Mengisahkan kehidupan seorang siswa laki-laki yang telah mengalami patah hati setelah sekian lamanya mengejar cinta pertamanya. Namun, setelah dia berhenti ada begitu banyak kejadian yang membuatnya terlibat dengan gadis-gadis lain. Apakah dia akan kembali ke cinta pertamanya, atau akankah gadis lain berhasil merebut hatinya?
Ini adalah kisah yang dimulai setelah merasakan patah hati 💔
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Katsumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Badai
Malam itu, suara hujan dan gelegar petir terus menggema dari luar, membalut suasana dengan dingin dan rasa tak nyaman. Gelapnya malam kini semakin pekat setelah listrik tiba-tiba padam, membuat rumah Ferdi tenggelam dalam kegelapan total.
Ferdi terdiam kaku, tubuhnya terasa tegang karena posisi yang... cukup canggung. Gadis yang baru dikenalnya malam ini, Lisa, sedang memeluk erat dirinya. Tanpa jeda. Tanpa ragu. Tapi penuh ketakutan.
Duh... pake acara mati lampu segala lagi... batinnya menggerutu, berusaha mengatur napas agar tetap terlihat tenang.
Ia melirik ke arah Lisa, meski dalam kegelapan, ia masih bisa samar-samar melihat ekspresi gadis itu. Lisa menunduk, tubuhnya gemetar, dan tidak menunjukkan tanda-tanda ingin melepas pelukannya.
"Lisa..." Ferdi membuka suara, lembut, "aku cari lilin dulu, ya. Biar terang."
"A-aku ikut..." sahut Lisa pelan, suaranya terdengar gemetar, entah karena takut, dingin, atau... malu. Tapi ada nada manja di dalamnya, membuat Ferdi makin salah tingkah.
"Iya, iya... tapi lepasin dulu bentar. Aku nggak bisa berdiri kalau dipeluk terus begini," ucap Ferdi sambil menahan senyum kecil, meski wajahnya sudah memanas sendiri.
Lisa mengangguk pelan, akhirnya melepas pelukan, tapi langsung menggenggam erat sisi baju Ferdi. Seolah dia tak ingin ditinggal walau cuma selangkah.
Dengan tangan satunya, Ferdi mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menyalakan senter. Cahaya putih kecil dari layar ponsel menembus sedikit kegelapan. Mereka berjalan pelan menuju meja kecil dekat ruang tengah. Ferdi membuka salah satu laci dan mulai mengobrak-abrik isinya.
"Ah, ini dia," gumamnya, menemukan lilin yang masih terbungkus plastik, lengkap dengan korek api kecil di sebelahnya.
Ia segera menyalakan korek, dan ssst! Cahaya api kecil langsung menyambar sumbu lilin. Seketika, cahaya hangat dan lembut mulai mengisi ruangan, menggantikan kegelapan yang tadi mendominasi.
Ferdi memutar tubuhnya, hendak kembali ke ruang tengah, namun langkahnya terhenti.
Dia menatap Lisa.
Cahaya lilin itu menyinari wajah gadis itu dengan lembut. Matanya sedikit sembab. Pipinya basah. Napasnya masih sedikit memburu. Wajah yang biasanya dingin, kini tampak rapuh dan jujur. Tanpa topeng, tanpa pertahanan.
"Kamu habis nangis?" tanya Ferdi pelan, setengah khawatir.
Lisa tidak menjawab. Ia hanya menunduk... dan menggenggam ujung bajunya sendiri.
Suasana kembali hening, hanya suara hujan yang terdengar samar dari luar jendela. Tapi tidak ada lagi rasa canggung seperti tadi, hanya dua orang yang sedang berdiri dalam sunyi, saling memahami tanpa banyak bicara.
"Kita kembali ke sofa, ya?" akhirnya Ferdi bersuara, mencoba mencairkan suasana.
Lisa hanya mengangguk pelan, tanpa kata. Langkah kakinya mengikuti Ferdi dari belakang, sementara tangannya masih menggenggam ujung baju Ferdi, seolah tak ingin terlepas walau sedetik.
Setibanya di ruang tamu, Ferdi meletakkan lilin di atas meja. Cahaya lembut dari api kecil itu memantul di permukaan kaca jendela dan menerangi ruang tamu yang sebelumnya dikuasai oleh kegelapan.
Ia duduk di sofa, lalu menoleh ke samping, melihat Lisa ikut duduk pelan di sebelahnya. Masih diam, tapi jaraknya begitu dekat.
Sunyi. Yang terdengar hanyalah suara hujan yang terus mengetuk atap dan sesekali kilat menyambar disertai petir di kejauhan. Udara makin dingin, membuat suasana makin membeku... dan canggung.
"Emm... aku ambil selimut di kamar dulu ya..." ucap Ferdi, tangannya menunjuk ke arah pintu kamarnya yang tertutup rapat.
Lisa menatapnya, matanya masih tampak basah, memancarkan ketakutan dan... keraguan. Ia tak mengatakan apa-apa, namun sorot itu seperti berkata, "Jangan tinggalin aku sendirian."
Ferdi mendesah pendek, setengah pasrah, setengah peduli.
"Iya, iya... aku gak bakal lama kok."
Tanpa banyak kata lagi, Ferdi segera bangkit dari sofa dan bergegas ke kamarnya. Senter ponselnya menjadi satu-satunya penuntun dalam gelap. Ia membuka lemarinya, menarik satu selimut yang paling hangat, lalu cepat-cepat kembali ke ruang tamu.
Begitu kembali, Ferdi terdiam sejenak.
Lisa duduk memeluk lututnya, wajahnya terkubur di antara lengannya. Bahunya sedikit gemetar. Entah karena dingin... atau karena masih merasa takut.
Dengan hati-hati, Ferdi mendekat dan menyelimuti Lisa dengan lembut.
"Pasti dingin, kan?" ucapnya, setenang mungkin.
Lisa mengangkat sedikit wajahnya dan menatap Ferdi dari balik selimut, lalu mengangguk pelan.
"Makasih..." ucapnya lirih, nyaris seperti bisikan.
Ferdi duduk kembali di sampingnya. Jarak mereka masih dekat, bahkan mungkin lebih dekat dari sebelumnya. Ia mencoba untuk tetap tenang, walaupun dadanya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.
Dan malam pun terus berjalan… di tengah cahaya lilin, suara hujan, dan dua orang yang tak lagi sepenuhnya asing.
Ferdi mencoba mencairkan suasana.
"Kamu tadi abis kerja kelompok, ya? Sampe malem gitu."
Lisa, yang kini sudah sedikit tenang dalam balutan selimut, mengangguk pelan. "Iya... tapi mereka ninggalin aku duluan. Katanya buru-buru pulang." Nada suaranya masih lemah. Ada ketulusan, mungkin juga rasa lelah.
"Duh, tega amat temen-temenmu," ucap Ferdi sambil menyandarkan punggung ke sofa. "Untung kamu ketemu aku, ya. Kalo enggak... bisa-bisa kamu kehujanan di minimarket sampe pagi," tambahnya dengan nada bercanda.
Lisa hanya menoleh sekilas, lalu menatap lilin yang masih menyala di atas meja.
"Aku kira kamu orang yang nyebelin waktu pertama liat."
"Heh? Serius?" Ferdi melirik heran.
"Soalnya kamu ngeliatin aku terus," sahut Lisa pelan, tapi ada nada menggoda.
Ferdi terkekeh. "Yah maaf... waktu itu aku cuma heran, kok ada cewek sendirian pake seragam sekolah jam segitu." Ia tersenyum, tapi tak berani menatap Lisa terlalu lama.
Lisa juga tersenyum kecil. Tapi sebelum ia sempat membalas, suara petir yang menggelegar tiba-tiba menghantam langit dengan keras dan dalam, seperti mengguncang jantung siapa pun yang mendengarnya.
JEDARRR!!!
Lisa spontan terlonjak kaget dan langsung memeluk Ferdi erat-erat, wajahnya terkubur di dada Ferdi. Nafasnya memburu, tubuhnya sedikit gemetar.
Ferdi membeku.
Dalam gelap dan kehangatan selimut, ia bisa merasakan detak jantungnya sendiri berdetak keras dan cepat. Tapi ia tidak berani bergerak. Perlahan, ia hanya mengangkat tangan dan mengusap lembut kepala Lisa.
"Tenang... itu cuma suara petir kok," ucapnya pelan, lembut, nyaris seperti bisikan.
Tangannya terus mengusap pelan rambut Lisa yang masih terikat kuncir kuda. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Yang bisa ia lakukan hanyalah memberi rasa aman.
Lisa tidak menjawab. Ia hanya diam, namun pelukannya tetap erat. Bahunya masih sedikit bergetar, tapi semakin lama... tubuhnya mulai rileks.
Entah karena usapan lembut di kepalanya, atau karena kehangatan dari selimut dan dada Ferdi, pelan-pelan nafas Lisa melambat.
Lalu, tanpa disadari, ia tertidur...
Masih memeluk Ferdi dengan erat.
Ferdi menunduk sedikit, melihat wajah Lisa yang tertidur di pelukannya.
"Capek banget, ya..." bisiknya lirih, sebelum kembali bersandar dan membiarkan malam berlalu dengan tenang.
Cahaya lilin masih menyala, dan di tengah gemuruh hujan, dua orang yang baru saling kenal... saling memberi rasa aman.
kayaknya bertambah saingannya