NovelToon NovelToon
Cinta Terlarang Dengan Abang Tiri

Cinta Terlarang Dengan Abang Tiri

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Cinta Terlarang / Cintapertama
Popularitas:49.7k
Nilai: 5
Nama Author: mama reni

“Jika mencintaimu adalah dosa, biarkan aku berdosa selamanya.”

Sejak ayahnya menikah lagi, hidup Davina terikat aturan. Ia hanya boleh ke mana pun ditemani Kevin, abang tiri yang dingin, keras, dan nyaris tak tersentuh.

Delapan belas tahun bersama seharusnya membuat mereka terbiasa. Namun siapa sangka, diam-diam Davina justru jatuh pada cinta yang terlarang … cinta pada lelaki yang seharusnya ia panggil 'abang'.

Cinta itu ditolak keluarganya, dianggap aib, dan bahkan disangkal Kevin sendiri. Hingga satu demi satu rahasia terbongkar, memperlihatkan sisi Kevin yang selama ini tersembunyi.

Berani jatuh cinta meski semua orang menentang? Atau menyerah demi keluarga yang bisa menghancurkan mereka?
Sebuah kisah terlarang, penuh luka, godaan, dan cinta yang tak bisa dipadamkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab Tiga Puluh

Rumah besar keluarga Davina sore itu dipenuhi cahaya lampu gantung dan suara gelas saling beradu. Tapi suasana yang seharusnya hangat justru terasa seperti kertas yang akan terbakar kapan saja. Ruang tamu dihiasi bunga putih, buket besar di sudut ruangan, dan taplak meja baru yang Mama pasang dengan terburu-buru.

Tamu yang duduk di sana bukan orang asing, mereka adalah keluarga Shaka.

Ayah dan ibu Shaka tampak rapi, elegan seperti biasa. Selalu memancarkan kesan keluarga terpandang. Shaka sendiri duduk tenang, wajahnya ramah, sesekali mengalihkan pandang ke Davina yang duduk di samping Papa seperti boneka porselen yang baru saja kehilangan jiwa.

Papa Robby duduk tegak di hadapan mereka, penuh wibawa, senyumnya tipis tapi matanya dingin. Hanya Davina yang tahu, di balik senyum itu tersimpan sebuah ancaman yang masih menusuk seperti pisau di punggungnya.

“Jadi ....” Papa membuka percakapan dengan nada penuh percaya diri. “Seperti yang sudah kita bicarakan lewat telepon, kami ingin mempercepat rencana pertunangan. Minggu depan.”

Ibu Shaka sempat menahan napas, terkejut tapi bahagia. “Oh … secepat itu? Kami tentu saja senang, Pak. Ini kabar baik.”

Shaka menunduk sopan. “Aku juga tidak keberatan, Om.”

Papa tersenyum puas. “Bagus. Lebih cepat lebih baik. Davina juga setuju.”

Itu kalimat yang membuat bahu Davina menegang. Ia merasakan tatapan Papa di sampingnya, tatapan yang menuntut dirinya mengangguk meski jantungnya bergetar hebat.

Dengan suara lirih, ia akhirnya berkata, “Iya … aku setuju.”

Shaka menatap Davina beberapa detik lebih lama. Ada sesuatu di mata Shaka seperti ragu, atau mungkin keingintahuan, tapi ia memilih diam. Belum saatnya bertanya.

Obrolan berlanjut, soal gedung, soal undangan, soal adat keluarga, soal warna busana. Semua mengalir seperti air, tapi di telinga Davina hanya terdengar seperti dengungan kosong. Ia hanya duduk di sana, memegang ujung rok, mencoba menahan gemetar, mencoba tidak merasakan bagaimana hatinya terasa seperti dipaksa masuk kotak kecil sempit tanpa udara.

Ketika akhirnya pertemuan itu selesai dan keluarga Shaka pamit, Davina menghela napas panjang sekali, napas yang terasa seperti sedang melarung separuh hidupnya.

Namun, saat itu juga Shaka mendekati Papa dan berbicara dengan sopan, “Om, boleh aku ajak Davina keluar makan malam? Supaya kami bisa bicara berdua.”

Papa menatap Shaka, kemudian menatap Davina. Ada persetujuan diam-diam yang ia berikan lewat sebuah anggukan kecil. “Boleh. Tapi kamu yang antar.”

Shaka mengangguk. “Tentu, Om.”

Tak lama kemudian Shaka keluar dari rumah. Dia mau mengambil mobilnya yang terparkir cukup jauh. Davina berdiri mematung di tangga, menunggu. Menunggu dengan jantung berat, bukan karena senang akan makan malam itu, tapi karena takut jujur. Takut menyakiti Shaka. Takut membuat segalanya makin rumit.

Dan takut satu hal lagi, bahwa kejujurannya bisa berakibat buruk pada Kevin.

Ketika mobil Shaka berhenti di depan rumah dan klakson kecil terdengar, Davina turun dengan langkah perlahan. Papa mengawasinya dari pintu. Tidak ada kata perpisahan, tidak ada peringatan, tapi tatapan Papa sudah cukup jelas, jangan melakukan sesuatu yang membuatnya curiga.

Shaka membukakan pintu mobil untuk Davina. “Ayo. Aku tau tempat makan yang tenang.”

Davina hanya mengangguk. Ia masuk tanpa banyak bicara.

Perjalanan menuju restoran terasa panjang dan hening. Musik instrumental lembut mengisi mobil, tapi justru membuat dada Davina makin sesak. Shaka beberapa kali melirik, dan akhirnya memecah keheningan.

“Kamu kelihatan lelah.” Suaranya lembut. Jujur. “Kalau kamu nggak nyaman dipaksa pertunangan secepat ini, kamu bisa bilang ke aku, Davi.”

Davina menggigit bibirnya. Ia ingin bicara. Tapi tidak di mobil. Tidak di tempat Papa bisa menebak-nebak lewat mata-mata rumah.

Jadi ia hanya berkata pelan, “Nanti aku jelasin, Kak. Nanti.” Shaka mengangguk, tak memaksa.

Restoran yang mereka tuju berada di rooftop sebuah hotel kecil, dekorasinya sederhana tapi hangat, dengan lampu-lampu kecil di pohon hias dan meja kayu berlapis taplak putih. Angin malam bertiup lembut. Indah, tenang, romantis bagi sebagian orang.

Tapi, bagi Davina? Tempat itu terasa seperti ruang pengakuan dosa.

Mereka duduk berhadapan. Pelayan datang, menaruh menu. Shaka membiarkan Davina memilih dulu, tapi Davina tidak membuka menu itu sama sekali.

Ia hanya menatap meja, menunduk, kedua tangannya mencengkeram pangkuan.

“Shaka .…” suaranya parau, hampir pecah.

Shaka mengangkat wajah. “Ya?”

“Aku mau ngomong terus terang. Semuanya malam ini. Sebelum terlambat.”

Shaka mengangguk perlahan. “Aku dengerin. Aku nggak akan marah kalau kamu jujur.”

Itu membuat air mata Davina hampir jatuh lagi. Ia harus berani jujur dan mengatakan semuanya.

Ia menghela napas panjang, lalu menatap Shaka dengan mata yang sudah memerah.

“Shaka, aku nggak mencintaimu. Maaf. Aku nggak pernah bisa. Aku sudah coba. Tapi aku nggak bisa. Jika aku paksakan pertunangan ini, tak adil bagimu."

Shaka terdiam beberapa detik, tapi tidak terlihat tersinggung. Hanya kaget.

“Aku … aku sudah menduga,” gumamnya pelan. “Tapi itu bukan alasan utama kamu sedih, kan?”

Davina menggeleng. Suara di tenggorokannya bergetar ketika akhirnya ia berani mengucapkan nama itu.

“Aku mencintai orang lain.”

Shaka menahan napas. “Siapa?”

Davina memejamkan mata sejenak, lalu membukanya lagi dengan keberanian yang hampir menyakitkan.

“Bang Kevin.”

Shaka terdiam. Benar-benar terdiam. Seolah dunia berhenti bergerak.

Ia tampak mencoba mencerna. “Kevin … abang tirimu?”

Davina menunduk. “Iya.”

Ada jeda yang panjang. Shaka bersandar ke kursi. “Oke … itu berat. Tapi aku bisa menghargai perasaanmu, Davi. Kamu jujur, itu penting.”

Davina menutup mulutnya, menahan air mata. “Belum selesai, Shaka.”

Shaka mengernyit. “Masih ada?”

Davina mengangguk perlahan. Tangannya gemetar di pangkuan.

“Aku sama dia … kami … sudah … sudah melewati batas.”

Shaka tidak berkedip. Tubuhnya menegang.

Davina memberanikan diri menatap mata Shaka.

“Kami pernah … tidur bersama.” Kalimat itu terucap tanpa suara kasar, tanpa penjelasan. Hanya pengakuan. “Beberapa kali. Dan aku … nggak menyesal. Aku cuma menyesal karena Papa tahu dan dia ....”

Napas Davina tersendat. Shaka tampak membeku mendengar setiap kata itu. Tidak marah. Tapi shock. Benar-benar shock.

Davina menatap Shaka. Air matanya jatuh pelan.

“Aku cerita karena aku nggak mau kamu masuk ke hubungan yang dari awal sudah salah. Kamu pantas sama perempuan yang bersih, yang jujur, yang bisa balas perasaanmu.”

Ia menutup wajahnya dengan tangan gemetar. “Dan itu bukan aku, Shaka."

Shaka tidak langsung menjawab. Ia butuh waktu untuk memproses. Untuk menelan fakta bahwa gadis yang hendak ia jadikan tunangan ternyata mencintai orang lain. Orang yang bahkan berada dalam satu rumah dengannya. Dan bahwa mereka sudah melampaui batas.

Angin malam bertiup di antara mereka, dingin seperti jeda panjang yang membelah dunia.

Shaka akhirnya bersuara, pelan, serak. “Davina … kamu tahu kan, yang kamu bilang barusan akan mengubah banyak hal.”

Davina mengangguk. “Aku tahu.”

Shaka menunduk. Kedua tangannya mengepal di atas meja, tapi ia tidak memukul apa pun. Tidak marah. Tidak membentak. Hanya menahan diri mati-matian.

“Dan kamu yakin kamu masih mencintai dia?” tanya Shaka dengan suaranya pecah halus.

Davina mengusap air matanya. “Aku cinta dia, Shaka. Dari dulu. Dari sebelum aku ngerti apa itu cinta.”

Shaka memejamkan mata sebentar, menarik napas berat yang terdengar seperti seseorang baru saja kehilangan sesuatu yang penting.

Ketika ia membuka mata lagi, Shaka menatap Davina dengan ekspresi yang sulit dibaca. Campuran kecewa, sakit hati dan keputus asaan. Ia hendak bicara. Namun, sebelum satu kata pun keluar. Pelayan datang mendekat membawa pitcher air.

Dan Shaka menahan kata-katanya sambil menutup menu, lalu berkata datar kepada pelayan, “Maaf, bisa beri kami waktu sebentar?”

Pelayan itu mengangguk cepat dan mundur. Shaka kembali menatap Davina. Napasnya terdengar berat. Tak tahu harus mulai bicara dari mana.

1
Eva Rosita
sangat bagus
Fitria Syafei
Kk yang baik kereen 😍😍 terima kasih 😘
Siti Amyati
mendingan jujur sama Shaka siapa Thu bisa bantuin
shenina
apa shaka masi mau melanjutkan pertunangan itu...lanjut mam...
Teh Euis Tea
bagus km jujur davi dari pd nanti kamu menyesal dan mungkin akan jd masalah besar nantinya, terserah shaka mau nerima atau ga nya yg penting km udah jujur
Cindy
lanjut kak
Eva Karmita
terserah apa tanggapan Shaka yg penting Davina udah jujur itu yg penting dalam sebuah hubungan kejujuran diatas segalanya
Eka ELissa
bgus kmu jujur dri awalnya ktimbang booong Ksian saka...
TPI kyaknya saka cinta kmu dri pndgn prtama deh Devi....dn mau trima kmu apa adanya.....TPI... entah lah hanya emak yg tau....
Nar Sih
setidak nya kmu udah jujur pda shaka ya davina ,jdi shaka tau biar keputusan pada nya
LB
Davina minta kamu keluar sakha, jangan masuk dalam hubungan mereka yg rumit dan kotor (dosa zina) kamu tidak perduli terlibat.
Marini Suhendar
bagus dev💪
Naufal Affiq
bagus
Rahma
bagus mending jujur davi
Linfaurais
Kasian davi dan kevin
Eva Karmita
dasar orang tua egois...jahat kamu pak ... kasihan Kevin dan Vina 😭😭😭💔
arienta fitriani
halahhh
ngapain juga kyk gitu ....kolot kuno egoisssss
Bunda Idza
coba si Dav....dilema mu sebenarnya sama yang dirasakan sama papamu, kalo dia tega sama Kevin bagaimana dia berhadapan dengan istrinya?? memang si harta menyilaukan mata...ntah lah, kalo kamu berani berontak lah sekuat -kuatnya Dav, jangan setengah2
Bunda Idza
egois sekali
Ilfa Yarni
hade ini ora gtuan kalian yg menyebabkan mereka ada perasaan kalian yg nyuruh mereka berdua kemana2 skrgiliran dewasa mereka punya rasa sebagai lawan jenis knp mrk disalahkan klo anda mau bunuh kevin coba aja pengen liat dan, davina km jgn mundur atau takut tegakkan bdnmu
🌷Vnyjkb🌷
jd ortu itu hrs spt layang²,, d tarik d ulur dan sesuai waktu yg tepat, bkn memaksakan kehendak merasa sdh paling benar, jaman sdh berbeda pak, tdk perlu arogan dlm memdidik anak, tp kasih u berjln d rel nya, klu anak berontak malah menimbulkan mslah baru yg akan d sesali sluruh klg


ternyata papa davin dan ibu kevin pasangan yg cocok sbg ortu yg tdk bijak bersikap!!! anak yg jd korban
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!