, Eve tentu saja sangat merasa bersalah.
"Itu bukan salahmu, Eve. Jika saja aku tau lebih awal tentangmu, pasti aku sudah memanggilmu sejak dulu." balas Liz, ini memang bukan salah Eve.
"Tentu saja, karena aku pasti akan sangat berguna untukmu." ucap Eve dengan sombongnya. Sebenarnya dia mengatakan itu untuk mengalihkan topik yang tidak mengenakkan itu.
Dan benar saja, Liz sontak langsung tertawa mendengar ucapan Eve. Rasanya benar-benar melegakan, walaupun hari-harinya sangat menguras tenaga dan pikiran, akhir-akhir ini banyak orang baik yang datang mengelilinginya. Setelah Theresa dan orangtuanya, lalu Evans dan Gilbert, sekarang bertambah lagi dengan Eve. Di dunia luar nanti Liz pasti menemukan hal-hal baru, karena perjalanannya masih sangat panjang.