Cecil seorang anak brokenhome yang selalu di hantui dengan perasaan takut menikah. Ia bersahabat dengan Didit yang ternyata mendekati Cecil bukan hanya sekedar sebagai sahabat. Bukan semakin terkontrol, Rasa kecewa yang mendesak Cecil ingin menjauhi siapa pun yang ingin membantunya. Apa yang membuat Cecil semakin kecewa dengan didit? Bisakah Didit meluluhkan hati Cecil?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senjamenanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mentalku atau Hanya reaksi berlebih..
Cecil.. dimana didit?" Tante Dini datang dengan wajah cemas. Aku hanya menggeleng. Dibelakang mama didit, bundaku baru datang.
" ayo Mbak, ikut Saya" mereka lalu pergi. Aku cuma menangis. Gak lama vino beserta kedua orang yang tadinya gak masuk sekolah datang. Aku hanya menangis memeluk Gea. Vino memberi air mineral gelas yang sudah ditusuk sedotan "minum dulu" Dia menyodorkan ke Aku. Tapi tanganku masih gemeteran, Gea membantuku. "Ini tabrak lari. Fanya, Arga dan sammy lagi cek CCTV di sekolah sama di sekitar sekolah. Makanya mereka gak kesini." Lanjut vino.
"Barusan Aku dapet chat dari Sammy. Itu mobilnya calon suaminya Mamanya" jelas ken.
"Bisa dijelasin lagi, Ken?" kita langsung ngeliat ke sumber suara. Tante Dini langsung telpon Sammy mencari kejelasan.
"Aku bisa titip Didit dulu sama Kalian?" Kami semua menyanggupi.
"Biar nanti gantian sama asistenku.Mbak" ucap Bunda.
"Nitip ya" Tante Dini telpon seseorang sambil buru-buru keluar. Kami bener-bener gak dapet info apapun dari bunda.
"Kamu balik dulu. Ganti pakaianmu. Kalian juga. Besok masih harus sekolah. Kami memaksa untuk tetap tinggal tapi bunda minta mereka pulang karena ada asisten dari Tante Dini dan
Karyawan bunda yang nemenin bunda.
Aku dianter Vino pulang ke rumah. "Makasih, vin. Ati-ati" dia langsung tancap gas. Masuk rumah aku aku masih terdiam di Ruang Tamu. Kubaringkan badanku di sofa.
Dari tadi HPku berbunyi, entah notifikasi aplikasi atau pesan. "Kamu sendiri gak papa, Cil ?"
Aku balas "Aku gak papa. Mas".
Di saku rokku masih aja ada yang getar padahal HP ku pegang. Ku keluarkan dari saku. Ehh! Ini HP didit. Tadi ada seseorang yang memberikan HP didit ke aku waktu mau masuk mobil. Layar HPnya sedikit retan, Kulihat layar HPnya pakai fotoku. " pakai password " aku iseng ketik tanggal lahirku. "OH!" Aku langsung duduk. Kebuka! "Nggak boleh cecil" tapi aku berbaring lagi sambil buka galeri. Apaaa iniiii ?! Aku scroll ke bawah isinya mukaku, foto kita berdelapan, foto berdua, foto restonya, foto bareng mamanya. Fotoku.. fotoku.. fotokuuu!
Tiba-tiba HPnya berdering. Dari Sammy. Aku biarin berbunyi. Lalu berhenti. Tiba-tiba dari kantongku, HPku yang berbunyi. Ku lihat dari Sammy.
Aku angkat "Tolong HPku jangan dibuka" Aku lihat layar HPku
"Sam, aku tahu kamu jail. Tapi ini gak lucu kalau kamu sampai ubah suaramu jadi Didit."
Tiba-tiba jadi videocall. Muka didit, ada luka-luka kecil. Ada plaster di salah satu sisi dahi. Aku masih gak percaya "saaammmyy..." didit ketawa
"aaapa?" Sammy muncul di layar. Ku dengar perawat masuk. Vidcall dimatikan.
Bunda menelepon. "Dokter bilang, sementara Didit pakai kursi roda. Kaki dan tangan kanannya di gips. Punggungnya sepertinya retak. Besok baru bisa dilakuin pemeriksaan menyeluruh. Sammy yang nganter bunda pulang. Hari ini Pak Egi yang nemenin Didit" Bunda lalu menutup telpon. Pak Egi asisten Bunda.
Paginya, Aku terbangun jam 5 pagi. Ku matikan HP Didit dan masuk ke dalam laci. Badanku pegel semua, Dadaku sakit. Aku mandi, pakai seragam lalu keluar kamar. Bundaku terdiam melihat aku sudah siap berseragam dan membawa tas. "Kenapa,Bund?" Bunda melanjutkan menata lauk di atas meja makan. "Dadaku sakit,Bund" Bunda langsung memegang dahiku. Lalu ke kotak P3K untuk cari thermometer digital.
"Kamu demam, Cil " istirahat aja dulu. "Aku ke rumah sakit aja ya.bund?" Bunda mengangguk "sekalian kita ke klinik. Kamu ganti baju dulu yang serap keringet" Aku kembali ke kamar, ku letakkan tasku.
Di rumah sakit, Bunda ninggalin Aku berdua sama Didit yang lagi tidur. Bunda gak tau kemana. Ku lihat tangan dan kakinya emang di gips. Aku lihat ke arah pintu, Bukannya waktu sarapan atau perawat dateng ya? Pas aku balik lihat Didit, Dia udah duduk aja. Aku sedikit kaget hingga kursiku mundur. "Udah nilai jelek, pake bolos. Lagi!" Suaranya masih pelan, Ku bantu menata bantalnya dipunggungnya.
"Udah siap jadi istriku?" Aku masih diam membantunya duduk.
Tangan kiri Didit memegang dahiku. "Kamu mikirin aku sampek sakit?" Aku gak bisa berkata apa-apa,pikiranku kosong. Dadaku kayak agak nyeri. Aku masih terdiam.
"Kamu gak papa?" Didit mulai khawatir.
Aku cuma mengangguk. "Mmmm..Maaf Dit. Harusnya aku langsung tarik kamu waktu ada mobil. Tapi badanku tiba-tiba kaku." Aku nahan air mataku.
Didit tersenyum "ini bukan salahmu, Sammy udah jelasin. Aku baik-baik aja. Cuma memang sementara Aku harus pakai kursi roda."
Badanku gemeteran lagi, aku mulai menangis. Didit mau memelukku tapi gak bisa bergerak.
"Gara-gara aku, Gilang terjun ke sungai. Gara-gara aku juga, kamu malah kayak gini" dadaku sesak, aku menangis.
"Cil... cill... heiii..." Didit terus memanggilku
Bundaku masuk ngliat aku nangis. Langsung meluk Aku. Bunda menuntunku ke sofa samping tempat tidur didit. Didit masih berusaha mendekatiku tapi bunda melarang. Bunda meminta air botol air mineral dari meja didit yang belum dibuka. "Atur nafasmu.." tuntun bunda. Aku masih terus menangis.
"Gilang bunuh diri sudah direncanakan dari jauh-jauh hari. Tetangga kos Gilang udah bilang kalau barang-barang Gilang sudah dibagikan ke mereka 2 minggu sebelum kejadian. Mereka bilang, Gilang mau pergi dari kosan itu. Ibu Kos juga sampai bilang gratisin uang kosnya selama sebulan. Tapi Gilang malah bayar langsung selama setahun. Dia bilang ke Bu Kos, kalau Bu Kos itu udah baik banget ke Gilang. Jadi kalau Gilang pergi takut kosannya bakalan lama nggak ada yang penghuni barunya. Kalau Didit, Tante Dini udah jelasin itu juga direncanain sama mantan calon suaminya" Aku sesegukan. Nafasku mulai lega. Tanganku keringetan digenggam bunda. Didit hanya diam. Bunda memelukku, mengelus punggungku "gak papa" beliau lalu memberiku minum. Aku menunduk, masih gak berani melihat wajah didit.
...****************...