NovelToon NovelToon
TAK AKAN KUKEMBALI PADAMU

TAK AKAN KUKEMBALI PADAMU

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / CEO / Janda / Cerai / Obsesi / Penyesalan Suami
Popularitas:7.8k
Nilai: 5
Nama Author: Archiemorarty

Lucia Davidson hidup dalam ilusi pernikahan yang indah hingga enam bulan kemudian semua kebenaran runtuh. Samuel, pria yang ia percaya sebagai suami sekaligus cintanya, ternyata hanya menikahinya demi balas dendam pada ayah Lucia. Dalam sekejap, ayah Lucia dipenjara hingga mengakhiri hidupnya, ibunya hancur lalu pergi meninggalkan Lucia, dan seluruh harta keluarganya direbut.

Ketika hidupnya sudah luluh lantak, Samuel bahkan tega menggugat cerai. Lucia jatuh ke titik terendah, sendirian, tanpa keluarga dan tanpa harta. Namun di tengah kehancuran itu, takdir memertemukan Lucia dengan Evan Williams, mantan pacar Lucia saat kuliah dulu.

Saat Lucia mulai menata hidupnya, bayangan masa lalu kembali menghantuinya. Samuel, sang mantan suami yang pernah menghancurkan segalanya, justru ingin kembali dengan mengatakan kalau Samuel tidak bisa hidup tanpa Lucia.

Apakah Lucia akan kembali pada Samuel atau dia memilih cinta lama yang terkubur?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 25. RANTAI MASA LALU

Langit sore menggantung redup di luar jendela kamar rumah sakit. Cahaya lembut yang menembus tirai tipis membelai wajah pucat Lucia yang terbaring di ranjang. Suara mesin infus berirama pelan, seolah menjadi musik latar yang mengiringi perjalanan penyembuhannya. Di sampingnya, Evan duduk dengan wajah tegang, kedua matanya nyaris tak pernah beralih dari wanita yang kini menjadi pusat seluruh dunianya.

Sudah beberapa hari berlalu sejak operasi darurat itu dilakukan. Infeksi lambung yang lama bersarang dalam tubuh Lucia akhirnya mencapai puncaknya, membuat tubuhnya nyaris menyerah. Evan masih bisa merasakan bagaimana jantungnya hampir berhenti ketika melihat Lucia menggigil, keringat bercucuran, lalu pingsan di pelukannya. Sejak hari itu, pria itu bersumpah tidak akan lagi membiarkan satu detik pun terlewat tanpa memastikan Lucia aman.

Namun hidup tidak sepenuhnya tunduk pada keinginannya. Deren, tangan kanan sekaligus sahabat yang paling mengenalnya, memaksa Evan untuk sesekali kembali ke perusahaan. Ada investor besar yang menuntut kehadiran sang pemimpin langsung, sebuah urusan yang tidak bisa digantikan. Evan sempat menolak keras, tapi akhirnya ia berangkat dengan hati penuh resah, hanya untuk kembali beberapa jam kemudian, menolak berlama-lama berjauhan dari Lucia.

Kini, setelah hiruk pikuk bisnis yang ia tinggalkan sementara, Evan kembali duduk di sisi ranjang. Tangannya menggenggam jari-jari Lucia yang terasa dingin namun lembut. Pandangannya menyapu wajah wanita itu yang tengah terlelap, lalu beralih ke layar monitor yang menampilkan tanda-tanda vitalnya. Semuanya stabil, meski lemah.

"Lucy?" suara Evan lirih, lebih seperti doa daripada panggilan.

Wanita itu perlahan membuka mata. Kedua bola matanya masih teduh namun tampak kelelahan.

"Hai, Love," sapa Evan lembut.

"Evan ... kau sudah kembali?" sahut Lucia, suaranya pelan, serak, seolah keluar dari kedalaman luka yang belum pulih.

"Aku tidak akan pernah jauh darimu," jawab Evan cepat, nada suaranya penuh keyakinan sekaligus kekhawatiran. Ia menyelipkan helai rambut yang jatuh di wajah Lucia, lalu tersenyum tipis. "Bagaimana perasaanmu sekarang?"

$Sakitnya masih ada tapi lebih baik daripada kemarin," jawab Lucia, berusaha tersenyum meski jelas lemah.

Evan mengangguk, namun matanya tetap mengeras. "Aku masih tak bisa percaya kau bisa menyembunyikan semua ini dariku. Infeksi lambung, dokter bilang ini penyakit yang kau tanggung bertahun-tahun," suaranya terhenti, berganti dengan tarikan napas berat. "Sejak kapan, Lucy?"

Pertanyaan itu menggantung di udara. Hening menyelimuti ruangan, hanya suara mesin infus yang terdengar. Lucia menundukkan pandangannya, seolah tak sanggup menatap langsung mata Evan yang penuh tuntutan itu.

"Sejak aku SMA," jawabnya akhirnya, lirih.

Evan mengerutkan kening. "Sejak SMA?!" suaranya meninggi sedikit, tak percaya.

Lucia menelan ludah, lalu melanjutkan dengan suara bergetar. "Aku sering sakit perut, sering merasa mual, kadang pingsan. Tapi itu semua, akibat dari kebiasaan yang ditanamkan oleh orang tuaku dulu."

Evan diam, menunggu.

"Ketika Ayahku marah," Lucia mulai, matanya berkaca-kaca, "hukuman yang dia berikan tak selalu berupa pukulan. Kadang mereka membiarkan aku kelaparan. Tidak diberi makan berhari-hari. Tubuhku masih muda saat itu, rapuh, dan aku hanya bisa bertahan dengan rasa sakit di perut. Lambungku terluka sejak saat itu. Dan aku terbiasa. Aku belajar menahan lapar, menahan perih. Aku bahkan sempat berpikir itu normal, bahwa aku pantas menerimanya, karena aku tidak pernah cukup baik di mata mereka."

Kata-kata itu menusuk jantung Evan. Tubuhnya menegang, jemarinya yang menggenggam tangan Lucia menguat seolah ingin menghancurkan rantai masa lalu yang masih melilitnya.

"Lucy," Evan berbisik, namun suaranya mengandung bara. "Kau menderita selama ini dan aku baru mengetahui detailnya sekarang?"

Lucia tersenyum getir, meski wajahnya basah air mata. "Aku tidak pernah ingin kau tahu. Karena aku tahu kau akan marah. Kau akan menyalahkan dirimu sendiri. Padahal aku yang salah ... aku yang tidak mampu melawan mereka."

"Berhenti." Evan memotong, suaranya dalam dan penuh tekanan. "Jangan pernah lagi kau berkata bahwa kau salah. Mereka yang bersalah, Lucia. Orang tuamu yang seharusnya melindungimu, tapi justru meremukkanmu. Kau hanya seorang anak ... bagaimana bisa kau menyalahkan dirimu sendiri?"

Lucia terdiam, menatap Evan dengan mata yang gemetar.

"Dulu ...." Evan menarik napas panjang, ingatannya melayang ke masa lalu. “Dulu ketika kita masih pacaran, aku sering melihat memar di tubuhmu. Aku tahu ada sesuatu yang tidak beres. Aku marah, marah hingga rasanya ingin menghancurkan seluruh dunia. Itu sebabnya aku bekerja mati-matian, merintis usaha dari nol, mengumpulkan kekuatan. Semuanya hanya untuk satu tujuan: membawamu pergi dari mereka. Menyelamatkanmu dari neraka yang mereka ciptakan. Itulah alasanku pergi, agar aku dapat menyelamatkanmu dari orang tuamu yang egois itu."

Lucia pernah mendengar ini dari Clara, alasan Evan pergi dan bekerja di tempat jauh.

Suara Evan pecah, matanya berkaca. "Dan sekarang aku tahu ... luka-luka itu lebih dalam daripada yang pernah kulihat. Mereka tidak hanya meninggalkan memar di kulitmu, tapi merusak tubuhmu dari dalam. Bagaimana aku bisa memaafkan itu, Lucia? Bagaimana? Kenapa ayahmu mati sebelum aku bisa memukulnya dengan keras?"

Lucia menggenggam tangan Evan, berusaha menenangkan badai yang tengah bergolak di dalam diri pria itu. "Evan, aku sudah tidak berada di sana lagi. Bukankah kau, Clara, dan Deren yang mengatakan kalau aku sudah bebas sekarang?"

"Tidak, itu belum cukup," Evan menggeleng keras. "Aku ingin kau sembuh, benar-benar sembuh, bukan hanya dari penyakitmu tapi juga dari semua rantai masa lalu yang masih mengekangmu. Aku tidak akan berhenti sampai kau bebas, Lucia. Aku bersumpah."

Hening kembali merayap. Hanya terdengar suara napas mereka yang berat, suara yang membawa serta segala beban masa lalu dan janji masa depan.

Lucia menatap Evan dengan mata yang lembut meski basah air mata. "Kau selalu berlebihan ketika menyangkut aku."

"Bukan berlebihan," Evan menunduk, mencium punggung tangan Lucia "Ini cara bagaimana aku mencintaimu, dengan selalu mengkhawatirkanmu bahkan untuk hal sepele."

Suasana kamar rumah sakit terasa hening, namun di antara keheningan itu ada percakapan batin yang begitu keras menggema. Evan masih menggenggam tangan Lucia erat-erat, seolah jika ia melepaskannya maka dunia akan kembali mencuri wanita itu darinya.

Lucia tersenyum samar, meski wajahnya masih pucat. "Evan, kau tidak perlu sekeras itu. Aku sudah terbiasa dengan sakit ini bertahun-tahun. Aku sudah belajar berdamai."

"Tidak, Lucy." Evan menggeleng cepat, matanya tajam namun bergetar. "Aku tidak ingin kau berdamai dengan penderitaan yang seharusnya tidak pernah ada. Kau tidak pantas menderita sejak kecil hanya karena kesalahan orang lain. Kau berhak mendapatkan hidup yang damai, bebas, dan sehat. Aku tidak akan pernah menerima kata 'terbiasa' untuk sesuatu yang merusakmu."

Lucia terdiam. Ada rasa hangat menyelinap di dadanya mendengar kata-kata itu. Selama ini, ia jarang mendengar ada yang membelanya dengan begitu keras. Ia terbiasa menerima, menunduk, dan memaklumi setiap luka yang menimpa. Kini, di hadapan Evan, semua tembok pertahanan itu terasa runtuh.

"Evan, aku takut jika kau tahu semua hal buruk tentangku, kau akan menjauh. Aku hanyalah wanita yang penuh luka, penuh kelemahan. Kadang aku merasa aku menyeretmu ke dalam dunia yang gelap, dunia yang penuh bayangan masa lalu," kata Lucia.

Evan menatapnya dalam-dalam, lalu mendekat hingga keningnya hampir menyentuh dahi Lucia. "Lucia, dengarkan aku baik-baik. Tidak ada satu pun luka di dirimu yang bisa membuatku menjauh. Justru luka-luka itu yang membuatku semakin ingin melindungimu. Kau pikir aku membangun semua ini; perusahaan, kekuasaan, pengaruh, untuk apa? Bukan untuk diriku sendiri. Aku melakukan semuanya untukmu."

Lucia menutup mata, air matanya kembali jatuh. Namun kali ini bukan karena kesedihan semata, melainkan karena perasaan lega, ada seseorang yang benar-benar berdiri di sisinya, mengakuinya, menerimanya apa adanya.

"Tapi Evan, ada saat-saat di mana aku merasa rantai itu masih membelengguku. Meski Ayah sudah tiada, meski aku sudah jauh dari rumah itu ... rasanya aku masih mendengar suaranya, ancamannya. Bahkan ketika aku lapar di sini, aku bisa mengingat jelas rasa lapar itu dulu. Kau tahu rasanya? Seperti aku tidak pernah benar-benar bebas."

Evan menarik napas panjang, tangannya mengusap lembut rambut Lucia. "Kau mungkin masih merasakan rantai itu, tapi dengarkan aku, Lucia. Aku ada di sini untuk memutusnya. Satu demi satu, hingga tidak ada lagi yang tersisa. Kau tidak sendirian lagi. Aku tidak akan pernah membiarkan masa lalu menyiksamu lagi."

Lucia menoleh pelan, menatap wajah pria itu yang begitu dekat. Ada getar di bibirnya, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tertahan oleh perasaan yang terlalu dalam.

Ketukan pintu pelan memecah keheningan. Seorang perawat masuk, memeriksa kondisi Lucia, lalu tersenyum menenangkan sebelum keluar lagi. Setelah itu, ruangan kembali sunyi.

Evan duduk kembali, namun kali ini tubuhnya sedikit lebih santai, meski sorot matanya tetap menyimpan api. "Lucy, aku ingin tahu sesuatu."

"Apa itu?"

"Apakah kau benar-benar sudah melepaskan masa lalumu? Atau kau masih merasa terikat olehnya?" tanya Evan serius.

Pertanyaan itu menghantam hati Lucia. Ia menunduk, menggenggam selimut di atas perutnya. "Aku ... aku tidak tahu. Ada hari-hari di mana aku merasa baik-baik saja, seolah semua itu hanya mimpi buruk yang telah lama berakhir. Tapi ada juga hari di mana aku merasa kecil kembali, tak berdaya, seolah ayahku masih berdiri di depan pintu kamar, membawa sabuk kulit di tangannya."

Evan mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Lucia, kau tidak akan pernah sendirian lagi menghadapi itu. Aku di sini. Jika bayangan itu kembali menghantuimu, biarkan aku menjadi tamengmu. Aku akan menyingkirkan setiap bayangan, satu per satu, sampai kau hanya bisa melihat cahaya."

Lucia menatapnya lagi, kali ini dengan tatapan yang sarat haru. "Kau terlalu baik untukku, Evan."

"Tidak." Evan menggeleng, senyumnya getir namun penuh ketulusan. "Aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan sejak dulu. Aku menyesal tidak bisa melindungimu lebih awal. Tapi sekarang, aku tidak akan pernah lagi melepas tanganmu."

Mata Lucia kembali berkaca. Ia ingin berkata banyak hal, tentang rasa syukur, tentang ketakutannya, tentang cinta yang begitu besar hingga membuatnya gemetar. Namun suaranya seakan terhenti di kerongkongan, hanya bisa keluar dalam bentuk bisikan,

"Terima kasih ... sudah tidak menyerah padaku," ucap Lucia tulus.

Evan menunduk, bibirnya menyentuh punggung tangan Lucia sekali lagi, penuh hormat dan cinta. "Aku tidak akan pernah menyerah. Kau adalah alasan aku hidup, Lucy. Dan aku bersumpah, suatu hari nanti kau akan benar-benar bebas dari semua ini. Rantai itu akan putus. Untuk selamanya."

Janji kecil yang justru membuat Lucia pada hari itu bangkit sepenuhnya. Bertekad merubah diri menjadi lebih baik dan menemukan jati dirinya kembali.

1
Ir
kemarin di cere, sekarang di cariin lagi, karep mu ki piye samsul hmm
Archiemorarty: Tahu, sebel kali sama si Samsul ini /Smug/
total 1 replies
Miss Typo
semoga apapun niat Samuel ke Lucia semua gagal total
Miss Typo
semangat Lucia
Ir
yeuhhh kocak, amnesia lu samsul
Archiemorarty: Hahaha 🤣
total 1 replies
Ir
kak aku baca Deren dari awal lidah ku belit bacanya Daren terus tauu
Archiemorarty: Awalnya namanya maunya Darren, malah takut aku hany kebelit nulisnya ntar 🤣
total 1 replies
Ma Em
Evan , Clara dan Derren tolong lindungi Lucia dari Samuel takut Samuel akan mencelakai Lucia.
Ariany Sudjana
benar kata Evand, jangan buru-buru untuk menghadapi Samuel, karena prioritas utama sekarang kondisinya Lucia, yang sangat terpuruk. untuk menghadapi Samuel harus dengan perhitungan matang
Archiemorarty: Benar, gitu2 si samsul itu ular licik
total 1 replies
Ir
seharus nya jangan takut Lucu injek aja lehernya si samsul, trus si Evan suruh pegangin
Archiemorarty: astaga, barbar sekali ya /Facepalm/
total 1 replies
Ma Em
Semangat Lucia sekarang sdh ada Evan yg akan melindungi dari siapa saja orang yg akan menyakitimu , jgn sampai kamu terpengaruh dgn hadirnya Samuel , biarkan dia menyesal akan bat dari perbuatannya sendiri , semoga Lucia dan Evan selalu bahagia .
Archiemorarty: Setuju itu /Determined/
total 1 replies
Ir
penyesalan itu emang datang nya di akhir samsul, kali di depan namanya pendaftaran 😆
Miss Typo
keluar dari RS nikah ya 😁
Ir
bucin terooooossss 😏
Archiemorarty: Cieee...iri cieeee /Chuckle/
total 1 replies
Miss Typo
berharap sih segera nikah mereka berdua 😁
Ir
nyari laki kaya Rion, Dante, Davian sama Evan di mana sih, laki² yg semua aku di rayakan di cintai secara ugal²an, yg mau berusaha keras untuk kesejahteraan wanita nya, bukan yg kita mulai sama² dari Nol terus 😌😌
Archiemorarty: Mereka ada kok..di dunia fiksi aja tapi /Cry/
total 1 replies
Ariany Sudjana
Evand benar Lucia, kamu tidak sendiri lagi, ada Evand yang jadi tameng.
Ir
ini kalo kata orang Indonesia, sakit perut bukannya priksa ke dokter malah cuma bilang magh kronis, magh kronis, mag kronis tok 😏
Archiemorarty: Sebel soalnya /Smug/
total 3 replies
Miss Typo
itu karna pola hidup Lucia selama ini kali ya, atau karna pikiran juga.
Alhamdulillah operasi berhasil, semoga Lucia cepat pulih
Archiemorarty: Betul sekali
total 1 replies
Miss Typo
apalagi ini thor,,, kenapa masalah blm juga usai, msh ada trs masalah dlm kehidupan Lucia, kpn Lucia akan bahagia bersama Evan? 😭
Miss Typo: huaaaaaa pasti aku nangis mulu bacanya 😭🫣
total 2 replies
Miss Typo
berharap secepatnya mereka berdua menikah 😁
Miss Typo
apakah mereka berdua akan sampai menikah suatu saat nanti?????
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!