NovelToon NovelToon
Jodohku Teman Mama

Jodohku Teman Mama

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Raisa tak pernah mengira hidupnya akan berubah drastis setelah ulang tahunnya yang ke-23. Gadis ceria itu terkejut ketika sang mama mengenalkannya pada seorang pria—bukan untuk dijodohkan dengan lelaki muda seperti biasanya, melainkan dengan teman dekat mamanya sendiri, seorang pria dewasa bernama Ardan yang berusia hampir dua kali lipat darinya.

Ardan, seorang duda mapan berwibawa, awalnya tak berniat menerima tawaran perjodohan itu. Namun, kepribadian Raisa yang hangat dan polos perlahan membuatnya goyah. Raisa pun dilanda dilema: bagaimana bisa ia jatuh hati pada seseorang yang selama ini ia kenal sebagai “Om Ardan”, sosok yang sering datang ke rumah sebagai sahabat mamanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 22

Udara malam di balkon apartemen itu dingin, tapi kepala Raisa terasa jauh lebih berat. Kata-kata Bu Ratna terus berputar di pikirannya, mengalahkan suara kota yang ramai di bawah sana. “Kalau kamu benar-benar sayang, kamu nggak akan biarin dia hancur karena kamu.”

Ia memejamkan mata, memeluk dirinya sendiri di dalam selimut yang baru saja disampirkan Ardan.

Meski suaminya sudah berkata ia tak pernah menyesal menikahinya, Raisa tahu dunia di luar sana tidak sebaik itu. Dunia tetap kejam.

Ardan duduk di sampingnya, tidak berkata apa-apa untuk beberapa saat. Hanya membiarkan keheningan meresap di antara mereka. Ia tahu istrinya sedang berpikir keras. Ia tahu, karena tatapan Raisa selalu sama ketika sesuatu mengganggu pikirannya—mata itu seperti tak benar-benar melihat apa pun, tapi sibuk menatap ke dalam, pada dirinya sendiri.

“Aku kelihatan bego banget, ya?” Raisa tiba-tiba bicara.

Ardan menoleh, alisnya terangkat. “Kenapa ngomong gitu?”

“Karena aku… selalu takut sama apa kata orang. Sama apa yang mereka pikirin. Sama apa yang mereka bilang di belakang kita.”

Ardan menghela napas panjang. Ia meraih tangan Raisa, menggenggamnya erat. “Rai… dunia nggak pernah berhenti ngomongin kita. Kalau kita sibuk mikirin semua mulut itu, kita nggak akan pernah hidup tenang.”

“Tapi ini beda, Om,” suara Raisa gemetar. “Ini bukan cuma gosip di Instagram. Ini sampai ke perusahaan Om. Sampai bikin orang-orang penting mundur.”

Ardan menatapnya dalam. “Dengerin aku baik-baik. Yang keluar-masuk perusahaanku itu karena keputusan mereka sendiri, bukan karena kamu. Jangan bawa semua beban ini ke pundakmu.”

Tapi meski ia bicara seperti itu, Raisa tahu Ardan sedang berusaha keras menenangkan dirinya sendiri juga. Wajahnya lelah, garis di keningnya semakin dalam. Dan itu membuat Raisa semakin diliputi rasa bersalah.

Beberapa hari kemudian...

Raisa akhirnya memberanikan diri kembali ke kampus. Ia harus mengurus sidang skripsi, dan mau tak mau harus menghadapi tatapan orang-orang.

Begitu ia melangkah ke gedung fakultas, bisik-bisik langsung terdengar.

“Eh, itu kan… Raisa.”

“Iya, yang nikah sama pengusaha itu.”

“Umurnya 40-an, kan? Gila sih.”

“Ya jelas, demi hidup enak kali.”

Raisa pura-pura tak mendengar, tapi suara itu menusuk telinganya seperti jarum. Ia berjalan cepat menuju ruang akademik, menundukkan kepala agar tak terlalu menatap orang-orang.

Namun tak bisa ia hindari ketika Dina—teman baiknya—menyusul sambil menarik lengannya. “Rai! Astaga, kamu beneran balik!”

Raisa tersenyum tipis. “Iya. Harus ngurus sidang.”

Dina memeluknya. “Aku kangen banget. Tapi… kamu siap, kan? Semua orang di sini kayaknya pada ribut ngomongin kamu.”

Raisa menegakkan bahu. “Aku harus siap. Kalau nggak, aku nggak akan pernah balik ke sini.”

Tapi kenyataannya, setiap tatapan itu membuat dadanya terasa sesak. Namun, ia tetap berusaha tenang dan mencoba baik-baik saja.

Sementara itu, di sisi lain, Ardan menghadapi badai yang tak kalah besar. Ia duduk di ruang kerjanya, menatap laporan keuangan di layar laptop. Beberapa kontrak besar benar-benar dibatalkan. Klien lama yang sudah bertahun-tahun bekerja sama dengannya menarik diri, hanya karena “tak mau ikut terlibat dalam kontroversi.”

Teleponnya berdering. Dari sekretarisnya.

“Pak, ada dua klien yang minta pertemuan darurat minggu depan. Mereka bilang ini menyangkut kelanjutan kerja sama.”

Ardan menutup wajahnya dengan tangan. “Baik. Jadwalkan.”

Begitu telepon ditutup, ia bersandar ke kursi, menatap langit-langit. Ini semua karena mereka nggak suka aku menikahinya.

Ia tahu masalahnya bukan Raisa. Masalahnya adalah dunia bisnis yang penuh gengsi, penuh orang yang mengira mereka berhak menilai kehidupannya.

Namun tetap saja, ia tak bisa mengabaikan kenyataan: semuanya berubah sejak pernikahan itu.

Malam itu, Raisa mencoba menghibur dirinya sendiri dengan memasak untuk Ardan. Ia menyiapkan sup ayam kesukaannya. Namun ketika Ardan pulang, ia hanya duduk diam di meja makan, tak banyak bicara.

“Om nggak suka masakanku?” Raisa mencoba tersenyum.

Ardan menggeleng cepat. “Bukan gitu. Aku cuma… capek.”

“Kantor?”

“Ya.”

Suasana menjadi hening. Raisa merasa seperti tembok tinggi berdiri di antara mereka.

“Om…” Raisa memberanikan diri. “Kalau semua ini bikin Om makin berat… mungkin—”

“Berhenti di situ.” Ardan memotong kalimatnya dengan tegas.

“Tapi Om—”

“Aku bilang berhenti, Raisa!” suaranya meninggi.

Raisa terdiam. Air matanya langsung menggenang, membuat Ardan sadar ia baru saja membuat kesalahan. Ia menghela napas, meraih tangan Raisa.

“Maaf. Aku nggak bermaksud marah. Aku cuma… nggak mau denger kamu ngomong kayak gitu lagi. Jangan pernah berpikir ninggalin aku, apalagi demi orang-orang itu.”

Raisa menunduk. “Tapi Om…”

“Cukup. Kita janji saling jaga, kan? Jangan cabut janji itu.”

Raisa mengangguk. Tapi hatinya masih belum tenang.

Beberapa hari kemudian, Bu Ratna kembali menghubunginya. Kali ini, ia memaksa Raisa bertemu di rumah besar keluarganya.

“Kamu masih muda,” kata Bu Ratna begitu Raisa duduk di depannya. “Kamu masih bisa punya hidup yang layak tanpa harus menyeret Ardan dalam semua masalah ini.”

Raisa mencoba menguatkan suara. “Saya nggak mau ninggalin Ardan, Bu.”

Bu Ratna menyipitkan mata. “Jadi kamu lebih mementingkan egomu daripada masa depan Ardan?”

Raisa tercekat. “Saya… sayang sama dia.”

“Kalau benar sayang, lepaskan. Itu yang terbaik untuknya.”

Raisa pergi dari rumah itu dengan tangan gemetar. Kepalanya penuh dengan suara-suara yang saling bertentangan—cintanya pada Ardan, rasa bersalahnya, dan tekanan dari keluarga mertuanya.

Malam itu, Raisa berdiri di balkon lagi, memandangi gemerlap kota. Ardan mendekat dari belakang, memeluknya.

“Kenapa kamu sering banget di sini akhir-akhir ini?” bisiknya.

“Karena di sini… aku bisa berpikir,” jawab Raisa pelan.

Ardan mengecup kepalanya. “Jangan terlalu banyak mikir. Kamu cuma perlu satu hal: percaya sama aku.”

Tapi Raisa tahu, ia tak bisa berhenti berpikir.

Karena untuk pertama kalinya sejak menikah, ia mulai bertanya pada dirinya sendiri:

Kalau aku benar-benar mencintainya… apa aku harus tetap tinggal? Atau justru pergi, demi kebaikannya?

1
Nurminah
manusia terkadang menilai sesuatu berdasarkan sudut pandang mereka tanpa tabayun dulu sehina itu menikah beda usia tapi laki-laki yg memiliki sugarbaby dianggap wajar zina dinormalisasi pernikahan dianggap aib
Aliya Awina
siapa yg gak sok baru datang langsung lamaran,,,
Julia and'Marian: 🤭🤭🤭,,
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!