Semua wanita pasti menginginkan suami yang bisa menjadi imam dalam rumah tangganya, dan sebaik-baiknya imam, adalah lelaki yang sholeh dan bertanggung jawab, namun apa jadinya? Jika lelaki yang menjadi takdir kita bukanlah imam yang kita harapkan.
Seperti Syahla adzkia, yang terpaksa menikah dengan Aditya gala askara, karena sebuah kesalahpahaman yang terjadi di Mesjid.
Akankah syahla bisa menerima gala sebagai imamnya? ataukah ia memilih berpisah, setelah tahu siapa sebenarnya gala?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saidah_noor, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Syahga 7.
Gala menelan salivanya kala mendengar ajakan syahla untuk menjadi imam sholatnya, pikirannya buntu tak tahu harus menjawab bagaimana, karena ia sendiri sudah lama tak melakukan ibadah sembahyang tersebut.
Lelaki itu menghembuskan nafas berat, memikirkan cara untuk menolak ajakan wanita yang sudah menjadi istrinya tersebut secara halus.
"Anu, pinggangku masih sakit," jawab Gala sembari menyentuh luka jahitnya.
Hanya itu yang tiba-tiba terpikirkan, karena tak ada lagi alasan dan cara halus yang pas untuk menolak ajakan.
Meski syahla merasa sedikit aneh tapi bibir wanita itu tersenyum, beberapa pertanyaan mulai menggerogoti kepalanya. Apa ia tak bisa sholat ya?
Ada sedikit rasa kecewa karena sebuah penolakan, namun sasa tetap berpikir positif, bagaimana pun luka dipinggang suaminya baru ia jahit tadi subuh. Mungkin ada sedikit nyeri dan perih yang masih terasa saat menggerakan tubuh.
"Ya sudah, gak apa-apa. Jangan lupa minum obatnya, ya mas. Aku ambil wudhu dulu," ucap Syahla bangkit dari tempat duduknya dan pergi keluar dari kamarnya.
Hembusan nafas lega terdengar dari mulut gala setelah pintu kamar tertutup rapat, juga betapa tak nyamannya ia yang mulai kini harus terbiasa hidup berdampingan bersama syahla.
Gala berdiri, ia mulai mondar-mandir tak jelas, pikiran buntu akal-pun seakan tak lagi muncul. Ia memikirkan cara untuk pergi dari tempat itu namun ia bingung, bagaimana caranya ia pergi sedangkan ia sudah menjadi seorang suami?
Ahhh ... kepalanya terasa pusing kala memikirkannya.
Gala men-sugar rambut tebalnya, menghela nafas sembari mencari cara dan memejamkan matanya.
Namun sekian detik ia mengingat sesuatu.
"Aku harus menghubungi arhan, ya. Tapi, bagaimana caranya? Ponsel, uang, semuanya diambil. Dan sialnya kendaraanku hancur."
Ia mulai mengeluh, frustasi dan bingung mencari jalan untuk pulang. Jika di jakarta ia tahu jalan pulang tapi disini? Ada dimana dirinya?
Ia sendiri tak tahu keberadaannya ada didaerah mana?
Mata gala mengekori atas lemari baju plastik, ia melihat sebuah ponsel merk korea selatan dengan logo "S".
"Apa aku harus meminjamnya?" gumamnya.
"Baiklah, hanya itu satu-satunya cara," akhirnya ia memutuskan ide terbaiknya.
Beberapa menit berlalu, syahla kembali dengan wajah basah dengan bulir air yang masih menetes. Ia mengambil mukena lalu melebarkan sejadahnya dan sholat dengan kusyuk.
Sedangkan gala hanya diam melihatnya, sembari menunggu syahla selesai beribadah.
Istrinya pun selesai melaksanakan sholat, kini mereka tengah duduk di tepi ranjang tak jauh beda dari tadi.
Sasa bahkan sudah mengganti bajunya dengan piama panjang dan juga jilbab instan, tentunya ia menyuruh gala membalikkan badan. Dan memakainya saat masih tertutup mukenah.
"Mmm, sa. Boleh pinjem ponsel elo? Gak," tanya Gala ragu tapi nekat saja.
"Buat apa? Jangan berani kabur, mas. Aku bukan kanibal," ledek Syahla dengan tersenyum jahil.
"Weh, mulai usil lo yah," gerutu Gala mencibirkan bibirnya.
"Gue butuh, gue harus nelpon temen biar bisa nolongin gue secepatnya. Lagi pula kita juga butuh surat lengkap untuk persyaratan nikah, agar buku nikahnya cepat jadi juga," jelas Gala memberikan paparan agar syahla paham akan maksudnya.
Syahla mengangguk paham, ia berdiri dan meraih ponsel miliknya kemudian ia berikan pada gala tanpa ada rasa curiga lagi.
"No pin-nya tanggal 6 bulan 10," ucap syahla.
"Apa itu juga tanggal lahir kamu?" tanya Gala mengangkat sebelah alisnya.
"Iya, kenapa? Mas gala mau ngerayain ultah aku yang tinggal beberapa bulan lagi," tanya Syahla mencoba mencari bahan pembicaraan.
Selama sendirian dikamar mandi tadi, syahla mulai mencari ide untuk bisa mengenal suaminya, siapa tahu dengan cara seperti ini mereka akan semakin dekat. Karena syahla harus tahu seperti apa suaminya itu?
Gala mengangguk. "Ok, apa yang elo mau gue turutin," janjinya.
"Serius, ya," tanya Syahla meminta keyakinan.
"Iya, serius," ucap Gala yang mulai membuka ponsel milik syahla dan segera menulis kontak milik arhan, tanpa curiga bahwa syahla sudah memegang janjinya.
Dalam pikiran gala janji itu semacam janji membelikan barang-barang yang biasa disukai para wanita, tapi dalam pikiran syahla itu bukanlah sebuah barang melainkan sebuah perubahan.
Syahla ingin suaminya berubah, jika dulu ia tak pernah sholat maka akan ia tuntut janjinya untuk melakukan ibadah bareng. Jika ia bukanlah orang yang baik maka akan ia tuntut pula untuk membuatnya berubah menjadi lebih baik.
"Yes, maaf ya mas. Tapi aku ingin kamu berubah jadi imam yang sholeh," gumam Sasa dalam hati sembari menatap gala yang fokus pada ponselnya.
Gala sudah mengirim chat dan chatnya pun dihapus agar syahla tak membacanya, bisa ketahuan siapa dia jika pesannya tak segera dihapus.
Mau ditelpon pun percuma ini sudah larut, temannya itu sudah pasti sedang molor.
Kini pasangan pengantin itu sudah merebahkan tubuhnya untuk siap istirahat, mereka tidur dengan saling membelakangi tapi punggung mereka saling bersentuhan karena ranjang ukuran single itu tentu tak muat untuk dua orang.
Mereka berdua masih belum tidur dan masih bertanya-tanya, apakah ini nyata? Mereka sudah menikah dan malam ini adalah malam pertama mereka.
Rasanya seperti mimpi, mimpi yang benar-benar mengusik jiwa.
"Mas," panggil Syahla dengan lembut.
"Ya" jawab Gala.
"Boleh kah aku tahu? Kenapa mas ada disini?" tanya Syahla.
"Bukankah kita sudah menikah, tak.mungkin lo lupa," jawab Gala dengan cepat.
"Bukan itu. Tapi kenapa mas bisa ada disni? Dikampungku? Luka yang mas dapatkan itu adalah luka iris, benarkan. Ada juga luka lebam dibeberapa sudut tubuh, seperti habis berkelahi," tanya Syahla seolah menggali apa yang sebenarnya terjadi.
Pikiran gala melayang pada pertama kalinya ia kemari, adalah karena sebuah transaksi ilegal senjata tapi ternyata ia justru dijebak.
Mereka menginginkan kematiannya.
Flash back on ...
Malam itu,
Gala mengendarai mobil porsche nya, jalanan yang berbelok-belok seakan menjadi tantangan sendiri baginya. Ini kali peetama ia menginjakan kakinya disebuah daerah yang mereka katakan sebagai desa pesisir.
Namun, dalam ketenangannya beberapa motor mengejarnya, dia dihimpit dan mereka menuntunnya kesebuah jembatan gantung yang tak begitu panjang.
Di ujung sana beberapa orang menghalangi jalannya, seseorang yang sangat ia kenal sebagai orang yang pernah menyayanginya sejak sekolah dasar.
Walau kini pria itu sudah sedikit beruban dan kumis tipis tumbuh diatas bibirnya, gala masih bisa mengenalnya.
"Om arfan" gumam Gala menatap lurus penuh tanya.
Sudah lama lelaki itu menghilang setelah pernikahan ibunya dan dia batal karena perselingkuhannya.
Dia tak bisa melewatinya, kiri kananya adalah sebuah sungai deras nan tajam dipenuhi bebatuan besar yang mungkin sekali jatuh pun hancur remuk.
Suasana sunyi mencekam seakan menjadi waktu yang baik untuk memangsa hewan liar yang bebas berlarian.
"Turun!" titah seorang lelaki berbadan besar mengetuk pintu kaca mobilnya.
Gala keluar dari mobilnya, ia dituntun untuk bejalan mendekati pria yang pernah hampir menjadi ayah sambungnya.
"Ada apa ini? Apa mau kalian?" tanya Gala dengan waspada dan siaga.
Ia melirik setiap orang yang ada disana, mereka berbadan besar khas preman, ditangan mereka ada senjata tajam tradisional seperti arit dan celurit. Tak ada satu pun pistol yang digenggam, mungkin tak ingin keributannya terdengar polisi atau orang sekitar.
Arfan menyunggingkan senyum, senyum yang sangat mematikan dimana sebuah rencana besar akan segera terlaksana.
"Bunuh dia!" titahnya pada mereka.
Mereka mendekati gala, siap menghajar dan mencincangnya lalu membuangnya ke sungai.
Satu persatu mulai menghajarnya, beruntung putra jendral itu bisa menangkis dan berkelahi membuat mereka seketika lumpuh. Namun mereka bertambah dan senjata tajam mulai menyerangnya, hingga ia terkena luka iris dipinggangnya.
"Sial!" umpat Gala.
Ia memgang luka yang mengeluarkan cairan segar dari tubuhnya, bahkan semakin deras.
"Aku harus kabur," pikirnya.
Ia mencoba melawan, menghajar mereka dan melumpuhkan tapi satu lawan sepuluh tak mungkin bisa menang.
Gala kalah, mereka menangkapnya tubuhnya dicekal dua orang kira dan kanan.
"Apa yang kita lakukan selanjutnya bos?" tanya salah satu dari preman tersebut.
"Ambil barang-barangnya, dan kita lembar dia ke sungai. Ingat! Jangan ada luka lebam, biar mereka berpikir dia kecelakaan. Hilangkan jejaknya, hancurkan kendaraannya," titah Arfan dengan suara yang tegas.
Mereka merogoh sakunya dan meraba tubuhnya hingga keseluruhan.
"Wuih, orang kaya dompetnya tebal," ujar seorang preman yang mengambil dompet milik gala.
Arfan merebutnya ia membukanya, ada banyak kartu ATM, KTP, dan kartu lainnya. Ada juga beberapa uang lembaran yang terselip disana.
Arfan mengambil selembar uang tunai berwarna merah, senilai seratus ribu dan juga kartu identitas, lalu menyelipkannya di saku celana gala.
"Simpan itu ga, untuk uang jajanmu," ujar Arfan berseringai puas.
Hal itu mengingatkan mereka berdua, saat dulu dimana ia masih menjadi kekasih ibunya, Naura.
Arfan sering memberinya uang seratus ribu untuk jajannya, bukan memberi tapi lebih tepatnya menyogoknya agar memberi restu untuk menikahi ibunya.
Mata gala menajam, ia benci mengingatnya. Ia akan ingat apa yang sudah mereka lakukan malam ini, dibawah terangnya bulan purnama, diatas derasnya air sungai dan jembatan yang menjadi saksi kekejaman mereka.
Mereka tertawa puas, "Kita berpesta malam ini," ujar seorang dari mereka.
Ketika arfan mengeluarkan uang tunai yang ada didompet gala, cukup tebal membuat para preman berseru menang.
Disaat seperti itu otak gala mencari celah untuk kabur, disaat semuanya mulai lengah.
Arfan berjalan memperlihatkan uang tunai yang digenggamnya pada para anak buahnya, mereka tertawa puas karena tak sia-sia dengan rencana mereka.
Gala melepaskan jasnya menyisakan baju kemeja putih yang ia kenakan, berlari secepat dan sekencang mungkin dari mata mereka tanpa menghiraukan lukanya.
"sialan! Di lari bos," teriak seorang preman yang mencekalnya.
Semua orang melirik ke arah gala yang lari meninggalkan jembatan gantung tersebut.
"Sialan! Cepat kejar, jangan sampai ia lepas," titah Arfan pada mereka.
Dadanya kembang kempis, bergemuruh menahan amarah yang terpendam selama bertahun-tahun.
"Jendral, kau harus lihat putramu menjadi abu," gumam Arfan menggenggam erat dompet gala yang ada ditangannya.
Mereka mengejarnya, mencarinya kesetiap sudut kota namun sayangnya tak ditemukan hingga perlahan terdengar suara kendaraan yang mulai berlalu lalang.
Dalam keheningan malam, gala berusaha bertahan, tetap melangkah disaat lukanya mendera terasa nyeri dan perih.
Disana ada sebuah mesjid, ia masuk karena tak terkunci. Sunyi senyap hanya ada suara dentingan jam dinding yang berbentuk bulat, ia harus bersembunyi ditengah kejaran mereka.
Brak
Ia tak sengaja menyenggol rak buku, dimana ruang sempit dekat mimbar menjadi tempat teraman baginya.
Perlahan ia membuka bajunya untuk menghentikan keluarnya darah segar dipinggangnya.
Brak
Lagi ia tak sengaja menyenggol rak buku, ia gulung bajunya dan ia ikatkan pada luka yang masih meneteskan cairan merah ati itu.
Dalam kegelapan itu gala sendirian, tangannya meraba melihat kesekelilingnya, ruang sempit nan pengap itu ia ingin beristirahat sejenak biarlah esok ia mencari tahu.
Brak
Ia menyenggol rak buku lagi, ia tak peduli dan duduk bersandar pada dinding agar bisa beristirahat.
Namun ternyata ia tak sendirian, suara perempuan membangkitkan kewaspadaannya. Knop pintu terbuka menampakkan seorang wanita yang masih mengenakan mukena, ia tarik kedalam dan menyekapnya.
Ia tak ingin ketahuan, namun sialnya masalah baru datang dan menyambutnya dengan sebuah tuduhan.
Seperti itulah pertemuannya dengan gadis bernama neng sasa.
Flash back off ...
"Aku dibegal, mereka mengambil barang-barangku disaat aku baru sampai kesini," jawab Gala dengan tenang.
"Jadi tebakanku benar," ucap Syahla tersenyum.
Syahla menghembuskan nafas lega, berharap apa yang suaminya ucapkan adalah sebuah kejujuran.
rambut panjang trus laki.