NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Tuan Mafia

Jerat Cinta Tuan Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Qwan in

Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 13

Langit mulai kelabu saat Dewi melangkah masuk ke dalam hutan yang sunyi dan rimbun. Nafasnya terengah, dadanya naik turun tak beraturan. Keringat mengalir di pelipisnya, membasahi wajah yang pucat dan lelah. Rambutnya berantakan, gaunnya compang-camping, dan kakinya penuh luka gores karena ranting dan semak berduri. Tapi dia terus berjalan. tertatih, seolah kaki ini digerakkan bukan oleh tenaga, melainkan oleh rasa takut yang terus mendorongnya dari belakang.

"Aku harus... pergi jauh... jauh dari dia..." bisiknya pada dirinya sendiri, nyaris seperti mantra yang diulang untuk bertahan.

Hutan di hadapannya tak biasa. Dedaunan bergoyang pelan, seolah berbisik satu sama lain. Kabut tipis menggantung di udara, membentuk siluet-siluet samar yang membuat bulu kuduk Dewi berdiri. Tapi ia tak punya pilihan. Rafael sedang mencarinya, dan dunia di luar sana terlalu berbahaya.

Langkahnya terhenti saat matanya menangkap sesuatu. sebuah gubuk tua berdiri di antara pohon-pohon besar. Kayu dindingnya nyaris runtuh, dilapisi lumut hijau yang tampak bercahaya di bawah sinar matahari yang menembus celah dedaunan. Atapnya berlubang, seolah pernah dihantam badai. Namun ada sesuatu tentang tempat itu… sesuatu yang membuat Dewi merasa terpanggil.

“Tempat apa ini...?” gumamnya, menatap gubuk itu dengan napas terhuyung. “Apa kau... tempat perlindunganku?”

Ia melangkah mendekat dengan kaki gemetar, membuka pintu kayu yang berderit nyaring. Aroma tanah basah dan kayu lapuk menyeruak dari dalam. Meski kosong, gubuk itu terasa... hidup. Seolah menyimpan jejak bisikan masa lalu.

Dewi menurunkan tubuhnya perlahan ke lantai kayu yang dingin. Ia bersandar pada dinding, memejamkan mata, mencoba menenangkan degup jantung yang masih kacau.

"Aku aman di sini… bukan?" tanyanya, entah pada dirinya sendiri atau pada roh hutan yang diam-diam menyimaknya.

"Rafael takkan menemukanku… dia takkan masuk ke tempat sekelam ini…"

Suara angin menyusup masuk lewat celah-celah dinding, seperti menjawab. Dewi membuka mata, menatap langit-langit yang bocor dengan pandangan kosong.

“Kalau aku mati di sini… setidaknya bukan di tangannya,” gumamnya, lalu tertawa pelan. pahit dan getir.

Ia merapatkan tubuhnya sendiri, memeluk lututnya, dan berbisik lirih,

“Tolong… siapapun yang menjaga tempat ini… biarkan aku bersembunyi… sebentar saja…”

Dan di kejauhan, angin seolah menari di antara pepohonan, membawa suara-suara samar yang tak bisa dijelaskan. Hutan itu bukan sekadar hutan. ia hidup, dan kini, ia telah menerima satu jiwa yang luka.

...

Suasana di kediaman Rafael malam itu lebih menyerupai medan perang. Ruang kerja yang biasanya rapi dan sunyi kini hancur berantakan. Meja kayu mahoni yang kokoh telah terbelah dua, berkas-berkas berterbangan di udara. kursi-kursi terjungkal, dan kaca jendela pecah berhamburan di lantai, menyisakan serpihan tajam yang memantulkan cahaya remang dari lampu gantung yang berayun pelan di langit-langit.

Di tengah kekacauan itu, Rafael berdiri. Tegak. Membelakangi para anak buahnya. Tubuhnya menggigil bukan karena dingin, melainkan karena amarah yang begitu pekat, seperti bara yang siap meledak sewaktu-waktu. Kedua tangannya terkepal kuat, otot-otot rahangnya mengencang seperti kawat baja. Nafasnya berat, dadanya naik turun tak beraturan.

Di sekelilingnya, beberapa anak buahnya berdiri dengan kepala tertunduk, tak satu pun berani bersuara. Mereka tahu, Rafael bukan hanya murka. Dia terluka. Dan Rafael yang terluka… adalah Rafael yang paling mematikan.

“Kalian membiarkannya pergi…!” suara Rafael meledak, memecah kesunyian. Suaranya serak, namun penuh kekuatan seperti petir di tengah badai.

“Dia ada di bawah pengawasan kalian! Bagaimana bisa kalian kecolongan, hah?! APA KALIAN SEMUA BUTA?!” bentaknya, dan dengan satu ayunan tangan, ia menghempaskan bingkai foto yang tergeletak di atas lemari hingga hancur berkeping-keping.

Anak buahnya semakin menunduk. Satu di antaranya membuka mulut, hendak memberi penjelasan, tapi Rafael langsung membalikkan badan, menatapnya dengan mata merah menyala seperti bara yang menyala dari neraka terdalam.

“Tidak ada alasan. Tidak ada pembenaran,” katanya lirih, namun dengan tekanan yang membuat siapa pun bergidik.

“Dengar baik-baik… cari perempuan itu. Cari dia sampai dapat! Seret dia dari ujung bumi, dari dalam jurang, dari balik batu terakhir di dunia ini!”

Dia berjalan pelan menghampiri salah satu anak buahnya, menunduk sedikit dan berbisik tajam ke telinganya,

“Kalau perlu… sampai ke inti bumi sekalipun… KAU HARUS MENEMUKANNYA.”

Ia mundur selangkah, menatap mereka semua dengan tatapan gila yang tak pernah mereka lihat sebelumnya.

“Kalau tidak…” Rafael tersenyum kecil, sebuah senyum dingin yang membuat darah membeku,

“kandang harimau adalah tempat tinggal kalian berikutnya. Dan percayalah… aku yang akan melempar kalian ke dalamnya.”

Hening. Sunyi. Bahkan suara detik jam dinding seakan berhenti berdetak. Anak buahnya langsung bergerak. terbirit, nyaris lari menuju pintu untuk melaksanakan perintah, seolah nyawa mereka hanya tergantung pada seutas helai rambut.

Rafael berdiri kembali di tengah kekacauan itu. Tatapannya kosong, namun mengandung nyala api yang tak padam.

“Dewi…” bisiknya pelan.

“Kau milikku. Tak akan kubiarkan siapa pun. bahkan dunia ini. menyembunyikanmu dariku.”

Tangannya menggenggam sebuah kalung kecil yang sebelumnya terjatuh ke lantai. Kalung milik Dewi. Ia mengepalkannya erat, hingga ujungnya melukai telapak tangannya sendiri.

“Kenapa kau meninggalkanku, Dewi…?” bisiknya pelan, hampir tak terdengar.

"Padahal aku sudah memberimu segalanya..."

Matanya menyapu ruangan, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Rafael tak tahu harus ke mana. Ia, pria yang mengendalikan pasar gelap, yang bisa menghancurkan nyawa hanya dengan satu kata, kini merasa seperti bocah yang kehilangan arah. Seisi dunia bisa ia runtuhkan. Tapi kekosongan di dadanya… tak bisa ia isi bahkan dengan kehancuran sekalipun.

Ponselnya berdering. Suara itu menggema di tengah keheningan seperti dentang lonceng maut.

“Bos…” suara anak buahnya terdengar di ujung sana, hati-hati dan penuh tekanan.

“Kami menemukan jejaknya. Ada bekas kaki masuk ke hutan utara. Kami juga menemukan kain compang-camping miliknya tersangkut di semak.”

Rafael bangkit berdiri, matanya menyala kembali.

“Hutan utara?” ulangnya pelan. “Bagus. Kirim tim. Tapi jangan serang dulu. Biarkan aku yang menjemputnya.”

Suara di seberang sunyi sesaat.

“Bos… hutan itu… terlarang. Warga setempat bilang… tempat itu hidup.”

Rafael tersenyum. Pahit.

“Maka tempat itulah yang pantas untuk jiwa yang hilang.” katanya sebelum menutup sambungan.

...

Di dalam gubuk tua yang tersembunyi di tengah lebatnya hutan, Dewi akhirnya menyerah pada rasa lelah yang mendera. Matanya perlahan terpejam. sejak semalam ia belum tidur. Meski hanya sebentar, ia butuh waktu untuk mengembalikan tenaganya.

Dengan napas berat, ia menutup mata. Hanya sebentar, pikirnya. Hanya... sebentar saja untuk mengistirahatkan dunia yang begitu kejam padanya.

Kesadaran mulai menipis.

Hingga sesuatu yang dingin menyentuh pipinya. Lembut. Tapi aneh. Bukan angin. Bukan ilusi.

Ia membuka matanya dengan cepat.

Dan waktu seakan membeku.

Rafael duduk di hadapannya, hanya beberapa jengkal dari wajahnya. Senyum kecil mengembang di bibir pria itu. bukan senyum ramah, melainkan senyum yang menyeramkan karena tak menunjukkan emosi apapun. Tenang. Terlalu tenang. Dan justru dari ketenangan itulah, bahaya terasa seperti aroma darah yang mengendap di udara.

“Selamat malam, sayang,” ucap Rafael, suaranya pelan dan lembut seperti seseorang yang baru saja menyambut kekasihnya pulang ke rumah. Tapi bagi Dewi, kalimat itu adalah jerat, belati yang tak terlihat namun tajam hingga menusuk batin.

Matanya membelalak, mulutnya terbuka namun tak ada suara yang keluar selama beberapa detik. Tubuhnya gemetar.

“B-bagaimana... kau bisa menemukanku...?” suaranya patah dan lirih, seperti bisikan doa yang nyaris tak terdengar.

Rafael tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya. Lalu, dengan suara datar, ia menjawab:

“Kau adalah milikku, Dewi.”

Tak ada emosi. Tak ada getaran. Tapi justru itulah yang membuat setiap kata terdengar seperti vonis.

“Bukan hal sulit bagiku menemukan sesuatu yang sudah menjadi milikku.

Kemanapun kamu pergi… dimana pun kamu bersembunyi… bahkan jika kau bersembunyi sampai ke inti bumi sekalipun… aku akan tetap menemukanmu.”

Nada suaranya datar, nyaris tanpa ekspresi. Tapi senyuman di bibirnya. senyum tipis yang tak pernah menjanjikan keselamatan—membuat kalimat itu menggema seperti kutukan.

Wajah Rafael tetap tenang. Matanya tak berkedip, namun dalam ketenangan itu tersimpan sesuatu yang sangat mengerikan. Sebuah ancaman yang tak dilontarkan dengan teriakan atau emosi, tapi dengan keheningan yang lebih mematikan dari kemarahan.

Dewi merasakan kakinya mulai mati rasa. Seolah suhu ruangan turun drastis. Ia ingin mundur, ingin lari, ingin menghilang dari dunia ini. tapi tubuhnya membeku.

Rafael mendekatkan wajahnya sedikit, hanya beberapa senti dari wajah Dewi.

“Kau lupa satu hal, Dewi,” ucapnya lirih namun tajam.

“Tak ada seorang pun... yang bisa lari dariku.”

Dewi masih terpaku. Tubuhnya kaku, pikirannya kacau. Tatapan Rafael menusuk seperti pisau bermata dua, membekukan darahnya seketika. Tapi sebelum sempat ia benar-benar bereaksi, Rafael perlahan beranjak berdiri.

Tanpa sepatah kata pun, tangannya menjulur. dan mencengkeram lengan Dewi dengan kuat. Sangat kuat.

“Agh!” Dewi meringis tertahan, kuku-kuku Rafael menancap dalam di kulitnya, meninggalkan bekas kemerahan yang langsung terasa nyeri.

“Rafael... lepaskan! Kau menyakitiku!” serunya panik, mencoba melepaskan cengkeraman itu. Tapi Rafael tak bergeming. Wajahnya tetap tenang. Sangat tenang. Seolah yang ia lakukan hanyalah tindakan biasa. Seolah menyeret wanita ke dalam jurang adalah hal sehari-hari.

Dengan kekuatan yang tak bisa Dewi lawan, Rafael memaksa tubuhnya untuk berdiri. Napas Dewi tercekat. Tangisnya hampir pecah, tapi suara itu hanya bergetar dalam kerongkongan. Tak ada yang bisa ia lakukan.

Langkah kaki Rafael panjang dan pasti, menyeret Dewi di belakangnya melewati jalur semak dan ranting yang menampar kaki. Daun-daun basah menyentuh wajah mereka, tapi tak satu pun bisa menyamarkan kenyataan pahit ini. Rafael menyeretnya seperti boneka rusak, tak peduli pada luka, kotoran, atau teriakan lirih yang tak berhenti keluar dari bibir Dewi.

Begitu mencapai tepi hutan, tampak sebuah mobil hitam mengilap terparkir menunggu. Elegan. Mahal. Kontras dengan kesuraman malam dan tubuh Dewi yang lusuh. Tanpa bicara, Rafael membuka pintu belakang, lalu dengan satu tarikan kasar, ia melemparkan tubuh Dewi masuk ke dalam mobil.

Tubuhnya terbanting ke jok, kepalanya hampir membentur sisi pintu. Sebelum Dewi sempat bangkit atau melawan, Rafael sudah masuk menyusul. Pintu mobil dibanting keras hingga bergetar, membuat Dewi terlonjak. Ia meringkuk, memeluk dirinya sendiri, gemetar.

“Jalan.” Hanya satu kata, dingin dan tajam, keluar dari mulut Rafael kepada sopirnya.

Mesin menderu. Mobil mulai melaju di jalanan yang sepi, meninggalkan hutan gelap dan gubuk yang baru saja menjadi tempat peristirahatan sementara bagi Dewi. Sekarang, tak ada tempat aman lagi. Ia kembali dalam cengkeraman pria itu.

Di dalam mobil, sunyi mendominasi. Tak ada percakapan. Tak ada amarah meledak-ledak seperti sebelumnya. Hanya keheningan mencekam.

Rafael duduk tegak di samping Dewi, mata hitamnya menatap lurus ke depan. Wajahnya datar. nyaris tenang. Tapi ketenangan itu lebih menakutkan daripada teriakan. Di balik wajah tak bersuara itu, ada sesuatu yang lebih liar, lebih gelap, dan lebih mematikan.

Dewi meliriknya, pelan, takut-takut. Tapi tak berani berkata apa pun.

Ia tahu, malam ini baru permulaan dari mimpi buruk yang sebenarnya.

1
Myōjin Yahiko
Bikin nagih bacanya 😍
Silvia Gonzalez
Gokil abis!
HitNRUN
Bingung mau ngapain setelah baca cerita ini, bener-bener seru!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!