NovelToon NovelToon
Aku Menikahi Iblis Surgawi!

Aku Menikahi Iblis Surgawi!

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Identitas Tersembunyi / Harem / Romansa / Ahli Bela Diri Kuno
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: ZhoRaX

Mati tertabrak truk? Klise.
Tapi bangun di dunia penuh sihir, monster, dan wanita cantik berbahaya?
Shen Hao tidak menyangka, nasib sialnya baru dimulai.

Sebagai pria modern yang tengil dan sarkastik, ia terjebak di dunia fantasi tanpa tahu cara bertahan hidup. Tapi setelah menyelamatkan seorang gadis misterius, hidupnya berubah total—karena gadis itu ternyata adik dari Heavenly Demon, wanita paling ditakuti sekaligus pemimpin sekte iblis surgawi!

Dan lebih gila lagi, dalam sebuah turnamen besar, Heavenly Demon itu menatapnya dan berkata di depan semua orang:
“Kau… akan menjadi orang di sisiku.”

Kini Shen Hao, pria biasa yang bahkan belum bisa mengontrol Qi, harus menjalani hidup sebagai suami dari wanita paling kuat, dingin, tapi diam-diam genit dan berbahaya.
Antara cinta, kekacauan, dan tawa konyol—kisah absurd sang suami Heavenly Demon pun dimulai!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZhoRaX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CH 6

Pagi itu, kabut tipis masih menggantung di atas desa Qingmu.

Udara terasa lembap dan segar, diterpa sinar mentari pertama yang menembus dari balik pegunungan timur.

Burung-burung kecil mulai berkicau, menandakan hari baru —

hari di mana Shen Hao akhirnya harus berjalan sendiri.

Di gerbang kayu besar yang menandai batas wilayah desa, dua sosok berdiri berhadapan.

Satu berambut abu-abu dengan jubah lusuh, menatap dengan sorot mata tenang.

Yang satu lagi — berambut hitam acak-acakkan, wajah sedikit lesu, tapi senyum kecil tersungging di bibirnya.

“Jadi, sampai sini, ya, Guru,” ujar Shen Hao, memecah keheningan.

Tuan Bao mengangguk pelan.

“Mulai sekarang, kau harus belajar mengandalkan dirimu sendiri. Dunia ini luas dan berbahaya, Shen Hao. Tapi jangan pernah takut pada bahayanya — takutlah kalau kau berhenti belajar karenanya.”

Shen Hao menatap jalan panjang yang terbentang di luar gerbang —

hutan, kabut, dan garis pegunungan di kejauhan.

“Kalimatmu selalu seperti kutipan buku bijak, Guru. Tapi intinya sama, kan? Aku bakal digigit monster kalau ceroboh.”

Tuan Bao tertawa kecil. “Kalau kau bisa menertawakan bahaya, itu artinya kau siap menghadapinya.”

Ia kemudian mengangkat tangan, dan dari dalam lengan bajunya, ia mengeluarkan sebilah pedang pendek berukir sederhana.

Pedangnya tampak tua, namun bilahnya masih bersih tanpa noda.

“Pedang ini tidak tajam untuk membunuh, tapi cukup kuat untuk melindungi. Gunakan saat kau benar-benar butuh.”

Shen Hao menerima pedang itu perlahan.

Entah kenapa, meski tampak biasa, ia bisa merasakan hawa dingin samar dari logamnya.

Belum sempat ia bicara, Tuan Bao mengeluarkan lagi sesuatu — sebuah jimat kuning bergambar pola rumit.

“Ini jimat pelindung. Gunakan hanya sekali, tapi bisa menyelamatkan nyawamu. Jangan sia-siakan.”

Shen Hao menatap benda-benda itu, lalu menatap gurunya.

“Guru, aku nggak yakin bisa kultivasi seperti yang lain. Setiap kali coba, ujung-ujungnya aku batuk darah.”

Tuan Bao menatapnya lama, lalu tersenyum lembut.

“Meski gagal, teruslah berlatih. Karena kadang, kegagalan adalah keberhasilan yang belum kau sadari. Tapi—”

Ia menepuk pundak Shen Hao.

“Lebih baik kalau kau mencari jawabannya sendiri. Dunia ini punya caranya sendiri untuk memberitahumu siapa dirimu sebenarnya.”

Shen Hao terdiam, memandang tanah di bawah kakinya.

Ia ingin membantah lagi, tapi tak sanggup.

Ada sesuatu di nada suara Tuan Bao yang membuatnya sadar —

ini bukan sekadar nasihat, tapi perpisahan sungguhan.

Tuan Bao kemudian mengeluarkan kantung kecil berisi koin emas, lalu meletakkannya di tangan Shen Hao.

“Tambahan dari yang kemarin. Gunakan seperlunya, jangan berfoya-foya. Dunia luar lebih kejam dari yang kau bayangkan.”

Belum selesai, ia mengeluarkan beberapa pil spiritual kecil dalam botol batu giok.

“Minumlah ini saat tubuhmu terasa panas atau lemah setelah berkultivasi. Itu akan menyeimbangkan aliran spiritual dan mencegahmu batuk darah terlalu sering.”

Shen Hao menatap botol itu dengan ekspresi campur aduk.

“‘Terlalu sering’ katanya… jadi batuk darah dikit masih boleh, ya?”

Tuan Bao menghela napas panjang, menahan senyum.

“Kau memang murid paling keras kepala yang pernah kumiliki.”

Ia kemudian mengeluarkan sesuatu terakhir — buku tua berkulit hitam, tebal dan sudah agak usang di tepinya.

“Tiga puluh tahun aku menulis dan menyempurnakan seni latihan ini. Isinya mungkin tampak sederhana, tapi kalau kau benar-benar memahaminya, itu akan menjadi fondasi kuat untuk masa depanmu.”

Shen Hao menerimanya dengan kedua tangan, kali ini tanpa banyak bicara.

Ia tahu — pemberian ini bukan main-main.

“Terima kasih… Guru.”

Tuan Bao menatapnya sekali lagi.

Sorot matanya teduh, tapi mengandung perasaan yang dalam —

rasa bangga, khawatir, dan harapan yang tak diucapkan.

“Mulai dari sini, setiap luka yang kau terima, setiap monster yang kau hadapi, dan setiap langkah yang kau ambil… akan menjadi guru baru bagimu. Aku tidak akan selalu ada untuk menahan pukulan seperti kemarin. Jadi biasakan diri dengan kerasnya dunia.”

Shen Hao mengangguk.

“Kalau begitu, nanti kalau aku balik, jangan kaget kalau aku sudah jadi orang besar.”

Tuan Bao tersenyum. “Aku tidak akan kaget. Dunia ini memang menunggu seseorang seperti Shen Hao — meski mungkin belum tahu saja.”

Keduanya terdiam beberapa saat.

Angin pagi bertiup lembut, membawa bau tanah lembap dan aroma embun.

Akhirnya, Shen Hao menyampirkan pedang itu di pinggang, menaruh jimat di sakunya, dan menyelipkan buku itu di dalam tas kainnya.

Ia menunduk hormat — satu kali, dalam-dalam.

“Sampai jumpa lagi, Guru.”

Tuan Bao menatap punggung muridnya yang perlahan menjauh di jalan berkabut, langkahnya ringan tapi mantap.

Ia tahu — sejak awal, pemuda itu bukan orang biasa.

Dan dunia Tianxu baru saja mendapatkan satu jiwa keras kepala yang akan mengguncang takdirnya sendiri.

Langit membentang luas di atas kepalanya.

Awan putih bergulung perlahan, sementara sinar matahari menembus celah pepohonan, menimbulkan pantulan lembut di kabut tipis yang masih menggantung di antara lembah.

Jalan tanah yang Shen Hao lalui tampak sepi, hanya diiringi suara burung dan desir angin yang berhembus lembut.

Ia melangkah perlahan, memandangi pemandangan di sekitarnya dengan mata yang sedikit menyipit karena silau.

“Dunia luar, ya…” gumamnya pelan.

“Kelihatannya indah, tapi rasanya kayak jebakan besar buat orang ceroboh kayak aku.”

Ia menendang kerikil kecil di depannya. Batu itu memantul beberapa kali di jalan sebelum jatuh ke tepi jurang kecil, menggelinding dan menghilang dari pandangan.

Langkahnya berlanjut, melewati bukit kecil dan semak lebat.

Kadang, ia berhenti hanya untuk memperhatikan hal-hal aneh:

bunga biru yang memancarkan cahaya lembut saat tertiup angin,

seekor kupu-kupu sebesar tangan manusia dengan sayap seperti kristal,

atau batu besar di pinggir jalan yang berdenyut pelan seperti memiliki jantung.

“Ya ampun… bahkan batu aja di dunia ini bisa hidup,” gumamnya. “Kalau besok daun nyanyi, aku juga tidak akan kaget lagi.”

Namun keindahan itu tidak selalu berarti aman.

Beberapa kali, ia mendengar raungan jauh dari dalam hutan — dalam, berat, dan menggetarkan tanah.

Dan setiap kali itu terjadi, Shen Hao otomatis bersembunyi di balik pohon atau semak, menahan napas sambil menggenggam gagang pedangnya erat.

Grrrrr...

Suara itu muncul lagi, kali ini lebih dekat.

Shen Hao mengintip pelan dari balik pohon dan matanya langsung membulat.

Seekor beruang spiritual — ukurannya sebesar rumah, tubuhnya dilapisi sisik logam dan punggungnya memancarkan asap hitam — sedang menghajar pohon besar di depannya, mungkin karena ada binatang kecil yang mengusik sarangnya.

Setiap kali cakarnya menghantam tanah, gelombang spiritual menyebar seperti riak air.

Shen Hao mematung beberapa detik.

“…Oke, jelas bukan target latihan pemula.”

Saat beruang itu tiba-tiba mendengus dan menoleh ke arahnya, Shen Hao langsung membeku.

Tatapan makhluk itu tajam, seolah bisa menembus semak yang menutupi dirinya.

Krakk!

Sial — ranting di bawah kakinya patah, momen sial yang selalu terjadi padanya.

“Ah, sial,” gumamnya.

Raungan keras mengguncang udara, dan dalam sekejap, makhluk itu berlari ke arahnya.

Tanah bergetar, dedaunan beterbangan.

Shen Hao langsung berbalik dan berlari secepat mungkin, jantungnya hampir meloncat keluar dari dada.

“Dunia luar, katanya! Indah dan luas, katanya!” teriaknya sambil berlari menuruni bukit.

“Sekarang aku tahu artinya ‘luas’ — karena aku harus lari sejauh ini bukan untuk mati!”

Ia terus berlari, napasnya tersengal.

Suara langkah berat di belakangnya mengejar tanpa henti.

Ketika ia hampir kehilangan tenaga, tiba-tiba di depannya terlihat jurang besar.

“Ah hebat, sekarang pilihannya jatuh atau dimakan!”

Namun tepat saat beruang itu melompat ke arahnya, Shen Hao tanpa pikir panjang menghunus pedangnya — satu ayunan refleks tanpa teknik.

Clang!

Semburat cahaya samar keluar dari bilah pedang, seperti beresonansi dengan qi di tubuhnya tanpa ia sadari.

Serangan itu memang tak melukai beruang besar itu, tapi cukup untuk memantulkannya mundur sejenak.

Momen itu cukup bagi Shen Hao untuk melompat ke sisi tebing, berpegangan pada akar besar yang menjulur.

Beruang itu meraung kesal di atas, tapi tak berani menuruni tebing yang curam itu.

Setelah beberapa detik, makhluk itu akhirnya pergi.

Shen Hao memanjat naik perlahan, terengah-engah, lalu menjatuhkan diri di atas tanah, menatap langit.

“Ya Tuhan… baru beberapa jam keluar, hampir mati dua kali. Dunia ini beneran gila.”

Namun di tengah rasa takut dan lelah itu, ada sesuatu yang bergetar halus di dadanya.

Bukan rasa takut — tapi semangat yang samar.

Ia menatap pedang di tangannya, yang bilahnya kini memancarkan cahaya samar seperti napas spiritual.

“Jadi ini… kekuatan kultivasi, ya?” katanya pelan.

“Tapi kenapa munculnya pas aku panik? tidak bisa gitu, muncul waktu aku santai?”

Ia tertawa kecil, lalu berdiri.

Sinar matahari mulai menembus pepohonan lagi, menyoroti wajahnya yang masih kotor tapi tersenyum.

“Baiklah, dunia luar. Kalau kau mau main kasar, aku juga bisa main keras. Tapi, tolong ya… jangan kirim monster sebesar rumah setiap kali aku salah jalan.”

Dengan langkah goyah tapi mantap, Shen Hao kembali melanjutkan perjalanan ke arah lembah.

Di kejauhan, suara sungai terdengar — mungkin ada desa, atau mungkin… masalah baru.

Tapi kali ini, untuk pertama kalinya, ia melangkah bukan karena lari dari sesuatu — tapi karena ingin tahu apa yang menunggunya di depan.

1
mu bai
sebaiknya menggunakan bahasa indo formal lebih cocok thor
ZhoRaX: ok.. nanti diubah
👍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!