Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk melupakan—terutama bagi Althea Reycecilia Rosewood, wanita dewasa berusia 27 tahun berparas cantik, dibalut pakaian casual yang membuatnya terlihat elegan, tatapan lembut dengan mata penuh kenangan. Setelah lama tinggal di luar negeri, ia akhirnya kembali ke Indonesia, membawa harapan sederhana 'semoga kepulangannya tak menghadirkan kekecewaan' Namun waktu mengubah segalanya.
Kota tempat ia tumbuh kini terasa asing, wajah-wajah lama tak lagi akrab, dan cerita-cerita yang tertunda kini hadir dalam bentuk kenyataan yang tak selalu manis. Namun, di antara perubahan yang membingungkan, Althea merasa ada sesuatu yang masih mengikatnya pada masa lalu—benang merah yang tak terlihat namun terus menuntunnya kembali, pada seseorang atau sesuatu yang belum selesai. Benang yang tak pernah benar-benar putus, meski waktu dan jarak berusaha memisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon About Gemini Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian Dari Kita
Pagi itu di Zermatt, langit tampak sedikit mendung, seakan ikut merasakan berat hati Althea dan Aleron. Setelah beberapa hari yang penuh kejutan dan kehangatan bersama Baby Cio, hari ini mereka harus kembali ke Zürich. Proyek Phoenix menuntut perhatian dan keterlibatan penuh dari mereka berdua. Meski berat, realita pekerjaan tidak bisa ditunda lebih lama.
Sebelum berangkat, mereka mengunjungi kantor pihak berwajib setempat untuk melapor. Suasana kantor tampak tenang, namun sorot mata petugas menunjukkan bahwa mereka sudah menunggu kabar dari dua orang yang telah membuat mereka penasaran beberapa hari terakhir ini.
“Selamat pagi,” sapa Althea dengan sopan.
“Selamat pagi. Silakan duduk,” jawab petugas pria dengan nada lebih ramah dari sebelumnya.
Setelah menjelaskan bahwa mereka akan kembali ke Zürich karena pekerjaan yang mendesak, pihak berwajib mengangguk memahami.
“Kami sudah mengirimkan data kasus ini ke kantor kepolisian Zürich, jadi prosesnya bisa dilanjutkan di sana. Kalian hanya perlu melakukan pelaporan lanjutan dan kami akan terus berkoordinasi,” jelas sang petugas.
Lalu, sang petugas membuka sebuah map dan menyerahkan dokumen hasil tes DNA kepada mereka. “Hasil ini menyatakan bahwa kalian berdua bukan orang tua kandung bayi laki-laki tersebut. Kami mohon maaf atas kesalahan asumsi sebelumnya.”
Thea menghela napas panjang, antara lega dan masih merasa berat hati. Al hanya menatap hasil tes itu dalam diam, ekspresi wajahnya tak bisa ditebak.
“Kami memberikan dua opsi kepada kalian,” lanjut sang petugas.
"Pertama, kalian bisa meninggalkan bayi ini di panti asuhan sementara waktu sampai penyelidikan lebih lanjut selesai. Atau… jika kalian bersedia, kalian boleh tetap merawat bayi ini untuk sementara waktu dengan tanggung jawab penuh sampai orang tuanya ditemukan.”
Al dan Thea saling pandang. Butuh waktu sesaat untuk mencerna pilihan yang diberikan. Thea akhirnya meminta, “Bolehkah kami berdiskusi sebentar?”
Petugas mengangguk dan mempersilakan mereka berbicara di ruang tunggu. Di sana, Baby Cio tertidur dalam pelukan Thea. Al duduk di sampingnya, menatap bayi mungil itu, lalu menatap Thea. Suasana hening, hanya suara napas lembut Baby Cio yang terdengar.
“Gue tahu ini akan berat,” ujar Al pelan, “tapi... gue nggak tega ninggalin dia sekarang. Lihat dia, dia bahkan tidur lebih tenang di pelukan lo dibanding tempat lain.”
Thea mengangguk pelan, matanya menatap wajah polos Baby Cio. “Gue juga tidak bisa membayangkan bangun besok dan tidak melihat senyumnya. Entah kenapa, meski hanya beberapa hari, dia sudah seperti bagian dari kita.”
Al tersenyum tipis. “Kita belum tahu apa yang akan terjadi nanti. Tapi gue yakin, untuk sekarang… tempatnya memang bersama kita.”
Thea menoleh padanya, mata mereka bertemu, dan untuk sesaat dunia terasa lebih tenang.
“Baiklah,” ucap Thea akhirnya, mantap. “Kita ajak dia ke Zürich.”
Beberapa saat kemudian, mereka kembali menemui pihak berwajib dan menyampaikan keputusan mereka.
“Kami akan tetap merawat Baby Cio dan membawanya ke Zürich untuk sementara,” kata Al dengan tegas.
Petugas itu mengangguk dan menandatangani beberapa dokumen. “Terima kasih atas kebaikan dan tanggung jawab kalian. Kami akan terus berkoordinasi dengan pihak Zürich dan menghubungi kalian jika ada perkembangan.”
Beberapa jam kemudian, mereka sudah berada di stasiun, bersiap untuk naik kereta kembali ke Zürich. Baby Cio terlelap dalam stroller barunya, dikelilingi oleh dua orang dewasa yang kini memikul peran yang lebih besar dari sekadar desainer dan CEO.
Kini mereka bertiga, satu tim—dan entah kenapa, satu keluarga kecil yang perlahan terbentuk dalam cara yang tak terduga.
Dan kereta pun mulai melaju, membawa mereka kembali ke Zürich… dan mungkin, menuju babak baru kehidupan mereka.
♾️
Althea dan Aleron tiba di Stasiun Zurich tepat saat malam mulai merayap tenang. Udara dingin Eropa menggigit di sekitar peron, sementara cahaya lampu kuning dari tiang-tiang di stasiun terpantul di atas trotoar yang basah. Bayi Cio masih terlelap dalam dekapan hangat sang bunda, ditutup selimut tipis bercorak bintang. Seorang sopir dari cabang PT MS Corporation segera menyambut mereka dengan mobil hitam yang sudah disediakan, membantu mengangkat koper dan kereta bayi ke bagasi. Jalanan kota Zurich saat itu sepi, langit cerah dan bintang-bintang berkerlip, seolah mendampingi mereka melintasi malam menuju hotel tempat mereka pernah menginap sebelumnya.
Sesampainya di hotel tempat mereka menginap sebelumnya, Aleron langsung menghampiri meja resepsionis.
"Selamat malam, kami sudah reservasi kamar family room dua hari lalu. Aleron Rafael Moonstone," ucap Al sopan.
Petugas resepsionis tersenyum meminta waktu sebentar memeriksa sistem. Beberapa detik kemudian ia kembali menatap mereka dengan raut canggung. "Maaf sekali, Mr. Moonstone. Kamar family room yang Anda pesan masih dalam proses maintenance dan belum bisa digunakan malam ini."
Althea spontan menoleh ke arah Al dengan ekspresi terkejut. “Apa? Satu-satunya kamar dengan dua ruangan?”
"Ya, Mrs. Kami mohon maaf. Saat ini satu-satunya kamar yang tersedia hanya suite dengan satu ruang tidur besar. Mengingat ini musim liburan, kami juga sudah hampir fully booked," jelas resepsionis.
Al tersenyum, sedikit geli. “Sepertinya malam ini kita harus kompromi, ya?”
Althea menghela napas dalam. Ia melirik Baby Cio yang tertidur pulas di stroller. “Kita nggak punya pilihan lain,” katanya pelan, lalu mengangguk pada petugas. “Kami ambil suite itu.”
Kamar mereka luas dan hangat, didominasi warna-warna krem dan cokelat dengan pencahayaan temaram yang menenangkan. Nuansa mewah dengan lampu-lampu redup dan interior modern yang hangat. Thea langsung membawa Baby Cio ke sofa panjang dan melepas jaket tebal si kecil. Al membuka koper, mengeluarkan beberapa perlengkapan yang mereka beli kemarin.
“Satu ranjang besar,” gumam Al sambil menatap tempat tidur king size.
Thea melirik cepat. “Gue tidur di sofa.”
“Enggak bisa, Thea,” sahut Al cepat. “Lo bisa sakit. Kalau lo sakit, proyek Phoenix bisa kacau.”
Thea mengerucutkan bibir. “Terus menurut lo tidur satu ranjang itu solusi?”
“Kita sudah dewasa, Thea. Dan ada Cio di tengah-tengah kita. Kita tidur, jaga dia sama-sama. Bukan yang lain.” Al menekankan kalimatnya dengan tenang.
Setelah berdebat singkat, akhirnya Thea menyetujui dengan satu syarat. “Oke, tapi jangan macem-macem. Ini murni karena Cio.”
Al mengangkat tangan. “Gue janji. Gue cuma nggak mau lo bangun-bangun sakit pinggang.”
Mereka meletakkan koper dan kereta bayi di pojokan, lalu masing-masing menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Sebelum benar-benar merebahkan diri, mereka menyibukkan diri dengan rutinitas malam untuk Baby Cio. Thea mengambil tongkat popok dan pembersih bayi, menantikan kesempatan membingkai ulang popok sang buah hati. Aleron dengan lembut menggendong Cio dari ranjang kecil portabel miliknya, tangan kiri menopang kepala mungil itu dengan penuh kehangatan.
Setelah popok diganti dan Cio tercium harum sabun bayi yang mereka gunakan, Aleron mendekap botol susu yang telah disiapkan. Thea duduk di tepi ranjang, matanya menyiratkan kelelahan dan cinta sekaligus, sementara Aleron menidurkan putra kecil mereka dengan lembut.
Al menyiapkan botol susu hangat. “Dan sekarang dia mau tidur dengan dua penjaga yang baru belajar jadi orang tua.”
"Bukan orang tua,” gumam Thea pelan.
“Penjaga sementara.”
Al menatap Thea sebentar. Tapi ia tak menanggapi lebih jauh, hanya menggendong Cio sambil memberikan botolnya. Bayi itu menyedot susu dengan lahap, lalu tertidur dengan cepat.
“Tidur ya, boy,” bisik Al. “Besok daddy dan mommy palsumu harus kerja lagi.”
Thea mendesah. “Ngomong kayak gitu kayak... kita beneran orang tuanya.”
Al diam sejenak, lalu berbaring ke sisi ranjang sambil menarik selimut untuk Cio. “Tapi kita memang seperti itu sekarang, Thea. Apa pun statusnya.”
Thea tak menjawab. Ia hanya menatap wajah mungil Cio yang terlelap di tengah mereka. Senyumnya perlahan merekah, sementara dadanya sedikit sesak dengan emosi yang tak bisa ia jelaskan. Setelah itu, pembicaraan kecil tentang tempat tidur pun dimulai.
“Besok kita ke kantor cabang, lalu ke venue klien, kan?” tanya Thea, masih menatap langit-langit.
“Ya,” jawab Al pelan. “Cincin Phoenix harus ditampilkan sempurna.”
“Dan kita harus terlihat profesional, meskipun...” Thea menoleh ke tengah, ke bayi kecil yang tidur nyenyak.
Al ikut menoleh. “...Meskipun kita sekarang punya tanggung jawab baru,” lanjutnya.
Keduanya diam sejenak. “Selamat malam, Thea,” ucap Al akhirnya.
“Selamat malam” gumam Thea, perlahan memejamkan matanya.
Lampu kamar diredupkan. Dalam diam yang damai, tiga jiwa yang anehnya saling menyatu itu terlelap dalam satu ranjang besar — seolah mereka adalah satu keluarga kecil yang sedang menunggu takdir mengukir kelanjutannya.
Kala kelelahan mulai merayap ke tubuh mereka, pikiran tentang hari esok tetap bersemayam dalam benak Althea dan Aleron. Pikirannya melayang pada rapat pagi nanti tentang realisasi Proyek Phoenix di kantor cabang Zurich, di mana detail terakhir proyek itu harus disiapkan dengan cermat. Termasuk yang membuatnya tidak bisa benar-benar tenang adalah acara pribadi dengan klien penting yang akan digelar keesokan harinya, di mana cincin utama Phoenix — karya terhebat tim mereka — akan dipamerkan. Namun, di balik pikiran profesional itu, muncul rasa syukur lembut, malam ini mereka melewati segala kecanggungan dan kelelahan sebagai satu kesatuan keluarga. Dalam keheningan malam, mata Thea terpejam di bahu Aleron, sementara Aleron menatap langit-langit kamar dengan senyuman kecil. Rangkaian hari yang berat menanti, tetapi kini mereka tersenyum dalam kehangatan pelukan senja, bersiap terlelap untuk menghadapi hari penting yang akan datang esok pagi.
♾️
Pagi itu, suasana Zurich masih berselimut embun tipis saat Al dan Thea bersiap menuju kantor cabang MS Corporation yang berada di pusat kota. Matahari baru saja naik malu-malu di balik gedung-gedung klasik Eropa yang berjajar rapi. Al memilih untuk menyetir sendiri mobil hitam elegan yang telah disiapkan oleh kantor cabang sejak malam sebelumnya. Di kursi belakang, Baby Cio tertidur pulas dalam strolernya yang telah dipasang sabuk pengaman dengan rapi.
Sesampainya di kantor cabang, suasana sedikit berbeda dari biasanya. Bangunan bercorak modern minimalis menyambut mereka dengan aura sibuk khas dunia korporasi. Di lobi, beberapa pegawai terlihat saling mencolek dan berbisik melihat kedatangan Al dan Thea yang datang bersama seorang bayi. Tatapan kagum sekaligus penasaran menyertai langkah mereka.
"Itu CEO kita, kan? Gila... dia datang sendiri dan bawa stroller..." bisik salah satu staf perempuan.
"Katanya istrinya head designer Phoenix juga. Mereka pasangan sempurna banget ya... bahkan anak mereka cakep banget tuh," sahut staf lainnya sembari menatap ke arah Baby Cio yang tertidur tenang.
Al hanya menanggapi bisik-bisik itu dengan senyum tipis. Ia memang sudah terbiasa jadi pusat perhatian, dan anehnya, hari ini ia terlihat sangat menikmati gosip ini.
Sementara itu, Thea berjalan sedikit lebih cepat di depannya, menggenggam folder proyek sambil menghela napas pelan, mencoba menahan kekesalan yang mulai mengusik perasaannya.
"Tenang, Thea. Fokus. Ini demi Phoenix," gumamnya dalam hati.
Di ruang meeting lantai tiga, para tim kantor cabang sudah berkumpul. Proyek Phoenix hari ini masuk tahap akhir desain teknis: penggabungan artisanal design dan engineering structure untuk cincin vintage berkonsep village of love. Thea sebagai head designer mempresentasikan rincian akhir desain utama, termasuk:
Desain Ornamen: Cincin akan memiliki ukiran tangan berbentuk rumah-rumah kecil di pegunungan Swiss, dilapisi rose gold dan white gold sebagai simbol kehangatan dan kemurnian cinta.
Pusat Batu Mulia: Berlian potongan bulat klasik yang merepresentasikan cinta abadi, dikelilingi permata kecil berbentuk bunga edelweiss.
Teknologi Sensorik: Untuk pameran tertutup, cincin dilengkapi dengan chip kecil nonaktif sebagai gimmick interaktif, ketika disentuh akan menyalakan cahaya LED kecil dari base display.
Namun, saat diskusi semakin teknis, Baby Cio mulai rewel. Tangisannya yang halus perlahan mengganggu suasana meeting.
"Maaf, kita istirahat sebentar ya," ucap Al sambil berdiri dan menepuk punggung Baby Cio pelan. Semua orang tampak maklum, bahkan tersenyum melihat cara Al begitu tenang menghadapi bayi mungil itu.
Thea yang awalnya sedikit panik, ikut membantu mengayun stroller sembari menyodorkan botol susu. Sepuluh menit kemudian, Baby Cio pun kembali tenang.
Setelah jeda singkat, diskusi kembali dilanjutkan. Mereka membahas:
Rencana Produksi: Koordinasi dengan pengrajin lokal untuk menyelesaikan cincin dalam waktu 4 hari.
Display Pameran: Visualisasi desain harus siap untuk dipresentasikan secara elegan di acara anniversary.
Backup Plan: Persiapan alternatif jika presentasi utama harus diganti dengan format video 3D.
Thea dan Al terlihat solid bekerja sebagai tim. Mereka saling melengkapi: Al mengambil sisi teknis dan strategi komunikasi, sedangkan Thea bertanggung jawab penuh pada sisi visual dan nilai sentimental desain.
♾️
Mobil melaju perlahan melewati jalanan Zurich yang mulai diselimuti cahaya senja. Pepohonan yang tertata rapi di sepanjang trotoar memantulkan bayangan ke jendela mobil. Di dalam, suasana cukup tenang. Baby Cio telah terlelap kembali dalam car seat-nya di kursi belakang, tertutup selimut kecil berwarna biru lembut. Thea memeluk map berisi catatan desain, sementara Al fokus menyetir.
Beberapa menit dalam diam, akhirnya Al membuka suara. "Menurut lo, presentasi kita tadi cukup meyakinkan?" tanyanya tanpa memalingkan pandangan dari jalan.
Thea mengangguk pelan.
"Cukup. Tapi gue tetap khawatir soal detail finishing di bagian kecilnya. Ukiran tangan itu… sangat sensitif. Salah sedikit saja, kesan 'hangat' yang kita ingin bangun bisa jadi malah terasa terlalu klasik, atau malah terlalu ramai."
"Iya, gue juga mikir soal itu," sahut Al. "Makanya tadi aku minta tim desain cabang fokus di tekstur dan bayangan ukiran. Aku tahu kamu ingin membuat itu tampak hidup, bukan sekadar motif tempel."
Thea melirik Al sekilas, lalu menatap keluar jendela lagi.
"Phoenix ini… lebih dari sekadar cincin, Al. Ini tentang cerita. Tentang dua jiwa yang menyatu karena cinta yang melampaui logika. Pasangan Legard... mereka membuktikan kalau cinta itu bukan soal sempurna, tapi soal bagaimana bertahan dan saling percaya."
Al tersenyum tipis, nada bicaranya berubah menjadi sedikit lembut.
"Makanya lo ambil inspirasi bentuknya dari desa di Zermatt, ya? Karena cinta mereka lahir dan tumbuh di sana."
Thea mengangguk.
"Desa kecil, gunung bersalju, aroma kayu di musim dingin... semua itu bukan hanya latar, tapi juga simbol. Simbol ketulusan yang tenang dan konsisten. Bukan cinta yang meledak-ledak seperti kembang api, tapi yang menyala kecil… dan tak padam."
Al mengangguk sambil melirik sebentar ke kaca spion untuk memastikan kondisi Baby Cio, lalu kembali fokus ke jalan.
"Gue sudah minta tim Zurich kirim prototipe awal malam ini ke hotel. Kita akan review bareng. Kalau ada yang kurang, kita minta revisi maksimal dua hari. Karena setelah itu, harus masuk ke tahapan pemolesan."
"Dan satu hari untuk quality check dan foto presentasi," sambung Thea cepat.
"Lo ingat semuanya. Seperti biasa," gumam Al, terdengar bangga.
Thea menatap Al, ingin tersenyum tapi tak jadi. Matanya kembali ke jendela.
"Karena ini penting. Karena proyek ini... bukan cuma untuk mereka, tapi untuk kita juga. Untuk membuktikan kalau kita masih bisa bekerja sama. Profesional."
Al menoleh sedikit, menatapnya singkat. "Dan untuk membuktikan kalau dua orang yang pernah saling menyakiti... masih bisa menciptakan sesuatu yang indah."
Keheningan kembali menyelimuti mereka untuk beberapa saat. Hanya suara roda mobil dan napas tenang Baby Cio yang terdengar. Tapi dalam keheningan itu, mereka sama-sama tahu: Phoenix bukan hanya proyek. Ini adalah refleksi kisah cinta yang seharusnya diperjuangkan—meski jalannya tidak mudah.
Setibanya di hotel, langit Zurich telah berwarna jingga keunguan. Dan di dada mereka, semangat untuk menyelesaikan proyek ini terasa seperti bara yang kembali menyala.