Anatasya menyembunyikan identitasnya sebagai putri bungsu keluarga konglomerat dari suaminya. Ia membantu Adrian membuka perusahaan. Tapi siapa sangka ternyata Adrian tidak pernah mencintai Anatasya, dia bahkan jijik dengan bau amis yang melekat pada tubuh istrinya.
Suatu hari, Adrian menceraikan Anatasya dan mengungkapkan bahwa dia memiliki pacar, yaitu Clara, seorang wanita kaya dan cantik yang merupakan adik sepupu dari keluarga Santoso.
Anatasya merasa hancur dan terhina. Tasya akan membuat orang yang menyakiti nya membayar mahal dibantu oleh ketiga abangnya. Damian, Julian dan Rafael.
Ketiga Abangnya tidak akan membiarkan adik bungsu mereka terluka.
Bagaimana reaksi Adrian dan keluarga nya setelah mengetahui jika wanita yang selama ini mereka hina adalah putri konglomerat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Yuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 Di Anggap murahan
Anatasya dengan hati-hati membersihkan luka Damian, setiap usapannya mencerminkan rasa bersalah yang mendalam. "Ini salahku," gumamnya, suaranya bergetar, "Kalau saja aku tidak keras kepala dan langsung memberikan tiket itu, Kakak tidak akan terluka seperti ini." Matanya yang biasanya berbinar, kini meredup oleh penyesalan.
Damian, yang duduk dengan sabar, menatap Anatasya dengan lembut. "Tapi kamu tidak berniat memberikannya, kan?" tanyanya, suaranya tenang namun menusuk. Ia tahu betul apa yang ada di pikiran adik angkatnya itu.
Anatasya menghela napas, "Iya," akunya jujur, "Aku pikir Om Jerry meminta tiket itu pasti karena permintaan Clara. Mereka pasti berencana mempermalukanku di konser Kak Rafael nanti. Aku tidak mau memberi mereka kesempatan itu." Ada nada getir dalam suaranya.
Damian meraih tangan Anatasya, menggenggamnya erat. "Selama ada aku, tidak akan ada yang bisa menindasmu," ucapnya, senyumnya yang hangat membuat hati Anatasya berdesir. Ia menatap mata Anatasya, menyampaikan janji yang dalam dan tulus.
Anatasya terdiam, terpaku oleh ketulusan Damian. "Hah?" hanya itu yang bisa keluar dari bibirnya, pikirannya berkecamuk.
Damian mendekatkan wajahnya, bisikannya yang pelan namun tegas membuat jantung Anatasya berdebar kencang. "Kamu tidak menganggapku hanya sebagai kakakmu, kan?" tanyanya, matanya menyorot tajam. Ia tahu, ada sesuatu yang berbeda dalam hubungan mereka.
Kemudian, dengan suara rendah yang berbisik, Damian menambahkan, "Paman Jerry bilang, kita tidak memiliki hubungan darah." Kalimat itu menggantung di udara, mengubah segalanya.
Anatasya tersentak, mendorong tubuh Damian menjauh, dan berdiri dengan tergesa-gesa.
"Aku... aku tidak mengerti maksud Kakak," ucapnya gugup, pipinya merona. Ia tidak siap menghadapi kenyataan ini.
"Eh, aku ke atas dulu," katanya terburu-buru, berusaha melarikan diri dari situasi yang membingungkan ini.
Damian tersenyum tipis, menatap punggung Anatasya yang menjauh. "Gadis kecilku sudah besar," gumamnya, ada nada geli bercampur kelembutan dalam suaranya. Ia tahu, perasaannya pada Anatasya lebih dari sekadar kasih sayang seorang kakak.
Anatasya duduk di tepi tempat tidurnya, kamar yang biasanya terasa nyaman kini dipenuhi kebingungan. Jantungnya masih berdebar kencang, setiap detaknya mengingatkannya pada bisikan Damian. "Aku kenapa sih?" bisiknya pada diri sendiri, tangannya memegang dadanya, seolah berusaha meredakan gejolak di dalamnya.
"Dulu aku dekat dengan Kak Damian tidak segugup ini," gumamnya, pikirannya melayang pada kenangan masa kecil mereka. Dulu, Damian adalah kakak yang selalu melindunginya, sosok yang ia kagumi tanpa ragu. Tapi sekarang, ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuatnya salah tingkah.
Tiba-tiba, suara dering telepon memecah kesunyian kamar. Anatasya meraih teleponnya, melihat nama "Kak Rafael" tertera di layar.
"Halo," jawabnya, berusaha menenangkan suaranya.
"Tasya, kamu sudah janji mau kolaborasi di konser Kakak. Jangan sampai terlewat, ya," suara Rafael terdengar antusias di seberang sana.
"Tenang saja, Kak," jawab Anatasya, senyum tipis terukir di bibirnya, "karena Adrian akan datang, aku pasti akan datang." Ada nada sinis yang tersembunyi di balik kata-katanya.
Dalam hati, Anatasya bergumam, "Adrian Pratama, andai kamu tahu istri yang kamu benci adalah orang yang tidak bisa kamu gapai. Kamu akan menangis minta maaf dan berlutut padaku." Dendam dan keinginan untuk membuktikan diri bercampur aduk dalam benaknya.
Anatasya berdiri, berjalan menuju cermin besar di kamarnya. Ia menatap pantulannya, mata cokelatnya berkilat penuh tekad. "Aku akan tunjukkan padamu, Adrian," bisiknya, "Siapa sebenarnya Anatasya."
***
Winda melompat kegirangan, matanya berbinar menatap tiket konser di tangannya. "Ini beneran tiket konser idolaku?" serunya, suaranya penuh antusiasme. "Wah, kursi VIP pula! Akhirnya aku bisa bertemu dengannya!" Ia memeluk tiket itu erat, seolah tak percaya keberuntungannya.
Jamilah, yang duduk di sofa mewah, tersenyum lebar. "Clara, maafkan Tante waktu itu. Tante salah paham. Kirain hubunganmu dengan keluarga Santoso tidak terlalu dekat. Ucapan Tante jangan diambil hati, ya?" ucapnya lembut, berusaha memperbaiki kesalahannya. Ia melihat potensi besar dalam diri Clara.
Clara, dengan senyum manisnya, menjawab, "Tante, mana mungkin aku menyalahkan Tante? Tante kan ibunya Mas Adrian." Ia tahu bagaimana cara mengambil hati calon ibu mertuanya.
Tawa renyah mereka memenuhi ruangan, menciptakan suasana hangat dan akrab. Namun, di balik tawa itu, tersembunyi rencana licik.
Adrian, yang duduk di kursi kerjanya, menatap Clara dengan tatapan penuh perhitungan. "Clara, kamu memang wanita terbaik," ucapnya, suaranya terdengar tulus. "Tenang saja, setelah kita membalaskan dendam pada Tasya dan membuat keluarga Santoso bekerja sama dengan perusahaanku, aku akan menikahimu." Ada nada dingin yang tersembunyi di balik janjinya.
Clara menatap Adrian dengan mata berbinar, penuh keyakinan. "Aku percaya Kak Adrian," ucapnya,
"Ini beneran tiket konser idolaku?" seru Winda senang. "Wah kursi vvip pula. Akhirnya aku bisa ketemu dia."
Jamilah juga senang sekali. "Clara, maaf waktu itu Tante salah paham. Kirain hubunganmu dengan keluarga Santoso nggak terlalu dekat. Ucapan Tante jangan di ambil hati yah?" ucap Jamilah lembut.
"Tante, mana mungkin aku salahkan Tante. Tante kan ibunya mas Adrian."
Mereka tertawa.
"Clara kamu memang wanita terbaik. Tenang saja setelah kita membalaskan dendam pada Tasya dan membuat keluarga Santoso kerja sama dengan perusahaan ku. Aku bakal nikahin kamu."
"Aku percaya Kak Adrian."
***
Mobil taksi meluncur membelah keramaian kota, membawa Anatasya menuju Aula Manom. Di dalam, Anatasya duduk dengan tatapan kosong, pikirannya melayang pada percakapan terakhirnya dengan Rafael. Nada khawatir Rafael masih terngiang di telinganya, namun Anatasya tetap bersikeras untuk pergi sendiri.
"Tasya, kamu yakin nggak mau dijemput? Kalau tersasar bagaimana? Bareng kakak saja. Gimana?" tanya Rafael melalui telepon, suaranya penuh kekhawatiran.
"Duh, nggak papa. Fansmu di pintu masuk, kalau bareng aku nanti viral lagi. Suruh saja asistenmu jemput aku," jawab Anatasya, berusaha terdengar tenang.
Setibanya di Aula Manom, Anatasya terkejut melihat Clara, Adrian, dan Winda berdiri di dekat pintu masuk. Ia berusaha mengabaikan mereka, namun tatapan sinis dan ucapan pedas mereka menghentikan langkahnya.
"Tasya, kamu seperti hantu, dimanapun ada kamu. Jangan bilang kamu ke sini karena aku datang," ucap Adrian, nada suaranya penuh percaya diri yang menjengkelkan.
Anatasya memutar bola mata, menahan diri untuk tidak membalas. "Ngaca dong. Bisa-bisanya ngomong begitu," jawabnya, berusaha terdengar acuh tak acuh.
"Jadi kenapa kamu kesini? Jangan bilang kamu mau nonton konser Rafael?" tanya Clara, matanya menyipit curiga.
"Kenapa? Nggak boleh?" tantang Anatasya, menatap Clara dengan berani.
Clara tertawa sinis. "Tasya, kalau bohong pakai otak dong! Kamu tahu berapa harga tiket konser ini? Paling murah puluhan juta. Orang miskin macam kamu mana mungkin sanggup beli tiket termurah sekalipun."
Winda, dengan senyum mengejek, menambahkan, "Kak Clara, Kak Adrian lupa, Tasya kan punya donatur pelayan keluarga Santoso. Dia tinggal tidur dengan Tua bangka itu gampang sekali dapat tiket konser Kak Rafael." Ucapan Winda bagaikan tamparan keras bagi Anatasya. Ia mengepalkan tangannya, berusaha meredam amarah yang bergejolak di dalam dirinya. Tatapan mata orang-orang di sekitar mereka mulai tertuju pada Anatasya, seolah menikmati drama yang sedang berlangsung.
Anatasya menarik napas dalam-dalam, berusaha meredam gejolak emosinya. Ia mencoba tetap tenang di tengah cercaan Adrian dan keluarganya.
"Sehebat apa sih pelayan tua bangka itu? Tiket kami ini dikasih langsung oleh Kak Rafael, cuma ada tiga. Kepala keluarga meski hebat nggak mungkin bisa kasih dia tiket," cibir Adrian, meremehkan.
"Aku nggak punya tiket," jawab Anatasya, datar.
Sontak, tawa mengejek menggema di sekitar mereka. Clara, Adrian, dan Winda saling pandang, seolah menemukan hiburan dalam situasi ini.
"Tapi aku nggak butuh itu. Aku diundang langsung Kak Rafael ke konser ini," lanjut Anatasya, menatap mereka satu per satu.
"Tasya, lelucon macam apa itu?" Adrian tertawa sinis. "Maksudmu, Kak Rafael itu kakakmu? Dan mengundangmu langsung?"
"Kenapa nggak mungkin?" tantang Anatasya, matanya berkilat menantang.
"Kamu kira kamu siapa?" desis Clara, tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
Tiba-tiba, seorang pria berpakaian rapi menghampiri mereka. Wajahnya tegas, dan auranya menunjukkan wibawa seorang profesional.
"Nona Tasya, Tuan Rafael menyuruh saya menjemput nona," ucap pria itu, suaranya lantang dan jelas.
Keheningan seketika menyelimuti mereka. Clara, Adrian, dan Winda saling berpandangan, tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.
"Apa? Kak Rafael menyuruh orang menjemput wanita ini? Mana mungkin? Kak Rafael pasti menyuruhmu menjemput Kak Clara, kan?" tanya Winda, suaranya bergetar karena tidak percaya.
"Mana mungkin Kak Rafael menyuruh orang menjemput gadis kampung macam dia?" tambah Adrian, rahangnya mengeras.
Tawa mengejek kembali terdengar, kali ini lebih keras dan merendahkan.
"Bapak, sepertinya Anda salah. Kak Rafael itu sepupuku. Harusnya Ayahku yang bilang ke Kak Rafael kalau aku pulang. Pasti Kak Rafael menyuruh jemput aku," ucap Clara, berusaha meyakinkan pria itu.
Pria itu menatap Clara dengan tatapan dingin. "Saya asisten senior manajemen atas. Apa Anda pikir saya tidak tahu siapa yang harus saya jemput? Kalau bukan karena tuan saya tertahan di perjalanan, dia sendiri yang akan menjemput. Siapa kalian? Sampai pantas tuan saya jemput?"
"Apa? Dia yang menjemput?" Winda menatap Anatasya dengan tatapan tidak percaya.
"Mana mungkin? Mata idolaku nggak buta. Nggak mungkin dia mau jemput wanita sialan ini. Pasti kamu salah orang," seru Winda, suaranya penuh kebencian.
Pria itu melirik Anatasya, lalu kembali menatap Clara, Adrian, dan Winda dengan tatapan merendahkan. "Manajemen saya bilang, suruh jemput wanita tercantik." Ia melirik Anatasya sekilas. "Bukankah sekali lirik langsung tahu siapa. Mending kalian cari kaca, kalau nggak ada kaca, beli sana!"
Clara menatap Anatasya dengan tatapan tidak percaya. "Tasya, aku nggak nyangka kamu cepat sekali deketin Kakak ketigaku," desisnya, suaranya penuh kecemburuan.
Adrian menunjuk Anatasya dengan jari telunjuknya. "Brengsek, kemarin kamu deketin pelayannya, sekarang deketin Rafael. Dasar murahan!"
Anatasya menatap mereka dengan tatapan dingin. "Asal kalian tahu, Adrian, semua yang aku lakukan..." Anatasya berhenti sejenak, menatap Adrian dengan tatapan meremehkan. "Bukan urusanmu."
Anatasya lalu berbalik dan mengikuti asisten Rafael, meninggalkan Clara, Adrian, dan Winda yang terdiam dengan wajah merah padam karena marah dan malu.
...----------------...