Pergaulan di masa putih abu-abu memang sangat menyenangkan. Kebebasan yang di dapatkan kerap kali menjadi jalan yang ia pilih untuk menentukan kedepannya.
Seperti kisah pria tampan yang bernama Raga Mahendra. Ketampanan yang di miliki menjadi incaran banyak wanita. Baik yang nakal mau pun wanita yang baik-baik.
Tanpa ia sadari salah satu di antara banyaknya wanita telah membuat masa depannya terancam. Mengorbankan kesuciannya tak tak lantas membuat wanita bernama Natasha Veronika puas.
Ia meminta pertanggung jawaban pada Raga.
“Apa-apaan kamu? Bertanggung jawab? Tidak.” Tegas Raga menolak.
“Kalau kau memaksa, aku akan menyebarkan video itu.”
Air mata Tasha berjatuhan, ia sadar sebodoh apa dirinya yang cinta mati pada pria seperti Raga.
Hingga akhirnya mereka pun tak lagi bertemu sejak saat dimana mereka telah lulus sekolah.
Akankah mereka bertemu kembali setelah lama berpisah? Apakah semua masalah selesai begitu saja dengan Raga pergi meninggalkan Tasha dengan kenangan buruk? Sementara video keduanya yang hanya menampakkan wajah Tasha sudah tersebar luas di media sosial.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marina Monalisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekecewaan Mendalam
"Kita bicarakan dulu dengan baik-baik yah, Papah. Mamah panggil Tasha dulu. Semuanya harus segera di bicarakan." Indria tampak bicara sembari mengusap lembut lengan sang suami. Pelan meski masih kesal, Firman menganggukkan kepalanya.
Pria itu menarik napas beberapa kali serta menghembuskannya. Bersuaha mengatur ketenangan sebelum Tasha datang menghadap padanya.Indri benar mereka harus bicara baik-baik.
Beberapa saat menunggu, tiba-tiba saja suara teriakan panik terdengar dari luar kamar. Firman berlari cepat menuju ke sumber suara.
"Papah! Papah!" Firman berlari sekuat mungkin hingga ia mendapati sang istri yang berada di dalam kamar Tasha rupanya. Wajahnya panik.
"Ada apa, Mah? Kenapa teriak-teriak?" Matanya menatap di mana sang istri menunjuk atas lemari yang tidak ada koper dan beberapa barang yang tampak kosong dari lemari sang anak.
Keduanya sama-sama saling menatap. "Tasha pasti sudah pergi, Papah. Bagaimana ini?" Firman terdiam.
Sejenak ia merasa bersalah dan khawatir dengan sang anak. "Mamah hubungi dia biarkan Papah yang cari Tasha." pintahnya di setujui oleh sang istri.
Sementara di tempat yang berbeda, di sini Tasha berada. Sebuah kos yang hanya terdiri dari beberapa kamar saja. Sederhana namun sangat terawat. Wanita yang kini tak lagi berstatus gadis itu tampak duduk di atas tempat tidur.
"Semangat, jangan menangis terus. Kita akan baik-baik saja." Mengelus perutnya yang masih rata. Tasha tersenyum tulus menatap perut yang ia pegang saat ini.
Di dalam sana sudah ada anak yang akan siap menemaninya kemana pun pergi. Sumber kekuatan untuknya, dan Tasha senang bisa mendapatkan anak di keadaan seperti ini. Setidaknya ia tidak akan sendiri, dan ada semangat untuknya tetap bertahan.
Tak ingin membuang waktu, wanita itu beranjak dari tempat tidur, Tasha menghapus air matanya dan tersenyum. Ia mulai menyusun beberapa barang yang ia bawa di lemari pakaian. Tak hanya sampai di situ usai menyelesaikan urusan kamar, ia berjalan menuju dapur yang sangat kecil ukurannya dan tampak sederhana. Pelan kedua manik matanya memperhatikan tempat itu. Ia berpikir untuk memasak setiap harinya.
"Eh mba yang baru kos di sebelah kamar saya yah?" Tiba-tiba ia di kejutkan oleh seorang wanita yang tersenyum padanya.
Kaku Tasha tersenyum sebab kaget dan ia pun mengangguk. "Em iya," jawabnya singkat.
"Kenalin, aku Fani."
"Tasha." keduanya pun tampak mengobrol basa basi hingga Tasha pun mendapat petunjuk untuk biasa membeli bahan masakan di dekat kos mereka.
"Terimakasih yah, tapi saya sepertinya perlu belajar masak dulu karena belum pernah masak sebelumnya kecuali potong-potong bawang." terkekeh Fani mendengarnya. Ia pun akhirnya berniat untuk mengajari Tasha memasak.
"Soal belajar sih gampang. Nanti masak bareng aku aja. Aku juga setiap hari masak kok sebelum kerja." ujarnya membuat Tasha senang. Ia mengangguk setuju.
***
Di malam pertama tidur di kosan dengan alat kipas untuk pendingin Tasha sangat sulit tidur. Beberapa kali tubuhnya tampak berbalik kesana kemari lantaran gerah. Keringat pelan-pelan mulai terlihat di keningnya. Tanpa ia tahu jika di rumah sang papah dan mamah tengah terduduk di sofa ruang keluarga.
Keduanya berpikir apa yang terjadi pada anak mereka yang tak pernah sekali pun tidur di luar rumah. Sungguh kecemasan begitu melanda keduanya.
"Mamah tidur saja, Papah akan coba perintah orang untuk membantu mencari Tasha." pintah Firman tak tega melihat sang istri yang terus meneteskan air mata di depannya saat ini.
Indri menggelengkan kepala tak setuju. Bagaimana Mamah bisa istirahat di kamar, Pah? Anak kita di luar sana bagaimana nasibnya saja kita tidak tahu. Bagaimana kalau Tasha sampai di apa-apakan dengan orang jahat? Mamah khawatir sekali." Ia menundukkan kepala yang terasa semakin pusing. Bahkan keningnya terasa berdenyut lantaran terus menangis tanpa henti.
Firman menghela napasnya kasar.
"Papah akan minta bantuan orang-orang papah dulu." ujarnya menghubungi seseorang.
Ingin sekali ia menghubungi polisi untuk melaporkan kepergian sang anak, namun mengingat masalah tentang Tasha ia tak ingin semakin orang banyak tahu tentang masalah keluarganya. Bahkan Firman juga memiliki nama yang cukup di kenal di kalangan orang-orang atas.
Usai meyakinkan sang istri jika ia meminta orang mencari Tasha, Firman berniat membawa istrinya ke kamar. Ia tuntun Indri berjalan lemas ke arah kamar dan di baringkan istrinya itu. Pelan tangannya menarik selimut sembari memeluk sang istri.
Keharmonisan keduanya memang selalu seperti itu selama pernikahan berlangsung hingga saat ini. Bahkan Tasha sangat mengidamkan sosok papahnya yang begitu baik memperlakukan sang mamah.
"Besok kita akan cari Tasha lagi, semoga kita bisa menemukan dia secepatnya, Mah. Sebab malam seperti ini Papah yakin dia pasti mencari tempat berlindung. Kita akan sulit menemukan dia malam begini." Usapan lembut dan ucapan yang Firman lontarkan pelan membuat mata Indri pun terpejam.
Tepat pada pukul dua belas malam, Firman bangkit dari posisi tidurnya. Pria paruh baya itu meninggalkan sang istri yang tertidur lelap di depannya saat ini. Ia melangkah menuju ruang kerja. Di sanalah pria paruh baya itu berteriak melampiaskan amarahnya dan sakitnya.
"Kenapa anakku, Tuhan? Kenapa harus anakku? Kenapa harus Tasha!" Ia menangis memukuli tembok ruang kerja yang memang ruangan itu di desain kedap suara agar tidak mengganggu fokusnya saat bekerja.
Firman menampari wajahnya, merasa gagal menjadi seorang ayah. Ia tak perduli bagaimana banyaknya darah keluar dari tulang punggung tangannya. Bahkan tembok yang bercat putih pun banyak terkena noda darah. Sakit sekali rasanya membayangkan putri satu-satunya harus menjadi aib keluarga. Sungguh Firman masih merasa ini adalah mimpi terburuk yang ingin ia bangunkan dari tidurnya.
"Tasha, kenapa kamu melakukan itu, Nak? Kenapa kamu melukai hati Papah?" Begitu sayangnya ia pada sang anak hingga untuk marah lama pada Tasha tak sanggup ia lakukan.
Firman pun memutuskan untuk keluar dari rumah malam itu mencari keberadaan sang anak.