NovelToon NovelToon
JEDA

JEDA

Status: sedang berlangsung
Genre:Wanita Karir / CEO / Romansa
Popularitas:869
Nilai: 5
Nama Author: Wiji

Nathan mengira ia hanya mengambil jeda, sedikit waktu untuk dirinya sendiri, untuk menyusun ulang hidup yang mulai tak terkendali.
Kayla mengira ia ditinggalkan. Lagi-lagi diabaikan, disisihkan di antara tumpukan prioritas kekasihnya.

Saat jarak berubah jadi luka dan diam jadi pengabaian, cinta yang semula kokoh mulai goyah.
Tapi cinta tak selamanya sabar.
Dan Nathan harus bertanya pada dirinya sendiri.
Masih adakah yang bisa ia perjuangkan saat semuanya nyaris terlambat?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

25

Di malam hari yang sunyi, Nathan duduk sendirian di balkon kamar. Di tangannya, sebatang rokok menyala pelan, membakar waktu bersamaan dengan pikirannya yang terus berputar. Asap mengepul, naik ke langit malam yang dipenuhi bintang, seolah semesta pun tak sanggup menampung semuanya di satu tempat. Bulan bulat penuh menggantung di atas sana. Terang tapi dingin, seperti perasaannya belakangan ini.

Nathan menghisap rokoknya sekali lagi. Nikotin tak cukup menenangkan apa yang mendesak di dadanya. Sudah beberapa hari ini ia merasa seperti berjalan di atas dua jalan berbeda. Satu menuju masa depan yang ingin ia bangun bersama Kayla, satu lagi menuju kewajiban yang belum selesai ia ceritakan. Dan semakin lama ia diam, semakin takut hatinya kehilangan keduanya sekaligus.

Ia tahu Kayla mulai curiga. Tapi entah kenapa, ia belum sanggup bicara.

Di tempat lain, Kayla tak bisa tidur. Sudah hampir satu jam ia hanya memandangi langit-langit, bertanya-tanya kenapa akhir-akhir ini Nathan terasa begitu jauh. Tak ada kata kasar, tak ada pertengkaran, tapi juga tak ada kehangatan seperti biasanya. Kayla tak butuh pelukan atau janji manis, ia hanya butuh penjelasan.

‘Aku tahu dia menyimpan sesuatu. Tapi apa?’ pikirnya sambil menghela napas.

Ingatan Kayla melayang ke percakapan pagi tadi. Nathan sempat bertanya soal pandangannya terhadap orang yang berubah menjadi lebih baik, seperti sedang menanyakan sesuatu yang sebenarnya sudah ia tahu jawabannya. Tapi bukan pertanyaannya yang mengganggu Kayla, melainkan kekhawatiran di balik cara Nathan memandangnya saat itu, seolah takut ia tak lagi percaya.

"Apa yang membuat Nathan menanyakan itu? Apa yang membuat dia ragu? Apa yang sebenarnya terjadi?"

Kayla memeriksa ponselnya, biasanya ia akan menghubungi Nathan jika tidak bisa tidur. Namun, malam ini jemarinya hanya menggantung di layar, ragu untuk menekan ikon percakapan. Tidak ada notifikasi dari Nathan. Bahkan 'last seen'-nya pun sudah menghilang sejak sore tadi.

Ia membuka aplikasi sosial media, mencoba mengalihkan rasa canggung dalam dirinya sendiri. Di antara deretan cerita dan unggahan tak penting, matanya tertumbuk pada sebuah foto.

Itu Davin, teman dekat Nathan sekaligus orang yang cukup dikenal dekat oleh Kayla.

Kayla memperbesar gambarnya. Nathan berdiri di tengah-tengah kelompok pria, mengenakan kemeja hitam yang rapi dan senyuman yang... entah kenapa, tidak terasa familiar. Senyum itu seperti topeng, dan Kayla bisa merasakannya hanya dengan sekali lihat.

Tapi bukan itu yang membuat jantungnya berdebar. Matanya terpaku pada caption.

[Masih ganteng walau kepalanya udah berat sama rencana hidup. Mukanya senyum tapi auranya suram cuy.]

Salah satu komentar di bawah foto itu menarik perhatian Kayla.

[Davin bener. Nathan kelihatan beda. Banyak beban, ya?]

[Dulu urakan, sekarang diem. Jangan-jangan punya utang. Hahaha]

[Woi, jangan asal nuduh. Dia lagi fokus ngurus bisnis baru sama calon bini, makanya mukanya beban banget meskipun lagi senyum.] – komentar Davin lagi.

Kayla menatap layar ponselnya tanpa berkedip. Jari-jarinya membeku di atas layar, tak sanggup menggulir lebih jauh. Foto itu seharusnya biasa saja, kumpulan teman lama merayakan sesuatu. Tapi tidak malam ini. Tidak saat hatinya sedang penuh tanda tanya.

Wajah Nathan di foto itu memang tersenyum, tapi Kayla mengenal tatapan itu terlalu baik. Itu bukan senyum yang sama dengan yang selalu ia tunjukkan saat menggoda Kayla karena tidak bisa mengupas jeruk sendiri, atau saat memandangi Kayla tertidur di sofa. Di foto itu, senyumnya terasa asing. Matanya... lelah.

Komentar-komentar di bawahnya seperti bisikan kecil yang menampar logika Kayla satu per satu.

"Bisnis baru? Calon bini? Maksudnya apa, sih? Nathan buka bisnis baru? Kok nggak cerita sama aku, ya?"

Hatinya mulai bergetar. Kayla mencoba mengingat, apa Nathan pernah menyebut soal bisnis baru? Tentang rencana besar yang membuatnya terlihat setegang itu? Tapi seingatnya, tidak ada. Terakhir kali mereka bicara serius, Nathan hanya menyampaikan keinginannya untuk lebih baik, untuk tidak mengecewakannya lagi. Tapi tidak ada pembicaraan soal proyek baru, apalagi yang terdengar sebesar itu sampai membuat semua orang membicarakannya.

Kayla menelan ludah. Tenggorokannya kering. Rasanya seperti berdiri di ambang pintu sebuah ruangan yang baru saja dibuka, tapi di dalamnya hanya ada bayangan gelap dan suara-suara asing yang memanggilnya masuk. Ia ingin bertanya, tapi takut dengan jawaban yang mungkin datang.

"Kenapa Davin bisa tahu lebih dulu dibanding aku? Kenapa bukan aku yang diceritain?"

Ia mengetuk layar, membuka profil Davin, melihat beberapa unggahan terakhir. Tidak ada yang benar-benar menjawab, tapi semuanya menegaskan satu hal, Nathan sedang mengalami sesuatu yang besar. Dan ia tidak mengajak Kayla untuk menjadi bagian dari itu.

Kayla menaruh ponselnya di atas selimut, menatap langit-langit kamar untuk beberapa saat. Dada terasa sesak, tapi pikirannya terlalu penuh untuk menangis.

Akhirnya, ia ambil ponselnya lagi dan menekan ikon panggilan ke Nathan. Butuh beberapa detik sebelum nada sambung terdengar.

"Nath?" suaranya pelan.

"Iya, Sayang. Kamu belum tidur?" suara Nathan terdengar biasa saja, terlalu biasa.

"Belum. Kamu juga?"

"Baru masuk kamar. Ada kerjaan yang belum kelar," dustanya.

Kayla terdiam sebentar.

"Kamu sibuk banget, ya, belakangan ini?"

"Lumayan. Banyak yang harus diurus."

"Termasuk... bisnis baru itu?" suara Kayla terdengar datar.

Di seberang sana, Nathan memejamkan mata. Suara Kayla barusan seperti peluru yang dilepaskan tepat ke arah yang paling ia lindungi. Ia menarik napas panjang, berusaha menjaga nada bicaranya tetap stabil.

"Dari mana kamu tahu?"

"Davin," jawab Kayla tanpa ragu. "Aku lihat foto kalian yang diunggah Davin. Davin bilang kamu lagi fokus ngurus bisnis baru sama calon bini. Itu maksudnya apa?"

Nathan tertawa kecil... gugup, jelas terdengar dibuat-buat. "Davin suka bercanda, kamu juga tahu kan."

"Jadi itu cuma candaan?" Kayla balik bertanya, suaranya mulai meninggi sedikit, tapi masih ditahan. Ia ingin Nathan menjelaskan, bukan langsung membela diri.

Nathan menggigit bibir bawahnya. Ia berdiri dari kursi balkon, berjalan mondar-mandir sambil mencengkram ponselnya erat-erat. Langit malam yang tadi tenang, kini seperti menekan bahunya lebih berat dari sebelumnya.

"Ada beberapa hal yang lagi aku urus," jawabnya akhirnya. "Belum fix, belum waktunya dibicarain. Aku cuma nggak mau bikin kamu khawatir."

"Jadi kamu milih bikin aku bingung?" balas Kayla cepat. "Kamu tahu aku bukan tipe yang harus dikasih tahu semuanya. Tapi kalau itu penting, kalau itu sampai diomongin orang lain, kenapa bukan aku yang tahu lebih dulu?"

Nathan terdiam. Kalimat itu mengenai tepat di titik rapuhnya, rasa bersalah yang selama ini ia tekan dalam-dalam. Ia tahu Kayla tidak membesar-besarkan, ia hanya jujur. Dan kejujuran itulah yang membuat Nathan justru merasa semakin kecil.

"Aku cuma... belum siap ngomong soal itu," gumam Nathan akhirnya. "Bukan karena aku nggak mau, tapi karena aku takut."

"Takut apa?" suara Kayla melembut, tapi justru terdengar lebih tajam. "Takut aku marah? Takut aku kecewa? Atau takut aku pergi?"

Nathan memejamkan mata. Tiga ketakutan itu bukan tebakan. Itu fakta. Ia takut kehilangan Kayla sebelum sempat memperbaiki semua yang selama ini ia rusak. Tapi di saat yang sama, ia tak sanggup menghadapkan Kayla pada kenyataan yang belum ia pahami sepenuhnya.

"Aku nggak bisa jelasin sekarang, Sayang. Lagipula bisnis itu masih rencana. Kalau udah waktunya aku cerita, ya," katanya pelan.

Kayla terdiam. Di satu sisi ia ingin memaklumi, tapi di sisi lain, hatinya seperti baru saja dikunci dari luar. Ia tak diberi kunci cadangan, tak diberi lampu untuk menunggu. Hanya janji tanpa tanggal, dan kepercayaan yang mulai keropos.

"Baik. Aku tunggu," ucapnya akhirnya, lirih. "Tapi jangan salahkan aku kalau suatu hari nanti... aku berhenti nunggu."

Sambungan terputus tak lama setelah itu. Bukan karena emosi, bukan karena amarah. Tapi karena lelah. Kayla meletakkan ponsel di atas bantal, menatap langit-langit kamar yang tak lagi memberinya jawaban.

Di balkon, Nathan menatap rokoknya yang nyaris habis. Api kecil di ujungnya sudah tak mampu melawan dingin yang merayap dari dalam dirinya sendiri.

Dan malam itu, jarak di antara mereka terasa lebih nyata dari sebelumnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!