Mati dalam kecelakaan. Hidup kembali sebagai istri Kaisar… yang dibenci. Vanessa Caelum, seorang dokter spesialis di dunia modern, terbangun dalam tubuh wanita yang paling dibenci dalam novel yang dulu pernah ia baca—Vivienne Seraphielle d’Aurenhart, istri sah Kaisar Maxime. Masalahnya? Dalam cerita aslinya, Vivienne adalah wanita ambisius yang berakhir dieksekusi karena meracuni pelayan cantik bernama Selene—yang kemudian menggantikan posisinya di sisi Kaisar. Tapi Vanessa bukan Vivienne. Dan dia tidak berniat mati dengan cara tragis yang sama. Sayangnya… tidak ada yang percaya bahwa sang “Permaisuri Jahat” telah berubah. Bahkan Kaisar Maxime sendiri—pria yang telah menikahinya selama lima tahun namun belum pernah benar-benar melihatnya. Yang lebih mengejutkan? Selene tidak sebaik yang dikira. Di dunia yang dipenuhi permainan kekuasaan, cinta palsu, dan senyum penuh racun, Vanessa harus memilih: Bertahan sebagai tokoh antagonis… atau menghancurkan alur cerita dan menulis ulang takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adinda Kharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gelisah
Angin sore bertiup kencang, mengacak-acak anak rambut Kaisar Maxime yang berdiri tegap di balkon menara utama. Pandangannya menembus horizon, mengamati langit kelabu yang menggantung di atas ibu kota kerajaan. Di belakangnya, Jenderal Bastian berdiri setia, tubuh tegapnya tak bergeming meski angin terus menggempur mantel militernya.
“Ada laporan yang belum aku ketahui tentang wanita itu?” tanya Maxime, suaranya datar namun mengandung ketegasan. Ia masih memunggungi Bastian, namun sorot matanya mengeras.
Bastian tak perlu bertanya siapa yang dimaksud. “Tidak ada laporan resmi, Yang Mulia. Hanya beberapa bisikan dari pelayan istana… Mereka mengatakan bahwa Ratu tampak berbeda setelah insiden percobaan bunuh dirinya.”
Satu alis Maxime terangkat. Ketertarikannya terusik. “Berbeda bagaimana?”
“Menurut pengamatan para pelayan,” ujar Bastian dengan nada tenang namun jelas, “Ratu kini jarang keluar dari kamarnya dan tak lagi menimbulkan keributan seperti sebelumnya. Ia juga tidak lagi mengganggu Nona Selene.”
Maxime menoleh sedikit, namun tidak sepenuhnya berbalik. “Dan itu saja cukup disebut ‘berbeda’?”
“Bukan hanya itu, Yang Mulia,” lanjut Bastian. “Penjaga perpustakaan melaporkan bahwa Ratu sering datang ke perpustakaan beberapa hari terakhir. Ia bahkan meminjam beberapa buku… topiknya spesifik.”
Maxime memutar tubuhnya sedikit, memberikan perhatian lebih. “Topik?”
“Ilmu kesehatan dan pengobatan,” jawab Bastian, mantap. “Dan tak hanya dari perpustakaan. Tabib Alana sendiri menyampaikan bahwa Ratu menunjukkan ketertarikan yang mendalam terhadap bidang medis. Beliau bahkan mengatakan bahwa Ratu meminta diajari langsung.”
Maxime menyipitkan mata, ekspresinya perlahan berubah—campuran antara rasa curiga dan keterkejutan.
“Vivienne? Belajar pengobatan? Padahal selama ini membaca undangan pesta bangsawan saja sudah membuatnya mengeluh.”
“Benar, Yang Mulia,” sahut Bastian pelan, memastikan tidak ada yang terlewat dari laporannya.
Aneh.
Perubahan seperti itu… mustahil terjadi dalam waktu singkat.
Sejak pertemuan mereka di pelataran istana saat penyambutannya tadi, sikap Vivienne yang begitu tenang dan berbeda mulai mengganggu pikirannya. Terlalu tenang… terlalu wajar… seolah bukan lagi wanita yang dulu ia kenal.
Maxime memutar tubuhnya sepenuhnya, kini menatap Bastian dengan sorot mata tajam. “Apa kau yakin tidak ada yang lain? Tidak ada yang mencurigakan?”
Bastian menggeleng. “Tidak ada laporan mencurigakan, Yang Mulia.”
Maxime terdiam. Pikirannya dipenuhi kilasan-kilasan: Vivienne yang dulu selalu penuh emosi dan kata-kata kasar, kini berbicara dengan tatapan teduh dan suara sehalus bisikan. Tatapan itu… bukan tatapan wanita yang masih terobsesi pada cinta yang tak dibalas. Tapi tatapan seseorang yang sudah… merelakan?
Ia mendengus pelan, tapi bukan karena geli—melainkan karena gusar.
“Jika ini sandiwara, maka dia memainkan peran barunya dengan sangat baik,” gumam Maxime, lebih pada dirinya sendiri. “Terlalu baik.”
Bastian menunduk sopan. “Apa Anda menginginkan saya untuk menyelidikinya lebih lanjut?”
Maxime menatap jauh ke arah halaman istana di bawah. Dari kejauhan, ia bisa melihat siluet ruangan tempat tinggal Vivienne. Di sanalah wanita itu kini berada, menjalani hari-harinya dalam diam yang asing bagi Maxime.
“Tidak,” jawabnya akhirnya. “Untuk saat ini, biarkan saja dia. Tapi… awasi.”
“Baik, Yang Mulia.”
Maxime kembali diam, namun dalam benaknya, rasa penasaran mulai tumbuh menjadi rasa tidak tenang. Ada sesuatu yang tidak beres. Ia yakin akan hal itu.
Disisi lain, di dalam kamar Vivienne, entah kenapa, untuk pertama kalinya… Vanessa merasa dirinya yang sedang diperhatikan.
——
Makan malam pun tiba.
Berbeda dari hari-hari sebelumnya sejak Vanessa hidup di tubuh ini, untuk pertama kalinya ia duduk makan malam bersama dengan Maxime dalam satu ruangan yang sama—sebuah peristiwa langka dalam lima tahun pernikahan mereka.
Ruang makan utama kerajaan tampak megah, diterangi oleh cahaya lampu gantung kristal yang bergoyang lembut karena hembusan angin malam dari jendela tinggi yang dibiarkan terbuka sebagian. Aroma rempah dan makanan hangat memenuhi udara.
Meja makan membentang panjang di tengah ruangan, begitu besar hingga jarak antara Vanessa dan Maxime seolah menciptakan dinding tak kasat mata di antara mereka. Maxime duduk di ujung seberang, tubuh tegapnya dibalut jubah gelap, sorot matanya tajam namun tenang.
Vanessa menikmati makan malamnya dalam diam, gerak-geriknya anggun dan terkendali. Tak seperti Vivienne yang dulu, yang akan berbicara tanpa henti tentang hal-hal tak penting hanya demi mendapatkan sepotong perhatian. Malam ini, tak satu pun kata keluar dari bibirnya.
Maxime, yang tengah menyeruput sup panasnya, sesekali mencuri pandang ke arah wanita itu. Tatapannya terhenti cukup lama saat melihat Vivienne tak sedikitpun menunjukkan ketertarikan padanya. Sikap itu… aneh. Terlalu tenang, terlalu… bukan Vivienne.
Keheningan di antara mereka mulai terasa berat hingga akhirnya Maxime memecahnya.
“Lusa kau akan mulai menjalani tugasmu kembali sebagai Ratu,” ucapnya datar, tanpa menoleh.
Vanessa meletakkan sendoknya perlahan. Ia mengangguk kecil, lalu membalas dengan nada sopan,
“Aku tahu. Tapi… bolehkah aku mengajukan satu permintaan, Yang Mulia?”
Maxime mengangkat alis, penasaran. “Silakan.”
“Aku ingin kamar pribadiku dipindahkan ke sayap timur istana. Itu saja permintaanku.”
Maxime menatapnya tajam, ekspresinya nyaris tak terbaca. Permintaan itu mungkin terdengar sepele bagi orang lain, namun tidak baginya. Ia mengenal Vivienne terlalu lama untuk tahu: wanita itu tak akan pernah meminta menjauh darinya… setidaknya bukan wanita yang dulu.
Sayap timur adalah bagian tenang dari istana, terpisah dari pusat kediaman kekaisaran. Dikelilingi taman mawar putih dan air mancur yang gemericiknya bisa terdengar dari balkon. Tempat itu biasa digunakan untuk tamu bangsawan, atau bangsawan perempuan lanjut usia yang menginginkan kedamaian. Sebuah tempat yang sunyi… dan jauh dari kamar Maxime.
“Alasannya?” tanyanya tanpa ragu, suaranya berat.
Vanessa tersenyum kecil, lalu menatap supnya yang mulai mendingin.
“Aku hanya ingin mengganti suasana. Kamar yang sekarang terasa… terlalu membosankan. Aku pikir, suasana baru bisa membantuku tidur lebih nyenyak.”
Itu setengah dari kebenaran. Separuh lainnya tak akan ia ungkap—bahwa berada terlalu dekat dengan pria itu justru membuatnya tak nyaman. Ia tak bisa melupakan fakta bahwa Maxime adalah pria yang suatu saat akan menghukum Vivienne dengan kematian. Ia tak tahu apakah pria itu kini diam-diam mengamati dari balik tirai kamarnya… dan Vanessa tak mau mengambil risiko.
Namun, jawaban yang ia dapat bukanlah persetujuan seperti yang ia harapkan.
“Tidak,” jawab Maxime singkat.
Vanessa menatapnya, jelas terkejut. “Kenapa tidak?”
“Apa itu perlu alasan?” Maxime balik bertanya, dengan nada setengah menantang.
Vanessa mengangkat alis, matanya menajam. “Tentu saja. Bukankah semua keputusan harus punya alasan, apalagi jika itu menyangkut kenyamananku? Atau… Anda lebih suka saya terus berada di kamar yang tak lagi membuat saya bisa tidur?”
Maxime tak langsung membalas. Ia bersandar di kursinya, jemarinya melingkar tenang di gelas anggur yang setengah kosong. Tatapannya tertuju pada wanita di seberangnya. Ada sesuatu yang berubah—ia tahu itu. Dan perubahan itu membuat perutnya seperti dipelintir sesuatu yang tak kasat mata.
Vivienne yang dulu akan memohon, merayu, atau bahkan menangis. Tapi wanita di hadapannya sekarang bicara dengan logika dingin dan sikap berkelas yang tak pernah ia kenal sebelumnya.
Ada ketegangan halus di udara. Bukan pertengkaran terbuka, tapi tarik-menarik halus antara dua kekuatan yang sedang mengukur satu sama lain.
“Kita sudah cukup sering menjadi bahan perbincangan di istana ini, dan di luar sana,” ucap Maxime akhirnya, nadanya datar namun tegas. “Jika kau pindah dari kamar permaisuri, itu hanya akan memicu rumor baru.”
Vanessa memutar bola matanya pelan, malas. Gerakan kecil yang tak luput dari pengamatan Maxime—dan entah kenapa, justru membuat rahangnya mengeras.
“Sejak kapan Anda peduli pada rumor?” balas Vanessa, suaranya tenang namun tajam. “Bukankah seharusnya Anda senang? Dengan begitu saya tidak akan mengganggu… kalian.”
Alis Maxime sedikit terangkat. “Kalian?” Ia menyuarakan ulang kata itu, seolah tak mengerti. Atau mungkin pura-pura tidak mengerti.
Vanessa menahan helaan napas. Ia enggan menyebut nama itu—nama yang terlalu sering mengambang di sekitarnya sejak berada di tubuh ini.
“Kau dan pelayan itu,” jawabnya akhirnya, dingin. Tak ada emosi yang tumpah di wajahnya, tapi Maxime bisa melihat kilatan yang berbeda di mata Vivienne—atau siapapun wanita yang kini menatapnya seperti itu.
Maxime menegakkan tubuhnya, suaranya sedikit lebih rendah, lebih berat.
“Dia punya nama, Vivienne.”
Vanessa menyipitkan mata. “Dan aku tidak peduli. Jadi kalau kau tidak ingin aku mengganggumu, sebaiknya penuhi permintaanku. Mudah, bukan?”
Maxime menatap Vivienne dengan tajam, namun tak segera menjawab. Keheningan itu menusuk, seperti benang tak terlihat yang meregang di antara mereka.
Lalu, dengan perlahan, ia menurunkan gelas anggurnya ke meja, nadanya tenang namun mengandung kekuasaan yang tak bisa ditawar.
“Permintaanmu tetap kutolak.”
Suasana di ruang makan seketika membeku. Vanessa mematung di tempat duduknya, tidak terkejut—tapi juga tidak kalah. Hanya rahangnya yang sedikit mengeras, matanya tetap menatap Maxime tanpa gentar.
Maxime bangkit dari kursinya dengan gerakan pelan namun penuh otoritas. Gaun malam Vivienne berdesir pelan ketika hembusan angin dari pintu yang terbuka menerpa. Tapi ia tak bergerak. Hanya duduk di sana, seperti patung permaisuri yang menolak dipermainkan.
Maxime berjalan mengitari meja tanpa memedulikan pandangan wanita itu, hingga tepat ketika ia hendak melewati kursinya, ia berhenti sebentar—sekilas menatap ke arahnya.
“Kalau kau ingin tidur nyenyak, mungkin kau harus mulai dari ketenangan pikiran. Bukan dengan berpindah ruangan,” ucapnya dingin.
Kemudian, tanpa menunggu tanggapan, Maxime kembali melangkah keluar dari ruang makan, menyisakan jejak aroma maskulin dan bayangannya yang memudar di balik pintu besar yang perlahan tertutup.
Vanessa menatap punggung Maxime yang menjauh. Tak ada air mata, tak ada kemarahan. Hanya diam panjang… dan dalam.
Ia menyandarkan punggungnya pada kursi, lalu tersenyum tipis—senyum penuh perhitungan.
“Baiklah, Maxime. Kalau kau menolak permintaan yang paling sederhana… jangan salahkan aku jika nanti aku membuat keputusan yang tak kau sangka.”
——
Seperti yang dikatakan Maxime dua malam lalu di meja makan, kini Vanessa—yang menempati tubuh Vivienne—duduk di meja kerja besar berlapis kayu mahoni gelap, menghadapi tumpukan dokumen yang tampaknya tak kunjung habis. Ini adalah hari pertama ia benar-benar menjalani tugasnya sebagai seorang ratu.
Kertas-kertas di hadapannya berisi laporan keuangan, permohonan izin, hasil audit tahunan, hingga pembaruan perjanjian dagang dengan beberapa wilayah terkemuka yang berada dalam kekuasaan serta perlindungan Kerajaan Aragon.
Nama-nama wilayah itu samar-samar teringat oleh Vanessa—ia sempat membacanya di salah satu buku geografi kerajaan yang ia pinjam dari perpustakaan.
• **Valmontia**, wilayah pegunungan yang terkenal dengan tambang batu mulia dan logam langka.
• **Ethelwen**, kota pesisir yang menjadi pusat pelabuhan dan perdagangan rempah\-rempah.
• **Draymoor**, daerah pertanian subur yang menyuplai sebagian besar bahan pangan ke istana.
• **Caervyn**, sebuah wilayah perbukitan yang terkenal dengan akademi militer dan sekolah siasat perang.
Membaca dan menandatangani dokumen ini bukan hal yang mustahil bagi Vanessa—terbiasa dengan dokumen medis dan laporan kasus yang rumit—namun konteksnya kini berbeda. Ia tak lagi berurusan dengan pasien, tapi dengan politik, rakyat, dan sistem birokrasi bangsawan.
Tangannya mulai bergerak luwes, menandatangani satu per satu dokumen dengan nama Vivienne Seraphielle d’Aurenhart yang kini menjadi identitas barunya. Meski begitu, Vanessa tahu, jika ingin mengubah nasib Vivienne, ia tidak bisa hanya menandatangani berkas di balik meja. Ia harus memahami dunia ini, ikut terlibat di dalamnya—tanpa kehilangan dirinya sendiri.
Vanessa menghela napas dan menyandarkan tubuhnya sejenak, memandangi cahaya matahari yang menyorot dari jendela besar di samping ruang kerjanya.
“Bekerja sebagai ratu ternyata tak jauh beda dengan saat aku menangani pasien di ruang ICU,” gumamnya pelan. “Hanya saja… kali ini yang dipertaruhkan bukan satu nyawa, tapi seluruh kerajaan.”
Ketukan di pintu ruang kerja menghentikan gerakan tangan Vanessa yang tengah membubuhkan tanda tangan di dokumen terakhir. Pintu terbuka perlahan, menampilkan sosok Bastian yang berdiri tegak dengan tatapan tegas seperti biasanya.
“Yang Mulia Kaisar memanggil Anda ke ruang kerjanya, Yang Mulia Ratu,” ucap Bastian dengan nada formal namun sopan.
Vanessa menegakkan punggungnya. Dalam hati, ia mendesah. Lagi?
“Baiklah,” ujarnya sambil bangkit, merapikan gaun krem halusnya dan berjalan mengikuti Bastian melewati lorong panjang yang menghubungkan ruang administrasi dengan kantor pribadi Maxime.
Begitu sampai, pintu besar dengan ukiran lambang kerajaan dibuka oleh dua penjaga. Di dalamnya, Maxime berdiri membelakangi jendela besar, cahaya matahari sore menyorot punggungnya, menciptakan siluet tegas yang membuat siapa pun akan berpikir dua kali sebelum melawannya.
Vanessa melangkah masuk dengan tenang, menunduk sedikit memberi salam. “Anda memanggil saya, Yang Mulia?”
Maxime menoleh. “Duduklah.”
Vanessa menuruti tanpa banyak bicara, duduk di sofa panjang di seberang meja ukiran emas yang memisahkan mereka. Namun, pandangannya segera jatuh pada seorang pria muda yang berdiri di samping Maxime. Usianya mungkin tak jauh berbeda darinya—mungkin dua puluh lima, atau dua puluh enam. Rambut hitam arangnya tersisir rapi ke belakang, matanya berwarna abu-biru yang mencolok, dengan postur tinggi dan pakaian formal khas kalangan birokrat muda.
“Vivienne,” Maxime membuka suara, “perkenalkan, ini Lucien Ardent Valcrist. Mulai hari ini, dia akan menjadi asisten pribadimu dalam menjalankan tugas-tugas administratif dan mendampingi saat kamu mewakili kerajaan.”
Lucien menunduk dengan sopan. “Merupakan kehormatan bagi saya bisa bekerja di bawah bimbingan Anda, Yang Mulia Ratu.”
Vanessa menatap pemuda itu beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum kecil. Sikapnya tenang, matanya penuh rasa ingin tahu—tapi tetap menjaga sikap hormat. Tipe orang yang mudah disukai, namun juga bisa berbahaya jika tak dikenali dengan baik.
“Jadi… kau akan menjadi ‘penuntun’ku mulai sekarang?” tanya Vanessa sambil menyilangkan kaki, suaranya ringan namun menyiratkan kecermatan.
“Jika Yang Mulia mengizinkan, saya akan memastikan Anda memahami seluruh sistem administratif dan tata laksana kerajaan dengan cara yang paling efisien,” jawab Lucien, suaranya tenang tapi percaya diri.
Maxime memotong, “Kau memang ratu, Vivienne. Tapi kau tidak pernah tertarik dengan hal semacam ini sebelumnya. Aku tidak bisa membiarkanmu mengacau karena rasa bosanmu yang tiba-tiba berubah menjadi rasa ingin tahu. Lucien akan memastikan kau tidak membuat kesalahan.”
Nada suaranya datar namun penuh penekanan.
Vanessa hanya menatapnya sejenak sebelum membalas tenang, “Tentu. Aku akan bekerja sama dengannya… selama dia bisa mengimbangiku.”
Lucien tampak terkejut, lalu menunduk sopan. “Saya akan melakukan yang terbaik, Yang Mulia.”
Vanessa tersenyum tipis, sekilas saja, namun cukup untuk memperlihatkan sorot ketertarikan dalam tatapannya. Bukan karena Lucien menarik perhatian secara berlebihan, tapi karena ada sesuatu dalam sorot mata pemuda itu yang entah mengapa mengingatkannya… pada seseorang dari dunia lamanya.
Seseorang yang pernah membuatnya percaya pada cinta—lalu menghancurkannya tanpa ampun.
Namun secepat senyum itu muncul, secepat itu pula Vanessa menghapusnya. Ia menggeleng pelan, seolah ingin mengenyahkan bayang-bayang yang tak seharusnya ia simpan lagi.
Lupakan dia Vanessa! ucapnya dalam hati.
Sementara itu, dari seberang meja, mata elang Maxime tak luput menangkap interaksi singkat itu. Ia melihat bagaimana Vivienne—wanita yang dulu tak pernah menatap siapa pun selain dirinya—kini menatap pria lain dengan tatapan yang… terlalu tenang. Terlalu akrab.
Ada sesuatu dalam cara Vivienne memandang Lucien yang membuat kerutan tipis muncul di antara alis Maxime. Bukan kemarahan. Tapi sesuatu yang lebih halus dan menyebalkan: kegelisahan.
Apa dia tertarik padanya?
Pertanyaan itu terlintas cepat—dan langsung ditepis olehnya.
Tidak penting. Bukan urusanku.
Maxime kembali menyandarkan punggung ke kursi kerjanya, menyilangkan tangan di dada. Namun sorot matanya menggelap, masih tertuju pada punggung Vivienne yang mulai menjauh bersama asistennya.
Tentu saja, dia tidak peduli.
Tapi mengapa dirinya merasa… tidak terima?
double up thor
ya udah cerai aja vanesa