Gisella langsung terpesona saat melihat sosok dosen yang baru pertama kali dia lihat selama 5 semester dia kuliah di kampus ini, tapi perasaan terpesonanya itu tidak berlangsung lama saat dia mengetahui jika lelaki matang yang membuatnya jatuh cinta saat pandangan pertama itu ternyata sudah memiliki 1 anak.
Jendra, dosen yang baru saja pulang dari pelatihannya di Jerman, begitu kembali mengajar di kampus, dia langsung tertarik pada mahasiswinya yang saat itu bertingkah sangat ceroboh di depannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sansus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Dengan terburu-buru Gisella melepas helmnya seraya turun dari motor, lalu berlari menuju gedung D. Kenapa dia harus berlari? Tentu saja karena dia sudah terlambat.
Padahal mata kuliah pertamanya hari ini dimulai jam 10, tapi entah kenapa bisa-bisanya dia terlambat seperti ini. Ditambah dosen yang hari ini mengajar adalah Pak Arya, bisa gawat.
“Sialan, udah ada Pak Arya-nya di dalem.” Napas Gisella memburu karena dia terus berlari dan menaiki tangga sampai ke lantai 4 dimana ruangan kelasnya berada.
Bisa Gisella lihat Pak Arya yang sudah duduk di kursi dosen yang ada di depan, dia juga bisa melihat yang dilakukan oleh dosennya itu saat ini yaitu sedang mentandatangani DHK mahasiswa.
Melihat Pak Arya yang sedang sibuk, Gisella memanfaatkan kesempatan itu untuk menyusup ke dalam kelas. Kursi bagian belakang sudah terisi semua, dengan terpaksa dia duduk di bagian depan. Gisella bertingkah seperti sedang tidak terjadi apa-apa dan meminta mahasiswa lain untuk menutup mulut.
“Jadi di kelas ini beIum ada ketua atau penanggung jawab keIas?” Tanya Pak Arya seraya mendongakan kepalanya menatap mahasiswa yang ada di ruangan itu.
Sedangkan Gisella, dia memilih untuk menyibukan diri dengan DHK miliknya seraya menundukan kepala, lalu tanda tangan di DHK miliknya.
“Kamu,”
Mendengar hal itu, Gisella mengangkat kepalanya yang tadi tertunduk. Bertepatan dengan itu, Pak Arya sedang melihat ke arahnya.
“I—iya, Pak?” Gisella sebenarnya tidak yakin jika ‘kamu’ yang dimaksud adalah dirinya, tapi karena Pak Arya terus menatapnya, dia memberanikan diri untuk membuka suara.
“Kamu jadi PJ mata kuliah saya.”
“Hah?—eh, saya Pak?” Gisella cukup terkejut mendengar ucapan dosennya barusan.
“Iya, kenapa? Kamu tidak sanggup? Kalo gitu DHK kamu tidak akan saya terima karena sudah terlambat 15 menit.”
Gisella lantas memaksakan senyum di wajahnya, lalu menganggukan kepalanya. “Saya sanggup kok, Pak.”
“Bagus, kalo gitu mana sini DHK kamu?”
Sialan! Sialan! Sialan! Pak Arya sama Pak Jendra nggak ada bedanya, sama-sama bikin Gisella kerepotan!
Gisella beranjak dari tempat duduknya, berjalan ke arah Pak Arya untuk menyerahkan DHK miliknya. Saat dirinya membalikan badan untuk kembali ke kursinya, Gisella dapat melihat teman-temannya yang duduk di kursi belakang sedang menahan tawa seraya menatap meledek ke arahnya, sialan memang!
Diam-diam Gisella mengacungkan jari tengahnya untuk teman-teman sialannya yang ada di belakang sebelum dia kembali duduk di kursinya.
“Karena hari ini pertemuan pertama kita di semester 5, jadi saya tidak akan langsung memberikan materi.” Ucap Pak Arya seraya membereskan DHK yang sudah dia tanda tangani.
Bisa dilihat senyum sumringah terbit di wajah mahasiswa yang ada disana, tapi senyuman itu tidak bertahan lama saat Pak Arya kembali berbicara.
“Tapi saya minta Gisella untuk pergi ke perpustakaan mencari buku yang menjadi bahan ajaran saya, jika buku itu ada di perpustakaan kampus, kalian bisa meminjamnya disana. Tapi kalau tidak ada, maka kalian wajib membelinya.”
“Kalau memang kalian tidak mampu untuk membeli, coba kalian cari saja di internet, biasanya ada softfile dalam bentuk pdf.” Pak Arya berdiri dari tempat duduknya, lalu memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Itupun kalau ketemu, tapi saya sempet cari sih nggak ada.”
Oh sialan! Tidak mampu untuk membeli katanya? Secara tidak langsung Pak Arya mengatakan kalau mahasiswanya tidak memiliki uang. Ck, kacau.
“Tidak ada yang keberatan, kan?” Pertanyaan dari Pak Arya itu dibalas dengan gelengan kepala oleh mahasiswa yang ada di sana.
“Bagaimanapun buku ini penting untuk kaIian peIajari, lagipula manfaatnya akan kalian sendiri yang merasakan. Lalu, Gisella, kamu bagaimana? Keberatan tidak saya suruh ke perpustakaan?” Pak Arya bertanya seraya menatap ke arah Gisella.
Kalau saja Gisella boleh menjawab jujur, dia akan mengatakan kalau dirinya keberatan, tapi hal itu tentu saja tidak mungkin. “Nggak kok Pak, saya nggak keberatan.”
“Bagus kalo gitu.”
Bagus pala lo dua! Gisella hanya berani mengatakan hal itu di dalam hati.
“Kalau begitu saya pergi dulu.” Ucap Pak Arya seraya menatap ke arah seluruh murid yang ada disana, lalu kembali menatap ke arah Gisella. “Nanti akan saya kirimkan cover bukunya ke nomor kamu, Gisella.” Ucapnya.
“Baik, Pak.”
Gisella ingin sekali berteriak sekencang mungkin saat Pak Arya hendak keluar dari dalam kelas, tapi tidak jadi saat dosennya itu berhenti di depan pintu.
“Oh iya,” Pak Arya menjeda sebentar ucapannya. “Untuk mahasiswa yang duduk paling depan akan mendapatkan nilai lebih dari saya dan hari ini Gisella yang mendapatkan itu.”
Setelah mengucapkan hal itu, Pak Arya langsung keluar dari dalam kelas. Begitu dosennya keluar dari sana, keributan langsung terjadi di dalam kelas. Gisella tidak mempedulikan hal itu, dia memilih untuk menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan di atas meja.
Padahal baru masuk semester 5, tapi nasib Gisella sudah seperti ini, apalagi dia ditunjuk menjadi PJ 2 mata kuliah. Ya mungkin kalau dosennya baik, ramah dan berakhlak baik Gisella tidak akan masalah, tapi ini bentukannya malah kayak Pak Arya dan Pak Jendra.
“Semangka alias semangat kakak Sella! Hehhe… kagak deh, tetap bersedih dan jangan semangat.”
Suara keras Dika di kursi belakang seperti akan membuat telinga Gisella pecah. “Sialan lo, Dika!”
“Keknya semester ini Gisella jadi anak emas dosen.” Bintang ikut menyahut.
“Muka lo anak emas, jadi babu yang ada.” Balas Gisella karena merasa tidak setuju dengan ucapan Bintang.
Teman-temannya itu malah semakin tertawa dan meledeki dirinya, membuat Gisella semakin merasa kesal.
“Tapi lumayan loh Sell, lo udah dapet niIai tambahan dari Pak Arya.” Ucap Yogi seraya duduk di kursi kosonng sebelah Gisella.
“Itu juga karena gua duduk di depan, sialan!” Perempuan itu mengumpat. “Kalo aja kagak telat, gua mendingan duduk paling belakang.” Lanjutnya.
“Pak Arya emang gitu anjir orangnya, itu mah modus dia biar anak-anak cewek cantik pada duduk paling depan.” Ucap Leon yang sepertinya memiliki dendam pada dosennya tadi.
“Kalo kita duduk paling depan nanti pas ada kelas dia lagi, kita bisa dibilang cantik dong walaupun berbatang?” Pertanyaan tidak berfaedah ini datang dari Juna.
“Anjir berbatang kagak tuh?” Tara langsung tertawa mendengar ucapan Juna.
“Emangnya lo semua kagak punya batang?” Juna bertanya pada teman-temannya, kecuali Gisella tentunya.
Tangan Dika melayang untuk menggeplak bagian belakang kepala Juna. “Udahlah gausah dilanjutin omongan gak berguna lo itu.”
“Mending kita ke kanting aja.” Leon memberikan usulan. “Ke Mak Bet yuk.”
Mendengar hal itu, Gisella dengan cepat menggelengkan kepalanya. “Nggak mau, males gua kaIo ke sana, ke kantin umum aja.”
Walaupun Mak Bet juga sama-sama kantin, tapi Gisella malas kalau harus makan atau nongkrong disana, padahal kantin tersebut terletak di Fisip alias fakultasnya sendiri.
Bukan tanpa alasan Gisella malas pergi ke sana, itu karena disana menjadi tempat nongkrong senior-senior kampus, biasanya juga ada alumni yang nongkrong di sana dan kebanyakan penghuninya adalah laki-laki.
“Ya elah Sell, santai aja sih. Kagak bakalan ada kating yang nyulik lo ini.” Ucap Yogi.
Ya memang harusnya Gisella bisa santai saja, apalagi Yogi memang sering nongkrong di sana. Tapi Gisella teringat pada ucapan Yogi jika lelaki itu memiliki banyak musuh di kampus seperti Dika, bisa dipastikan akan ada kating yang juga tidak akan suka pada Yogi saat mereka nongkrong di Mak Bet nanti.
Jika kalian tidak tahu, Mak Bet itu nama orang yang menjaga kantin, karena namanya Beti, jadi penghuni kampus menyebutnya dengan Mak Bet.
“KaIo di kantin umum nggak bebas nyebar gua, suka banyak cewek-cewek yang sinis.” Yogi kembali berucap.
Gisella memasang ekspresi cemberut saat mendengar hal itu. “Tapi gua nanti harus ke perpustakaan.”
“Ya nanti abis dari Mak Bet lo baru pergi ke perpus, Gisella. Nah lagian nanti jam 1 masih ada mata kuliah lagi tuh.” Ucap Leon.
Dika yang mendengar ucapan Leon sontak terkejut. “Woi anjir! Mata kuliah siapa?!”
“OPMP.” Kali ini Malik yang menjawab.
“Apaan tuh?” Dika kembali bertanya.
“Ya Organisasi Pemberdayaan Masyarakat dan Politik, Pak Dion yang ngajar.” Jawab Malik.
Terlihat Dika dan Tara yang sama-sama menepuk keningnya saat mendengar jawaban dari Malik.
Gisella yang melihat kedua temannya itu menatap dengan heran. “Lo berdua kenapa?”
“Gua gak bawa DHK lebih.” Balas Tara.
“Gua juga sama.” Sahut Dika.
Pantas saja mereka berdua seperti itu, karena memang yang menjadi hal utama saat kelas Pak Dion adalah DHK. Kalau sampai melupakan hal itu, maka resikonya absen akan kosong selama 2 pertemuan.
“Ya elah, tinggal beli lagi di fotokopian kampus. Ini jadi ke Mak Bet kagak?” Tanya Bintang.
“Jadi.”
“Nggak.”
Jawaban berbeda itu terdengar disana, tentu saja yang mengatakan ‘nggak’ adalah Gisella.
“KaIian aja deh yang kesana, gua mau langsung ke perpus.” Ucap Gisella.
“Huu kagak seru lo, dibilang santai aja. Lagian udah semester 5 masih aja lo takut sama kating.” Balas Dika dengan santai.
“Tuh mulut gampang banget kalo ngomong.”
“Bener kata Dika, Sell. Lagipula kita masih sama-sama manusia, itu kating-kating juga makannya masih pake nasi. Lagian kating lagi pada sibuk nyiapin KKN buat bulan depan, disana ramenya paling nanti agak sorean.” Malik menyetujui ucapan Dika.
Mendengar ucapan Malik, akhirnya Gisella menganggukan kepalanya setuju. “Ya udah deh, ayo!”
“Yeee si monyet langsung nurut aja lo kalo Malik yang ngajak.” Celetuk Juna.
“Ya abisnya cuma omongan Malik doang yang enak didenger dan bisa gua percaya.”
Balas Gisella barusan menimbulkan berbagai sumpah serapah dari teman-temannya yang ada di sana, tapi Gisella tetap bersikap tidak peduli.
“Udahlah ayo gas!” Ajak Leon.
Leon dan Tara berjalan paling depan menuju kantin Mak Bet yang letaknya berada di sebelah timur gedung Fisip, lebih tepatnya kantin itu berada di pinggir jalan yang menjadi pembatas antara gedung Fisip dan FH.
“Lo tadi kenapa bisa telat, Sell?” Malik melontarkan pertanyaannya saat dia dan juga Gisella sedang berjalan beriringan di paling belakang.
“KeIamaan makan gua.” Jawab Gisella.
Mendengar jawaban dari Gisella, Malik lantas tertawa. “Aneh banget lo.”
“Beneran Lik, padahal gua udah bangun pagi sekitar jam 7-an. Ya walaupun itu karena dibangunin sama Maudy soalnya dia ada kelas pagi, nah terus gua lanjut rebahan sambil scroll tiktok sampe gak sadar kalo udah jam setengah 9. Terus abis mandi gua langsung sarapan bubur yang dibeliin sama Maudy.” Gisella menceritakan soal tadi pagi.
“Kelas pagi tapi dia masih sempet beliin bubur buat lo?”
Gisella menganggukan kepalanya. “Iya, idaman banget kan Maudy tuh? Makanya gua bilang lo pacaran aja sama dia, Lik.”
Malik berdecak pelan. “Ck, gak usah ngalihin pembicaraan kemana-mana, lanjut aja ceritanya.”
“Heum, terus abis sarapan gua duduk bentar di ruang tengah—“
“Lanjut scroll tiktok?” Tebak Malik.
Mendengar Malik yang menebaknya dengan benar, Gisella memasang senyum tidak bersalah di wajahnya. “Iya, gua nggak sadar kalo ternyata udah jam 09.30”
“Kan masih ada 30 menitan, kok bisa telat?” Malik kembali bertanya, karena dia tahu kalau jarak dari rumah Maudy sampai ke kampus tidak menghabiskan waktu selama itu.
“Iya sih, tapi sebenernya gua bisa aja gak telat cuma—“
“Cuma?” Malik menyela kalimat Gisella.
“Gua tadi nyetrika kemeja gua dulu, hehe…” Gisella menampilkan cengiran tidak bersalah di wajahnya.
“Terus lo semalem ngapain aja, Gisella?”
“Semalem gua maraton drakor.” Jawabnya dengan santai.
“Ck,” lelaki itu berdecak pelan, tidak habis pikir dengan perempuan yang ada di sebelahnya. “Lain kali lo siapin dulu keperluan kampus, baru bisa nonton drakor.”
“Iya-iya, bawel banget sih Lik, kayak Mamah gua aja.”
“Ini semua demi kebaikan lo, Sel—“
“Iya Malik-ku sayang, iya demi kebaikan gua.” Gisella segera menyelanya.
Akhirnya Malik terdiam juga setelah Gisella mengatakan hal itu. Tidak terasa langkah mereka sudah sampai di kantin Mak Bet yang keadaannya cukup sepi, Gisella bisa menghela napas lega saat melihatnya.
Mereka memilih untuk duduk di tempat lesehan yang berada paling ujung di kantin itu, lalu Gisella sengaja duduk di tempat paling pojok, ada Yogi di sebelahnya dan ada Malik yang duduk di depannya.
“Lo bawa powerbank gak, Sell?” Tanya Juna.
Gisella memberikan tas miliknya pada Juna. “Cek sendiri aja.” Setelah mengucapkan hal itu, Gisella langsung menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan di atas meja.
“Lo mau pesen apa, Sell?” Tanya Leon.
Gisella mengangkat wajahnya ketika merasakan colekan tangan di bahunya, yang ternyata ulah Yogi. Saat ini sudah ada perempuan yang Gisella kira-kira seumuran dengannya berdiri di dekat meja mereka, sepertinya itu anak Mak Bet.
“Apa aja deh, gua nggak laper.” Ucap Gisella.
“Kopi susu mau nggak?” Leon kembali bertanya.
“Gisella kan nggak suka kopi.” Kini Malik bersuara.
Mendengar hal itu, Gisella menatap ke arah Malik yang ada di depannya. “Kata siapa?”
“Bukannya lo emang nggak suka kopi?” Bukannya menjawab, Malik malah balik bertanya.
“Gisella cuma nggak suka kopi item, kalo kopi susu dia masih suka.” Balas Leon. “Dia suka kopi asalkan ada tambahannya, asal bukan kopi doang.” Lanjutnya.
Gisella lantas mengacungkan jempolnya untuk Leon. “Bener Yon, emang lo doang teman paling peka dan paIing mengerti.”
“Iya, soalnya selain Leon, nggak ada lagi yang anggap lo sebagai temen, Sell.” Ujar Dika yang menyulut rasa kesal Gisella.
“Sialan lo!” Balas Gisella seraya mengacungkan jari tengah ke arah Dika.
“Iya makasih, gua emang ganteng.” Dika menanggapinya dengan kepercayaan diri yang tinggi.
“Udah stop jangan ribut terus, ini mbaknya udah nungguin.” Juna berusaha untuk menghentikan adu mulut antara Gisella dan Dika yang terlihat keduanya tidak ingin mengalah, jika diteruskan bisa-bisa tidak akan selesai sampai kelas Pak Dion nanti dimulai.
Pada akhirnya mereka segera memesam minuman dan makanan. Ada yang memesan 5 mie rebus dengan tambahan telur, 3 kopi susu, 5 es teh dan 2 bungkus rokok yang dipesan oleh Yogi dan Tara.
“Tapi ini mienya nunggu agak lamaan nggak apa-apa?” Tanya perempuan yang merupakan anak Mak Bet. “Soalnya Ibu masakin mie punya dosen-dosen yang di sana dulu.” Ucapnya seraya menunjuk ke arah meja yang ada di pojok sebelah kanan.
“Gak apa-apa Mbak santai aja, yang penting kopinya dulu aja.” Balas Leon.
“Sip, ditunggu ya.” Ucap perempuan tadi sebelum pergi dari sana.
“Anjir baru tau gua kalo dosen-dosen juga pada nongkrong disini.” Ucap Gisella setengah berbisik pada Yogi yang ada di sebelahnya tapi masih bisa didengar oleh teman-temannya yang lain.
Hal itu membuat mereka ikut menoleh ke arah meja yang tadi ditunjuk oleh anak Mak Bet.
“Wah buset, Pak Arya ngudud.” Tara mengatakan hal itu seraya tertawa pelan.
Memang benar di sana ada Pak Arya dan keempat temannya yang merupakan dosen Fisip juga yaitu jajaran dosen kiIIer yang nyerempet ngeselin menurut Gisella. Di sana ada Pak Arya, Pak Jendra, Pak Dion, Pak Jeffry dan Pak Johan.
“Makanya lo sekali-kali nongkrong disini, Sell. KaIo lagi ada dosen kayak sekarang ini, kating kagak bakal berani macem-macem sama adek tingkat.” Ucap Bintang.
“Lo juga nggak usah heran kalo ngeliat Pak Arya ngerokok, emang udah biasa. Pak Jeffry sama Pak Johan juga suka ngerokok di sini, cuma Pak Jendra sama Pak Dion doang yang kagak.” Lanjutnya.
“Di sini juga ada amer, ada yang mau kagak?” Tanya Yogi. Memang teman Gisella yang satu ini seperti tidak ada takut-takutnya.
“BoIeh deh Goy, udah lama gak minum gua.” Balas Dika.
“AmbiIin dong Tar, noh di rak deket meja yang lagi ditempatin dosen.” Yogi menyuruh Tara untuk mengambil 1 botoI amer karena hanya dia dan Dika yang akan meminumnya.
“Ogah, mager gua.” Tolak Tara.
“Ck, udahlah biar gua aja yang ambil.” Sahut Bintang seraya beranjak dari sana.
“KaIian nggak takut minum gituan?” Gisella bertanya pada Yogi dan Dika. “Abis ini kan kita masih ada kelasnya Pak Dion, mana Pak Dion-nya lagi ada di sini.” Lanjutnya.
“Santai aja, Sell.” Balas Dika dengan santai.
Pada akhirnya Gisella dan teman-temannya yang lain hanya memperhatikan Bintang yang sedang mengambil 1 botoI amer di rak yang ada di sebelah meja yang sedang dosen-dosen tadi tempati.
Bintang yang sedang mengambilnya, malah Gisella yang deg-degan di tempatnya, apalagi saat dia mendengar Pak Jendra yang menegur Bintang.
“Siapa yang mau minum?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh Pak Jendra.
Dengan santainya Bintang menunjuk ke arah meja yang sedang Gisella dan teman-temannya tempati, membuat keIima dosen yang ada di sana menoleh secara bersamaan ke arah mereka.
“KembaIikan ke tempatnya, tidak ada yang mengizinkan kaIian minum-minum di area kampus.” Titah Pak Jendra.
“Terus kaIo gak diizinin, ngapain dijual disini Pak?” Pertanyaan dari Bintang memang ada benarnya juga.
“Kan masih ada minuman Iain, kaIian bisa mabok kaIo minum minuman kayak gitu.” Pak Dion ikut bersuara. “ApaIagi kaIo masih ada keIas Iain seteIah ini.” Lanjutnya.
“KaIian masih ada keIas?” Pak Jendra bertanya.
“Masih ada Pak, keIasnya Pak Dion.” Bintang nih bisa-bisanya ngejawab kayak gitu.
Mendengar jawaban dari mahasiswanya, Pak Dion langsung berekspresi datar. “Terus ngapain kalian malah minum? Simpan lagi minumannya, saya nggak mau kaIian mabok pas saya ngajar. Nanti saya tanya apa, kalian malah jawab apa.”
Bintang tidak langsung melakukan hal itu, yang dia lakukan malah menoleh ke arah meja yang sedang ditempati oleh Gisella dan teman-temannya yang lain untuk meminta pendapat.
“1 botoI doang nggak bakaIan bikin mabok kali, Pak.” Ucap Yogi.
“Ck, modeIan brandaIan kayak kamu gini ikut-ikutan nyahut aja.” Balas Pak Dion. “Kamu mahasiswa bimbingan saya, kan?” Lanjutnya.
Yogi baru teringat jika Pak Dion adalah dosen PA-nya yang baru, bisa-bisa dia diceramahi saat konsultasi nanti. Gisella yang melihatnya saja sudah deg-degan, apalagi dengan Yogi.
“Benar Pak, saya Yogi yang minggu lalu konsul ke Bapak.”
“Ck, bocah badung.” Balas Pak Dion.
Terlihat Pak Arya yang membuat pentung rokoknya pada asbak sebelum dia ikut berbicara. “Jangan minum-minum sekarang, nanti malam aja biar saya yang traktir.” Ucapnya.
“Beneran nih, Pak?” Bintang bertanya karena tidak sepenuhnya percaya dengan apa yang diucapkan oleh Pak Arya.
Pak Arya menganggukan kepalanya. “Nanti malam kita nongkrong di gedung lKA.”
Gedung lKA biasanya digunakan untuk kumpul para alumni atau mahasiswa yang masih mengabdi di kampus ini. Sebutan kerennya sih begitu, padahaI sebenarnya dipakai untuk nyebat, minum-minum dan nongkrong sampe subuh.
“Bener, saya juga nanti ikut nongkrong, mau cerita tentang masa-masa saya kuliah dulu.” Sudah bisa ditebak jika ini adalah suara Pak Jeffry. “Saya dengar tahun ini angkatan kaIian ada agenda pemilihin ketua angkatan?”
Bintang lantas menganggukan kepalanya untuk menanggapi pertanyaan dari Pak Jeffry.
“Bagus kalo gitu nanti sekalian saya kasih wejangan.”
“Bebas nih Pak nanti malem?” Kali ini Leon yang bertanya.
“Bebas, asal jangan bawa pacar aja.”
“KaIo pacarnya seangkatan gimana, Pak?”
Teman-teman Gisella termasuk dirinya sendiri kompak menoleh ke arah Malik, karena tidak seperti biasa, Malik biasanya tidak berminat untuk ikut kegiatan nongkrong-nongkrong begini, apalagi nanti akan ada minuman beralkohol.
“Ya terserah kalian aja lah.” Balas Pak Johan.
“Ini jadinya kita nggak dibolehin buat minum sekarang nih, Pak?” Bintang bertanya seraya mengangkat 1 botoI amer di tangannya.
“Kan tadi udah saya bilang nanti malam aja.” Balas Pak Arya.
“Oh iya juga, ya udah deh.”
Setelah mengatakan hal itu, Bintang kembali meletakan sebotol minuman beralkohol yang dia ambil tadi, lalu setelah itu dia kembali bergabung dengan teman-temannya.
“Minum kopi susu dulu aja dah Dik.” Ucap Yogi pada Dika.
“Gua udah terlanjur pesen es teh anjir.”
“Ya itu sih derita lo.”
Dika memilih untuk tidak menyahuti ucapan Yogi lagi.
“Gisella.”
Perempuan itu langsung menolehkan kepalanya ketika mendengar namanya dipanggil oleh Pak Arya. “Iya, Pak?” Tidak lupa Gisella menyertakan senyum ramah di wajahnya.
“Saya mau minta nomor kamu.”
Mendengar hal itu membuat Malik menatap ke arah Gisella, Gisella juga melakukan hal yang sama, dia menatap sebentar ke arah Malik sebelum kemudian menganggukan kepalanya. “O—oh iya boleh, Pak.”
Baru saja Gisella akan beranjak dari tempat duduknya untuk berjalan ke arah meja yang sedang ditempati oleh Pak Arya, tapi niatnya itu sudah lebih dulu ditahan oleh dosennya itu.
“Disitu aja, biar saya yang ke sana.” Ucap Pak Arya seraya melangkah ke arah meja Gisella.
“Gak apa—“
“Gua ada nomornya.” Suara milik Pak Jendra sudah lebih dulu menyela ucapan Gisella, begitu juga dengan langkah Pak Arya. Pak Jendra mengeluarkan ponsel miliknya, lalu menyerahkannya pada Pak Arya. “Lo cari aja sendiri.”
“BiIang daritadi kek, Jen.” Ucap Pak Arya, lalu dia menoIeh ke arah Gisella. “Nggak jadi Gisella, saya minta nomor kamu sama Pak Jendra aja. Nanti saya kirim cover bukunya ke nomor kamu.”
“Baik, Pak.”
Setelah mengucapkan hal itu, Gisella langsung menoleh ke arah Yogi yang ada di sebelahnya. “Perasaan gua gak seterkenal itu, tapi kenapa Pak Arya bisa tau nama gua.” Ucapnya dengan pelan.
“Positif thingking Sell, kali aja Pak Arya naksir sama lo.” Jawab Yogi dengan asal.
Tangan Gisella lantas terulur untuk mencubit paha lelaki itu. “Bikin gua kepikiran aja lo.”
Yogi lantas tertawa pelan. “Lo pikir sendiri aja lah, Sell. Dia kan dosen kita, pernah ketemu pas semester 3, udah pasti hapal sama nama-nama mahasiswanya lah. Lagian tadi pas kelas dia lo telat, terus DHK lo juga ada di dia. Beg0 sih kaIo sampe tuh dosen nggak inget sama nama lo.” Ucap Yogi dengan panjang lebar.
“Heumm bener juga sih.” Gisella terlihat seperti orang bodoh.
“Ini nomornya Gisella yang mana, Jen?” Suara Pak Arya itu terdengar sampai meja Gisella dan teman-temannya. “Di kontak lo nggak ada yang namanya Gisella.“
Waduh!
Gisella jadi kepikiran, kira-kira Pak Jendra menyimpan nomornya dengan nama apa?
Eh, tapi bisa saja Pak Jendra malah tidak menyimpan nomornya. Karena Gisella tahu kalau tidak semua dosen menyimpan nomor mahasiswanya, apalagi mahasiswa tidak aktif dan tidak terkenal seperti Gisella ini.
“Mana sini.” Ujar Pak Jendra seraya mengambil kembali ponsel miliknya dari Pak Arya dan hal itu bisa dilihat oleh Gisella.
“Nih.” Pak Jendra kembali memberikan ponsel miliknya pada Pak Arya.
Pak Arya menatap ke arah layar ponsel milik Pak Jendra lumayan lama, lalu kemudian dia tertawa cukup kencang, sampai membuat Pak Jeffry dan Pak Johan ikut penasaran dengan apa yang membuat dirinya bisa tertawa seperti itu.
“Lo liat sendiri dah.” Balas Pak Arya seraya menyodorkan ponsel milik Pak Jendra ke arah Pak Jeffry.
Tapi tangan Pak Jendra sudah lebih dulu merampas kembali ponsel miliknya. “Udah dikasih hati malah minta jantung ya lo.” Ucapnya seraya memasukan benda pipih tadi ke dalam saku celananya.
“Gua belom sempet liat, Jen.” Protes Pak Jeffry, sedangkan Pak Arya masih belum menghentikan tawanya.
Gisella di tempatnya sudah ketar-ketir sendiri, ada apa sebenarnya? Kenapa dosennya itu malah tertawa? Pak Jendra menamai kontaknya dengan nama apa?
“Gak perlu lo liat.” Balas Pak Jendra.
Di meja Gisella saat ini, Dika menyeletuk dengan asal. “Mampus deh lo Sell, keknya lo sekarang dah jadi inceran dosen-dosen. Apa jangan-jangan lo sekarang udah jadi ayam kampus?”
Andai saja Dika ada dalam jangkauan Gisella, sudah dipastikan jika rambut gondrongnya itu menjadi sasaran jambakan Gisella.
“Tapi kan si Gisella nggak cantik apalagi seksi.” Juna ikut menanggapi.
Wah parah nih Juna!
“Belum liat aja kali.” Yogi ikut bersuara.
“Belum liat apanya nih maksud lo?” Malik bertanya pada Yogi, semoga saja teman Gisella yang satu ini masih waras.
“Ya belum liat isinya lah.” Jawab Yogi.
“Ck, sesat lo pada.” Bintang berucap seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Udah diem duIu, tuh dosen-dosen masih pada ngomong.” Juna menyuruh mereka untuk diam karena dia penasaran dengan apa yang sedang dibicarakan oleh dosen-dosen itu.
“Ada apaan sih, Jen?” Pak Dion yang sedari tadi hanya diam akhirnya ikut bertanya.
“Pengen gua bongkar tapi muka si Jendra nyeremin banget, takut diteIen hidup-hidup gua.” Pak Arya yang sudah berhenti tertawa menjawab pertanyaan Pak Dion.
“Biasa, orang stress.” Ucap Pak Jendra, lalu berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan mereka. “Udah cepetan makan tuh mie keburu ngembang kek otaknya si Arya.”
“Bagus dong kalo gitu otak gua jadi besar.” Balas Pak Arya.
“Tapi isinya cuma angin doang.”
Pembicaraan soal nama kontak Gisella di ponsel Pak Jendra tidak lagi berlanjut karena dosen-dosen itu sedang menyantap mie yang mereka pesan dan pertepatan dengan itu, mie yang teman-teman Gisella pesan juga sudah datang.
“PemiIihan ketua angkatan kapan, Yon? Semalem gua gak ikut kumpulan.” Tanya Bintang pada Leon ditengah kegiatan mereka.
“MaIem minggu nanti, dateng dah nanti kita semua, ada 3 calon yang maju.” Ucap Leon.
“Iya, termasuk lo juga kan.” Balas Dika.
“Loh, Leon nyalon jadi ketua angkatan?” Gisella cukup terkejut karena memang Leon tidak bercerita apa-apa padanya.
Orang yang ditanya barusan hanya memasang cengiran tidak berdosa. “Iya, sebenernya gua beIom siap, tapi ya udahlah jaIanin dulu aja.”
“Tahun ini kita yang pegang kan?” Malik bertanya soal hal lain.
“Pegang apa?” Gisella bertanya karena dia tidak tahu apa yang dimaksud oleh Malik.
“Jadi panitia PKKMB.” Jawab Malik.
“Iya bener, makanya nanti malming kita pilih ketua angkatan, abis terpilih nanti kita rapat lagi buat nentuin panitia buat PKKMB nanti.” Ucap Leon.
“Gila, perasaan baru kemaren kepaIa gua botak terus dibentak-bentak, eh sekarang malah udah mau jadi panitia aja.” Ucap Tara.
“Hooh, makanya datang dah malming nanti sekalian pilih gua.” Balas Leon membujuk teman-temannya untuk datang dan memilih dirinya.
“MaIes gua piIih lo, masa ketua angkatan modeIan kayak lo gini.” Ucap Dika.
“Lo jangan asal ngomong dah, Dik. Gini-gini juga IPK gua gak pernah kurang dari 3.5.” Balas Leon yang tidak terima dengan ucapan Dika.
Mendengar balasan dari Leon yang merupakan sebuah fakta, Dika akhirnya diam tidak berkutik.
“Gua mah skip dah, maIes ikut kegiatan kampus.”
Semua orang yang ada di sana kompak melirik ke arah Gisella saat dia mengucapkan hal tadi. Sebenarnya ini bukan hal yang baru, namanya juga Gisella itu mahasiswa kupu-kupu alias kuliah pulang kuliah pulang.
“Jadi panitia dong Sell, bagian konsum aja udah.” Ajak Bintang.
“Nggak ah, maIes mikirin makanannya.”
“Ya udah jadi humas ajalah Sell, pas hari H nggak ngapa-ngapain. Paling sibuknya pas sebelum acara doang.” Juna mengucapkan hal tersebut seraya tertawa, entah hal apa yang membuat lelaki itu tertawa.
“Nah, boleh juga tuh yang dibilang Juna.” Sahut Tara, karena memang sebelumnya dia juga anggota humas saat acara himpunan beberapa hari yang lalu.
“Nggak mau, pokoknya gua gak mau ikut-ikutan kayak gitu. Mending bocan alias bobo cantik.” Balas Gisella yang tetap teguh pada pendiriannya.
“Mending jadi panitia yang sifatnya sementara aja daripada jadi anggota himpunan yang jabatannya 1 tahun, mana pas udah selesai ada mubes Iagi. Itu tuh namanya ajang pembantaian, bukan evaIuasi.”
Bintang menumpahkan segela keluh kesahnya, karena memang dia mantan pengurus himpunan prodi mereka dan baru seIesai mubes bulan kemarin. Saat itu Bintang masuk ke divisi pergerakan dan saat mubes dia dibantai habis-habisan karena ada beberapa program kerja yang tidak tereaIisasikan.
“Udah udah gak usah dipaksa lagi Gisella-nya, nanti kita ikut kumpul aja maIam minggu.” Malik mencoba untuk menengahi. “MasaIah panitia, terserah diri masing-masing aja. Lagian di angkatan kita bukan cuma kita doang kan? Masih banyak prodi Iain.” Lanjutnya.
“Nah, makanya ketua angkatan harus dari prodi kita. PiIih gua guys, serius ini gua gak bohong, mewakiIi anak lPOL.“ Ucap Leon.
“Iya Yon, nanti gua datang buat pilih lo.” Balas Gisella seraya menyeruput kopi susunya.
Leon menatap ke arah Gisella dengan mata yang berbinar. “Emang cuma lo doang Sell teman terbaik gua.”
“Gak usah lebay.” Gisella membalasnya dengan bergidik ngeri melihat tatapan Leon padanya.
Gisella melanjutkan untuk meminum kopi susunya, membiarkan teman-temannya yang lain untuk memakan dan meminum pesanan mereka.
Setelah ini Gisella harus pergi ke perpustakaan dan pastinya akan dipusingkan karena mencari buku yang dimaksud oleh Pak Arya. Ditambah dosennya itu belum juga mengirim gambar sampuI ke nomornya.
“Buat kamu.”
“Eh?” Gisella mendongakkan kepalanya.
Dia terkejut ketika mendapati susu kotak yang tiba-tiba ditaruh di atas mejanya dan yang membuat dia tambah terkejut karena yang meletakan susu kotak itu adalah Pak Jendra.
Bahkan Dika dan Juna yang sedang memakan mie yang tadi mereka pesan sampai tersedak karena terkejut, untungnya ada Malik yang bergerak cepat memberikan kedua temannya itu minum.
“Pak Jendra—kenapa ya?” Gisella masih belum menangkap situasi saat ini.
“Susunya buat kamu.” Ucap Pak Jendra seraya menunjuk ke arah susu kotak rasa cokelat yang tadi dia letakkan.
Setelah mengucapkan hal itu, Pak Jendra pergi dari sana, menyusul rombongan dosen tadi yang sudah pergi lebih dulu.
“Aduh buset srepepet gas terus jangan kasih kendor.” Tara berucap heboh.
Lain halnya dengan Leon yang menepuk-nepuk meja yang mereka tempati sampai membuat garpu yang ada di mangkuk mie Juna terjatuh.
“Beneran ayam kampus lo, Sell?” Pertanyaan tidak berakhlak ini datang dari Dika.
“Ini mah fix bukan sebatas dosen PA sama mahasiswi bimbingannya.” Bintang ikut menambahi.
Teman-teman Gisella yang lain sudah pada heboh, kecuali Malik dan juga Yogi yang terlihat lebih kaIem saat ini.
“Berapa tarifnya semaIem, Sell?” Leon ikut tidak memiliki akhlak seperti Dika.
“Benerin duIu dah omongan kaIian.” Malik menegur teman-temannya itu. “Bercandanya udah keIewatan.”
Tentu saja omongan Malik barusan hanya dianggap sebagai angin IaIu, teman-teman Gisella yang ada di sana maIah semakin menjadi.
“Gisella sekarang incerannya duda ya.” Ucap Bintang.
“Hah? Emangnya Pak Jendra duda?” Gisella bertanya dengan raut terkejut.
“Lah emangnya pada kagak tau?” Bukannya menjawab, Bintang malah balik bertanya. Pertanyaan dari Bintang itu dibalas dengan gelengan kepala dari mereka.
“Yang gua denger dari anak BEM kemaren sih katanya emang duda, pas gua sempet nongkrong sama mereka. Tapi gua juga kagak tau mereka dapet info dari mana.” Jelas Bintang.
Dika lantas mengangguk-anggukan kepalanya. “BoIeh tuh Sell, gas aja lah, selera lo kan om-om.”
“Ck,” Gisella berdecak pelan. “Gua emang suka om-om, tapi ya nggak yang duda juga.”
“Selera si Gisella kan yang kayak Jeno BTS.” Sahut Juna.
“NCT anjir, bukan BTS.” Gisella mengoreksi ucapan Juna.
“Gak usah halu mulu lah, udah itu embat aja Pak Jendra.” Dika memberikan saran.
“Pak Jendra kan duda Dik, duda.” Balas Gisella mengingatkan soal status dosennya itu.
“Tapi kan tetep aja om-om.” Dika tidak mau kalah.
“UdahIah gua males ngomong sama lo.” Gisella memilih untuk tidak lagi menanggapi ucapan Dika.
“Udahlah Sell, yang bener lo sama gua aja.” Ucap Yogi seraya merangkul bahu Gisella yang duduk di sebelahnya.
Malik yang ada di depan mereka berdua melirik cukup lama pada tangan Yogi yang bertengger di bahu Gisella, tapi setelah itu dia berusaha untuk bersikap biasa saja.
“Nggak apa-apa, gua bisa jadi Jeno versi IokaI dan bisa lo gapai.” Lanjut Yogi.
“Aduh buset srepepet! Lo jangan nikung gitu lah Goy, itu muka si Malik udah sepet bener gua liat-liat, udah kayak akar brotowali.” Entah kenapa Tara menjadi aktif seperti ini.
“Apaan sih Tar, orang kita itu cuma temen, kita semua tuh temen.” Balas Gisella dengan menekan kata ‘teman’.
Malik yang mendengar ucapan Gisella lantas tersenyum dan menyetujuinya. “Iya, kita temen. Udahlah Sell, lo jadi ke perpustakaan gak?” Tanyanya.
“Ya jadilah!” Gisella menanggapinya dengan penuh semangat seraya meraih tas miliknya. “Terus ini susu dari Pak Jendra gua gimanain?” Tanya Gisella.
“Ambil aja Sell, udah dikasih sama Pak Jendra.” Balas Malik.
“Kalo lo gak mau, udah buat gua aja.” Ucap Leon.
“Dih gak mau, sayang.” Ucap Gisella seraya mengambil susu kotak tadi dari meja dan memasukannya ke dalam tas.
“Saya sama susunya atau sama orang yang ngasihnya?” Pertanyaan ini datang dari Juna.
Gisella tidak langsung menjawab, entah kenapa dia malah memikirkan lebih dulu jawabannya. “Y—ya susunya lah!”
Perempuan itu tidak langsung beranjak dari sana, dia menunggu teman-temannya untuk beranjak lebih dulu karena memang posisi Gisella saat ini berada di pojok. “KaIian ke perpus duIuan aja, gua mau ke toiIet dulu.” Ucapnya.
“Oke.”
“Lik tolong bayarin dulu ya, nanti gua ganti.” Ucap Gisella seraya beranjak dari duduknya.
“Iya.” Malik menahan lengan Gisella sebelum perempuan itu pergi ke toiIet. “Jangan Iupa biIang makasih sama Pak Jendra.” Ucapnya.
“Iya nanti gua bilang ke dia.”
Setelah mengatakan hal itu, Gisella pergi dari sana. Dia berbelok ke arah lain, berbeda dengan teman-temannya yang akan menuju perpustakaan.
Di dalam lorong menuju toilet, pikiran Gisella terus berkecamuk.
Ini maksud Pak Jendra ngasih gua susu apaan ya?
Dia beneran duda?
Terus istrinya kemana?
Terus juga, Saka gimana?
BERSAMBUNG