Di dunia ini, tidak semua kisah cinta berawal dari tatapan pertama yang membuat jantung berdegup kencang. Tidak semua pernikahan lahir dari janji manis yang diucapkan di bawah langit penuh bintang. Ada juga kisah yang dimulai dengan desahan kesal, tatapan sinis, dan sebuah keputusan keluarga yang tidak bisa ditolak.
Itulah yang sedang dialami Alira Putri Ramadhani , gadis berusia delapan belas tahun yang baru saja lulus SMA. Hidupnya selama ini penuh warna, penuh kehebohan, dan penuh canda. Ia dikenal sebagai gadis centil nan bar-bar di lingkungan sekolah maupun keluarganya. Mulutnya nyaris tidak bisa diam, selalu saja ada komentar kocak untuk setiap hal yang ia lihat.
Alira punya rambut hitam panjang bergelombang yang sering ia ikat asal-asalan, kulit putih bersih yang semakin menonjolkan pipinya yang chubby, serta mata bulat besar yang selalu berkilat seperti lampu neon kalau ia sedang punya ide konyol.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siti musleha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7 : CEO Dingin Mulai Merasa Panas
CEO Dingin Mulai Merasa Panas
Siang itu, suasana kantor Wijaya Group masih sama: sibuk, penuh orang berjas rapi, dan setiap karyawan berjalan cepat seakan waktu adalah uang.
Namun, ada satu hal yang berbeda hari itu.
Seorang gadis berusia 18 tahun dengan sandal rumah berbulu pink berjalan santai di koridor lantai eksekutif. Alira.
Dia mengintip ke setiap meja, melambaikan tangan ke siapa pun yang menatapnya, dan sesekali duduk di kursi kosong karyawan sambil bertanya hal-hal absurd.
“Eh, kamu lagi buka Excel? Itu kolom-kolomnya kayak main Tetris ya?”
“Mas, kerjaannya ngitung duit mulu? Capek nggak? Kalau aku sih lebih suka ngitung mantan, lebih gampang.”
Beberapa karyawan terpaksa menahan tawa, ada juga yang kebingungan bagaimana harus menanggapinya.
Sementara itu, Adrian sedang di ruangannya, menatap layar laptop dengan wajah dingin. Tapi telinganya entah kenapa terus menangkap suara Alira dari luar.
Kenapa dia tidak bisa duduk diam satu menit pun?
Di meja pantry kantor, beberapa karyawan pria mulai berani mendekat. Alira sedang sibuk menatap mesin kopi otomatis, wajahnya serius seperti sedang memecahkan kode rahasia.
“Kalau aku pencet yang ini… keluar cappuccino kan? Atau jangan-jangan sup jagung?” gumamnya.
Seorang pria muda berjas biru mendekat. “Mbak Alira, perlu saya bantu?”
Alira menoleh, tersenyum ceria. “Oh! Kamu baik banget. Iya, aku bingung cara pakainya. Takutnya nanti aku malah bikin mesin ini meledak.”
Pria itu terkekeh. “Tenang aja, ini gampang kok. Coba pilih menu di sini.”
Alira menatapnya lekat-lekat, lalu mengangguk dramatis. “Wah, kamu pahlawan kopi. Kalau nggak ada kamu, aku pasti jadi korban teknologi modern.”
Pria itu tersipu, merasa diperhatikan. “Hehe, nggak juga, Mbak. Ngomong-ngomong, Mbak Alira kerja di divisi mana ya? Baru pertama kali lihat.”
“Oh, aku…” Alira berbisik sambil menutup mulut dengan tangan, “aku istri bos kalian.”
Pria itu terdiam sejenak. “Eh… istri… Pak Adrian?”
Alira mengangguk dengan wajah polos. “Iya. Kenapa? Nggak kelihatan ya?”
Pria itu tersenyum canggung, baru hendak menjawab ketika suara berat terdengar dari belakang.
“Alira.”
Alira menoleh cepat. Adrian berdiri di sana, wajahnya setegang rapat dewan direksi.
“Mas! Nih aku belajar bikin kopi. Ternyata gampang.”
Adrian menatap pria berjas biru itu sebentar—tatapan dingin yang membuatnya langsung pamit dengan alasan mendadak ada pekerjaan mendesak.
Alira mengerutkan kening. “Eh, padahal aku baru mau nanya nama dia. Kenapa kabur ya?”
Adrian berjalan mendekat, menekan nada suaranya. “Alira. Jangan terlalu dekat dengan karyawan pria di sini.”
“Lho, kenapa? Kan cuma nanya kopi.”
“Mereka bukan temanmu.”
Alira mengangkat alis. “Cemburu ya?”
Adrian berhenti sejenak, menatapnya tajam. “Tidak. Aku hanya tidak ingin kamu membuat kekacauan.”
Alira terkekeh, menggoyangkan cangkir kopinya. “Iya, iya, Mas CEO dingin. Tapi jujur aja deh, mukamu barusan kayak singa siap menerkam.”
Adrian memilih berbalik pergi. Kenapa gadis itu selalu membuatku kehilangan kontrol?
Sore hari, Alira masih berkeliaran di kantor. Kali ini, ia duduk di meja resepsionis lantai bawah, sibuk memainkan telepon kantor.
“Halo? Ini resepsionis Wijaya Group. Apa? Kamu mau pinjem duit? Maaf, sini bukan koperasi, Mas,” katanya sambil pura-pura jadi operator.
Beberapa staf yang lewat hanya bisa menahan tawa.
Tak lama, seorang karyawan pria lain mendekat, kali ini dari divisi marketing. Dia membawa setumpuk brosur dan langsung menyapa ramah.
“Halo, Mbak. Dari tadi lihat Mbak jalan-jalan terus. Capek nggak? Mau saya temenin duduk di kafe dekat sini?”
Alira menoleh, matanya berbinar. “Waaah, serius? Gratis kan?”
Pria itu tertawa. “Iya, saya traktir.”
Baru saja Alira hendak mengangguk, suara sepatu kulit berderap cepat terdengar. Adrian muncul lagi, wajahnya jauh lebih dingin daripada AC kantor.
“Alira.”
Suasana seketika kaku.
Alira tersenyum canggung. “Eh, Mas. Aku cuma diajak minum kopi gratis.”
Adrian menatap pria itu dengan ekspresi tajam. “Kembali ke meja Anda.”
Pria marketing itu langsung menunduk dan pergi tanpa suara.
Alira menatap Adrian sambil menahan tawa. “Mas… kamu kayak satpam cemburuan, tau nggak?”
Adrian mendekat, suaranya menurun. “saya sudah bilang, jangan membuat masalah.”
“Tapi aku kan nggak bikin masalah. Aku cuma… punya magnet alami. Orang-orang tuh suka ngobrol sama aku. Beda sama kamu yang auranya kayak kulkas tiga pintu.”
Adrian menatapnya lama, seolah mencari jawaban. Namun akhirnya, ia hanya berkata singkat, “Ikut saya.”
Adrian menyeret Alira kembali ke ruang kerjanya. Gadis itu masih sibuk berceloteh sepanjang jalan.
“Mas, kamu sadar nggak? Setiap kali aku ngobrol sama cowok lain, kamu langsung muncul. Kayak punya radar anti-saingan gitu.”
Adrian tidak menjawab, hanya membuka pintu ruangannya dan mempersilakan Alira masuk.
Di dalam, suasana sunyi. Adrian berdiri di depan meja, menatap jendela tinggi.
“Mulai besok, kamu tidak boleh ikut ke kantor lagi,” ucapnya datar.
“Apa?!” Alira langsung melompat dari sofa. “Aku kan baru pemanasan bikin suasana kantor lebih hidup. Semua orang pasti seneng aku ada di sini.”
“Tidak ada yang senang. Kamu hanya mengganggu.”
Alira terdiam sebentar, lalu tersenyum nakal. “Atau… kamu takut aku kebanyakan bikin cowok lain suka sama aku?”
Adrian menoleh cepat, sorot matanya menusuk.
Beberapa detik hening.
Alira mendekat perlahan, menatap wajah Adrian dari dekat. “Hmm… wajahmu sekarang jelas-jelas bukan wajah CEO dingin. Lebih kayak cowok yang lagi kesel karena ceweknya digoda orang.”
Adrian menarik napas panjang, mencoba menahan diri. “Alira, jangan memutarbalikkan fakta.”
Alira tersenyum puas, lalu kembali duduk santai. “Tenang aja, Mas. Aku kan istrimu. Jadi walaupun ada cowok yang ngajak aku ngopi, ujung-ujungnya aku tetep pulang sama kamu.”
Adrian menatapnya lama, tidak tahu harus membalas apa. Untuk pertama kalinya, ia merasa posisinya sebagai pria yang selalu punya kontrol… benar-benar goyah.
Sementara itu, di luar ruangan, Clara sekretaris pribadi Adrian berdiri dengan wajah serius, melihat ke arah pintu yang tertutup. Ia mendengar sepotong percakapan tadi, dan ada sesuatu di matanya yang sulit ditebak.
Alira, di sisi lain, sudah kembali rebahan di sofa ruang kerja Adrian. Ia menatap langit-langit dengan senyum kecil.
Sedikit demi sedikit, aku tahu celahmu, Mas CEO dingin. Dan aku akan terus bikin kamu panas sampai kamu nggak bisa berpaling lagi.