Three Minds, One Darkness

"Jadi Minggu depan kita ke Den Haag? Mama yakin?" tanya Killian saat mereka makan malam.

"Iya, sayang. Mama sudah dibayar penuh dan Gladys mengijinkan mama bawa kamu. Sekali-kali lah kita berlibur tipis. Gimana?" senyum Kirana.

"Ya kalau Mama sudah dibayar, harus profesional dong!" Killian menatap ibunya dengan wajah yakin.

Kirana tidak habis pikir, darimana gen gaya sok cool putranya. Ayahnya memang se cool itu.

"Jadi kamu okey kan Boy?" tanya Kirana.

"Oke dong!"

***

Kirana masuk ke dalam kamarnya usai mendongengi Killian tentang Peter Pan. Kirana sangat tegas dengan tidak mengijinkan Killian memakai gadget seperti halnya aturan menteri pendidikan Belanda berdasarkan perintah Raja Ronald. Belanda memang melarang anak-anak memakai gadget hingga usia 15 tahun. Pola pendidikan yang sudah berjalan diimprovisasi dengan pendidikan soal kecintaan pada alam, hewan dan sesama manusia.

Belanda menjadi negara Eropa yang dikenal menentang rasisme, sama dengan Belgia. Bahkan dua negara itu sama-sama menentang penjahat perang masuk dan langsung dideportasi termasuk penjahat zionis.

Dan gara-gara itu Kirana terlibat dengan Yagami.

***

Sepuluh Tahun Lalu, Amsterdam

Kirana sedang asyik memotret pemandangan kota Amsterdam untuk permintaan web pariwisata kota Amsterdam. Kirana memenangkan pemilihan fotografer amatir yang diadakan kementerian pariwisata Belanda dan kota Amsterdam. Kini dirinya berada di lokasi taman Amsterdam. Kirana mengambil foto-foto burung dara, turis dari belakang dan pemandangan disana.

Hingga kameranya mengambil obyek seorang pria Asia yang sedang merokok sambil membaca buku. Entah mengapa, pria dengan wajah dingin itu menarik perhatiannya. Kirana tidak pernah merasa setertarik ini dengan pria Asia apalagi dia bukan pecinta drama Korea, China atau Jepang, Gadis berusia 23 tahun itu lebih suka kehidupan outdoor dibanding di kamar menikmati film.

Kirana tidak tahu siapa kedua orang tuanya karena dia sudah berada di panti asuhan sejak lahir. Disana Kirana masuk ke program pendidikan pemerintah jadi hingga kuliah, dia mendapatkan semuanya gratis asal tetap memiliki nilai bagus. Kirana bersyukur memiliki otak cerdas hingga dia bisa mendapatkan gelar sarjana di Gerrit Rietveld Academie ( S1 Fotografi di Amsterdam ).

Selama dia SMA hingga kuliah, Kirana bekerja serabutan sambil sekolah demi bisa mendapatkan uang guna membeli kamera yang bagus. Meskipun banyak orang suka kamera digital dan ponsel tapi Kirana lebih suka yang old fashion. Kirana berhasil mendapatkan apartemen yang harganya miring hingga bisa membuat ruang cetak filmnya.

Biasanya Kirana mencetak foto sesuai dengan permintaan klien, mau versi old fashion atau versi modern. Dia mulai memiliki nama sebagai fotografer amatir yang punya sense of beauty. Dan sekarang, dia mendapatkan obyek yang membuatnya penasaran.

"Whoah, You're so handsome," bisik Kirana.

Kirana van Leeuwen

"Aku bisa memotret mu seharian." Entah kenapa wajah pria itu membuat Kirana penasaran. "Handsome, mysterious, cool and ... Deadly."

Yagami Azuma

Pria itu mengetahui dirinya menjadi obyek Kirana, lalu menghampiri gadis itu. Kirana sedikit panik namun dia memiliki ID card dari kementrian pariwisata dan walikota Amsterdam, jadi dia merasa aman.

"Mevrouw, mag ik weten waarom u een foto van mij heeft gemaakt ( Nona, bolehkah aku tahu kenapa kamu mengambil gambar aku )?" tanya pria itu dengan bahasa Belanda fasih bahkan aksennya seperti orang Amsterdam native.

"Het spijt me, maar ik ben geïnteresseerd in je profiel. Dit is mijn vergunning en identiteitskaart ( Maafkan saya tapi saya tertarik dengan profil anda. Ini surat ijin dan ID card saya )," ucap Kirana sambil memperlihatkan ID card dan surat tugasnya ke pria itu.

"Jadi kamu adalah fotografer untuk pariwisata Amsterdam?" tanya pria itu.

"Yes. Kamu orang Jepang atau China?"

"Jepang. Namaku Shinji Kagawa."

"Kirana van Leeuwen." Keduanya saling berjabat tangan.

"Kirana, bolehkah aku meminta tolong padamu? Tenang saja, aku tidak mengganggu pekerjaan kamu. Anggap saja sambil menyelam dapat ikan paus." Shinji menatap Kirana serius.

"Maksudnya?"

"Apakah kamu kuliah di Amsterdam?"

"Aku kuliah di Gerrit Rietveld Academie," jawab Kirana.

Shinji tersenyum. "Itu lebih bagus lagi."

Sejak saat itu Kirana dekat bersama Shinji hingga dirinya mau tidur bersama yang merupakan pertemuan terakhirnya. Kirana tidak menduga jika Shinji adalah orang yang bisa dibilang, orang bayaran, karena setelah sebulan bersama, salah satu dosennya dipecat dan dihukum di pengadilan tinggi Amsterdam karena menjual dokumen penting negara. Kirana menjadi akses Shinji masuk ke kampusnya, Kirana dimanfaatkan dan dia harus menerima akibatnya. Dia dinyatakan hamil akhirnya dua bulan usai malam yang panas itu!

Kirana berusaha mencari tahu keberadaan Shinji Kagawa yang ternyata nama pemain sepak bola Jepang dan tidak ada yang masuk ke Amsterdam lewat kedutaan besar Jepang. Kirana hanya bisa menerima nasibnya hamil tanpa ada ayah si bayi di dalam perutnya. Meskipun dirinya sempat berpikir untuk menggugurkan kandungannya, namun bayangan Shinji atau siapapun itu, terbayang dan dia membatalkan niatnya. Shinji adalah pria yang charming dan Kirana tahu, dia rela memberikan tubuhnya ke pria Jepang itu. Dan memang resikonya ini.

Kirana menikmati kehamilannya meskipun tidak mudah namun setelah hasil foto-fotonya mendapatkan apresiasi dari dinas pariwisata Amsterdam, namanya pun dikenal. Karena kehamilannya, Kirana lebih memilih klien yang ingin difoto saat hamil atau pun melahirkan. Sisi maternity nya membuat sesion khusus maternity shoot.

Hingga kelahiran Killian ... Kirana sangat tidak menduga dia melahirkan begitu mudah dan mendapatkan bayi laki-laki yang tampan. Dia sampai tidak menyangka, nyaris tidak ada darah Jepangnya. Kirana yakin dia hanya berhubungan dengan Shinji tapi bagaimana putranya begitu bule? Apa gen aku lebih kuat? Namun semakin Killian besar, Kirana baru menyadari sifatnya mirip ayahnya.

Benar-benar Tuhan adil. Fisik ikut aku tapi sifat mirip Shinji.

***

Den Haag

Killian tampak semangat saat mereka naik kereta menuju Den Haag dari Amsterdam. Mereka membutuhkan sekitar satu jam perjalanan. Killian tahu, sebenarnya ibunya mampu membeli mobil tapi dia lebih suka naik Vespanya karena praktis.

"Welcome to The Hague or Den Haag," ucap Kirana saat mereka tiba di Den Haag Centraal ke Killian.

"Mama, aku bukan pertama kali kemari," jawab Killian sambil membawa ransel dan koper kecilnya.

"Iya juga sih," kekeh Kirana sambil menggandeng tangan putranya. "Di tas ransel itu isinya apa?"

"Peralatan menggambar aku, Ma. Guruku memberikan tugas menggambar pas liburan. Aku kan seperti Mama ... selalu punya pandangan prespektif soal keindahan!" Killian menjawab dengan gaya yang membuat Kirana tertawa gemas.

"Killy, apa yakin kamu baru sembilan tahun?" gelak Kirana.

"Lho? Kan Mama yang melahirkan aku. Harusnya dilihat lagi birth certificate aku. Benar tidak aku usia sembilan tahun," balas Killian dengan gaya sok coolnya.

Kirana mengacak-acak rambut coklat Killian gemas. "Ampun deh kamu tuh!"

***

Siang ini, usai check in di hotel, Kirana dan Killian menuju lokasi Amsterdam Fashion Show. Killian bisa melihat obyek untuk melukisnya karena acara Amsterdam Fashion Show dekat dengan Sungai Elizabeth, yang biasanya menjadi kanal jembatan pejalan kaki. Acara yang berjalan dua hari ini akan memperlihatkan rancangan para desainer lokal termasuk Gladys.

"Kira! Disini!" panggil Gladys.

Kirana tersenyum dan berjalan bersama dengan Killian.

"Hai Killian ...." Gladys mengulurkan tangannya ke Killian.

"Hai Tante Gladys," senyum Killian. "Mama, aku boleh menggambar disana?" Bocah itu menunjuk ke arah luar tenda Gladys.

"Boleh. Tapi kalau ada apa-apa, kamu panggil Mama pakai alat yang Mama berikan. Oke?"

Killian mengangguk. "Baik Mama."

Kirana pun mulai bekerja dengan Gladys sementara Killian membuka tas ranselnya. Dia mengeluarkan kursi lipat dari sana, buku gambarnya dan krayon. Killian mulai membuat dasar sketsa pemandangan kesibukan fashion show.

"Prespektif kamu bagus."

Killian mendongak dan melihat seorang pria berdarah Asia, berdiri di belakangnya mengenakan kacamata hitam.

"Menurut Oom begitu?" senyum Killian sambil meneruskan kegiatannya.

"Menurutku begitu. "

"Terima kasih." Killian tiba-tiba terdiam. Perasaan apa ini?

***

Yuhuuuu up malam Yaaaa

Thank you for reading and support author

Don't forget to like vote and gift

Tararengkyu