“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”
Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.
Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.
Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.
Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Pagi itu, udara terasa sedikit lebih dingin. Koper-koper telah rapi di teras rumah, dan mobil sewaan sudah menunggu di depan.
Mama dan Papa Aditya bersiap kembali ke Kanada setelah seminggu tinggal bersama mereka.
Di ruang tamu, Mama memeluk Risa erat—sangat erat, seakan tak ingin melepaskan.
“Jaga dirimu baik-baik, ya, Nak… Jangan lupa makan, jangan terlalu sering begadang nulis. Dan sabar sama Aditya.”
Risa mengangguk pelan, bibirnya bergetar. Air matanya mulai jatuh tanpa bisa ditahan.
“Aku… bakal kangen Mama.”
Mama mengusap pipi Risa, lalu menarik wajahnya ke dada.
Risa menangis tersedu di pelukan hangat itu, seperti anak kecil yang tak ingin ibunya pergi.
Aditya berdiri tak jauh, menyaksikan momen itu dalam diam.
Ada rasa bersalah yang menggantung di dadanya, melihat bagaimana istrinya yang selama ini ia abaikan ternyata begitu dicintai oleh keluarganya sendiri.
Papa memanggil dari depan rumah, “Yuk, Ma. Nanti telat ke bandara.”
Mama melepaskan pelukannya perlahan, lalu menatap mata Risa dalam-dalam.
“Kamu kuat, Nak. Dan kamu pantas bahagia. Mama percaya itu.”
Setelah mereka masuk mobil dan pergi, Risa masih berdiri di ambang pintu, menatap jalanan yang mulai sepi, membiarkan angin menerbangkan sisa-sisa haru yang belum kering di pipinya. Dan Aditya… hanya bisa menatap punggung Risa dari kejauhan. Untuk pertama kalinya, hatinya ikut terasa kosong.
Setelah mobil yang membawa Mama dan Papa menjauh dari halaman rumah, Risa masuk ke kamarnya tanpa sepatah kata.
Perasaan kosong menyelimuti dirinya, seakan sebagian hangat dari rumah itu ikut pergi bersama kepergian mereka.
Ia duduk di meja kecil dekat jendela, membuka laptop, dan mulai menulis lagi.
"Tentang kehilangan, tentang perasaan yang tidak pernah benar-benar sampai. Tentang cinta yang pernah dijanjikan, tapi tak pernah dijalani."
Jemarinya menari pelan di atas keyboard, kata demi kata mengalir, mencurahkan apa yang tak bisa ia sampaikan pada siapa pun, termasuk pada lelaki yang saat ini berada di kamar sebelah.
Sementara itu, di kamarnya sendiri, Aditya tengah mengemasi pakaian kerja.
Seragam pilotnya tergantung rapi, koper kecil di sudut ruangan sudah hampir penuh.
Ia menatap pantulan dirinya di cermin.
“Kapan terakhir kali aku bicara dengan Risa… bukan karena terpaksa?”
Ia menghela napas, menyisipkan dasi ke dalam koper, lalu mengecek jadwal penerbangan di ponselnya.
Di sisi lain rumah, Risa menutup laptopnya perlahan. Matanya menerawang ke luar jendela.
Hatinya tahu… sebentar lagi rumah itu akan kembali sepi. Dan ia, akan kembali sendiri.
Tok tok tok.
Ketukan pelan di pintu membuat Risa menoleh dari meja tulisnya. Pintu terbuka sedikit, menampakkan sosok Aditya dalam seragam pilotnya yang rapi.
“Aku berangkat dulu,” katanya singkat, suaranya nyaris tak terdengar.
Risa hanya mengangguk pelan, tidak tahu harus berkata apa.
Ia berdiri, menatap suaminya yang tak biasa menunjukkan perhatian secara langsung.
Tiba-tiba, tanpa banyak kata, Aditya mendekat dan mengecup pelan kening Risa.
Hangat. Lembut. Singkat.
Risa tertegun. Untuk pertama kalinya, sentuhan itu tak terasa dipaksakan. Tapi juga tidak dijelaskan. Tak ada kata-kata manis atau janji yang menyusul. Hanya keheningan, dan pandangan mata yang sulit ditebak.
Setelah itu, Aditya berbalik dan melangkah keluar. Suara mobil jemputan terdengar dari luar. Tak lama, ia pun pergi… seperti biasanya.
Tapi kali ini, Risa tidak langsung kembali duduk. Ia berdiri lama di tempat, menyentuh keningnya sendiri, mencoba memahami apa arti dari ciuman yang baru saja ia terima.
Dan untuk pertama kalinya… hatinya bergetar.
Begitu suara mobil jemputan Aditya menghilang di kejauhan, Risa menutup pintu perlahan.
Ia bersandar di balik daun pintu, membiarkan keheningan rumah menelannya.
Tangannya menyentuh kening—tempat di mana bibir Aditya menyentuhnya untuk pertama kali. Kening yang sekarang terasa begitu panas, meskipun ciumannya hanya sesaat.
Dan tanpa bisa ditahan, air mata mulai jatuh. Perlahan, lalu deras.
“Kenapa baru sekarang, Dit…?” bisiknya lirih.
Tangisnya pecah, dalam diam yang menyayat. Bukan karena bahagia, juga bukan sepenuhnya karena sedih. Tapi karena perasaan yang selama ini ia tekan kerinduan, kehampaan, harapan dan semuanya meledak hanya karena satu ciuman kecil.
Risa tenggelam dalam pelukannya sendiri di balik pintu kamar.
Ia menangis untuk Kirana. Ia menangis untuk dirinya. Dan ia menangis untuk cinta yang tidak tahu ke mana arahnya.
Tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu... sesuatu mulai berubah. Perlahan. Diam-diam.
Risa menghapus air matanya dengan punggung tangan.
Masih dengan perasaan yang belum sepenuhnya tenang, ia kembali ke meja kerjanya.
Laptop yang tadi dibiarkan terbuka kini kembali menyala, kursor berkedip menunggu kelanjutan kisah.
Ia menarik napas panjang, menatap layar kosong sejenak. Lalu jari-jarinya mulai bergerak.
Ada cinta yang tak terucap, tapi terasa. Ada luka yang tak berdarah, tapi membekas. Dan ada rindu yang tak pernah tahu kapan akan sampai pada tujuannya
Risa menulis seperti sedang mengalirkan isi hatinya. Ciuman kening tadi menjadi bahan bakar emosional yang melimpah dan menciptakan bab paling jujur, paling menyayat, yang pernah ia tulis.
Karakter utama dalam novelnya menangis karena senyum kecil dari lelaki yang selama ini ia anggap tak peduli. Seperti dirinya.
Komentar pembaca mulai berdatangan di platform tempat ia menerbitkan karyanya:
@Aku ikut menangis.
@Tolong jangan buat tokohnya terlalu menderita, hati kami nggak kuat.”
@Kalau ini berdasarkan kisah nyata, peluk hangat untuk penulisnya.”
Risa membacanya satu per satu. Bibirnya tersenyum tipis dalam isak yang masih tersisa. Setidaknya… ia tak benar-benar sendiri. Ada yang mendengar. Ada yang mengerti. Dan menulis, tetap menjadi rumah tempat hatinya pulang.
Suara notifikasi dari ponsel memecah keheningan sore. Risa yang masih duduk di meja menulis, mengusap matanya dan meraih ponsel di sebelah laptop.
Aditya, [ Ada hadiah untuk kamu di kamarku. Semoga kamu suka. Aku tidak tahu ukuran sepatumu, maaf. Semoga pas.]
Jantung Risa berdegup pelan. Pesan itu sederhana, tanpa embel-embel manis, tapi terasa… berbeda. Ada perhatian yang baru. Ada usaha yang tak biasa.
Risa berdiri, langkahnya pelan menuju kamar Aditya. Hatinya penuh tanya.
Saat membuka pintu kamar itu, pandangannya langsung jatuh pada sebuah kotak sepatu yang diletakkan di atas tempat tidur. Dengan tangan sedikit gemetar, ia membukanya.
Sepasang sepatu flat berwarna krem muda, modelnya sederhana tapi elegan. Bukan sepatu mahal. Tapi jelas dipilih dengan niat.
Risa duduk di pinggir ranjang, mencoba sepatu itu. Sedikit longgar tapi tetap bisa dipakai.
"Ternyata kamu benar-benar nggak tahu ukuran kakiku,” gumamnya sambil tersenyum tipis."
Tapi senyum itu tulus. Untuk pertama kalinya sejak lama, hatinya terasa sedikit lebih hangat.
Risa menatap sepatu di kakinya, lalu mengambil ponsel. Jemarinya sempat ragu di atas layar sebelum akhirnya mulai mengetik.
Risa:
[ Terima kasih untuk hadiahnya. Sepatunya cantik. Sedikit longgar, tapi masih nyaman dipakai. Ukuranku 38, ya.]
Ia menatap pesan itu sejenak sebelum menekan tombol kirim.
Beberapa menit berlalu tanpa balasan. Tapi tidak apa-apa. Baginya, kali ini yang penting bukan jawaban… tapi langkah pertama.
Ia melepas sepatu itu dengan hati-hati, lalu meletakkannya di rak sebelah pintu kamar.
Pandangannya masih tertuju ke sana cukup lama, seolah sepatu itu berbicara lebih banyak daripada pesan yang ia terima.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Risa menutup laptopnya lebih awal.
Ia merebahkan tubuh di tempat tidur, membawa senyum kecil dan secercah harapan yang mulai menyusup di antara luka.
Notifikasi kembali berbunyi saat Risa baru saja hendak memejamkan mata.
Aditya:
[ Aku mau terbang ke London. Kamu mau oleh-oleh apa?]
Risa menatap pesan itu lama. Entah kenapa, membaca namanya saja kini terasa berbeda. Ada sesuatu yang berubah, perlahan tapi nyata.
Ia tersenyum tipis, lalu membalas:
Risa:
[ Nggak usah repot-repot. Yang penting kamu jaga kesehatan, ya. Hati-hati di atas sana.]
Pesannya terkirim. Tak lama kemudian, balasan singkat datang:
Aditya:
[ Akan aku usahakan.]
Jawaban itu mungkin biasa. Tapi bagi Risa, kalimat singkat itu terasa cukup—karena ini pertama kalinya Aditya benar-benar merespons dengan hangat, walau dalam keterbatasannya.
Ia memeluk bantal, menatap langit-langit kamar dengan perasaan ringan.
Di luar sana, pesawat yang dikemudikan suaminya akan menembus langit malam. Dan di sini, ia menunggu… dengan doa dalam diam.
tata bahasanya bagus, enak dibaca
moga happy ending