Arumi Bahira, seorang single mom dengan segala kesederhanaannya, semenjak berpisah dengan suaminya, dia harus bekerja banting tulang untuk membiayai hidup putrinya. Arumi memiliki butik, dan sering mendapatkan pesanan dari para pelanggannya.
Kedatangannya ke rumah keluarga Danendra, membuat dirinya di pertemukan dengan sosok anak kecil, yang meminta dirinya untuk menjadi ibunya.
"Aunty cangat cantik, mau nda jadi mama Lion? Papa Lion duda lho" ujar Rion menggemaskan.
"Eh"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kikoaiko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8
Julia mengajak semua yang ada untuk berkumpul di meja makan. Suasana yang tadinya tenang dan hangat, seketika berubah menjadi arena perdebatan antara Bella dan Naka. Kedua anak kecil itu saling beradu argumen, melemparkan kata-kata yang mengejutkan semua orang di meja.
Bella, dengan tatapan penuh kemarahan, menatap piring Naka yang hampir meluap dengan nasi dan lauk. "Pantas badannya lebal, makannya banyak cekali! cepelti nda pelnah makan aja" serunya dengan nada tinggi.
Naka tidak mau kalah. "Nda apa-apa lebal, yang penting tampan. Dalipada kamu, kulus klempeng klempeng cepelti ikan acin" balasnya dengan percaya diri.
"Ini namanya ideal, bukan klempeng. Model intelnacional mana ada yang gemuk sepelti kamu. Badan meleka langcing cepelti aku" Bella mencoba menjatuhkan argumennya.
Arumi melotot kepada putrinya, merasa malu dengan sikap anaknya. "Diam, Bella!" pikirnya, seraya merasakan gemuruh di dadanya.
"Maaf, Nyonya, Tuan. Tingkah Bella jelas mengganggu kenyamanan kalian," ungkap Arumi, merasa tidak enak.
Julia yang menyaksikan semua kejadian itu dari ujung meja, menghela napas dalam-dalam, berusaha mengalihkan suasana. "Tidak apa-apa, Naka juga tidak kalah. Biarkan saja, biar mereka cepat akrab," ujarnya sambil tersenyum, dan semua yang hadir mengangguk setuju.
Untuk meredakan ketegangan, Julia beralih mengangkat topik tentang pernikahan Alvaro dan Arumi yang semakin dekat. "Kalian sudah menentukan tema pernikahannya belum?" tanyanya dengan semangat.
“Aku terserah Arumi saja, Mom,” jawab Alvaro sambil mengangkat bahu, tidak ingin repot dengan persiapan.
“Yang sederhana saja, Nyonya. Tidak perlu mengadakan pesta. Kami sudah tua, malu jika dirayakan,” Arumi menimpali dengan nada rendah hati.
Julia tersenyum lembut mendengar respon pasangan tersebut. Hangatnya suasana kembali terasa, dipenuhi oleh percakapan yang menggugah.
Arumi menatap Alvaro dengan tatapan penuh rasa syukur. Perasaan itu disambut Alvaro dengan lembut, memperlihatkan betapa mereka saling menghargai.
“Mommy menghargai keputusan kalian,” ucap Julia sambil menyesap tehnya. “Pernikahan itu bukan soal pesta, tapi tentang komitmen dan cinta yang kalian bagi.”
Natasha, yang mendengarkan percakapan itu, tersenyum dengan mata berkaca-kaca. "Setelah semua yang telah kami lalui, memiliki seseorang untuk berbagi sisa hidup sudah lebih dari cukup,” katanya, suaranya penuh haru.
Julia kemudian berdiri, mendekati Alvaro dan Arumi, lalu memeluk mereka berdua. “Kalian membuat Mommy bangga. Cinta tidak mengenal usia. Pernikahan kalian akan menjadi simbol harapan dan kebahagiaan,” tuturnya lembut.
Setelah acara makan malam berakhir, Jason mengajak Alvaro untuk berbicara empat mata di ruang kerja. Keduanya duduk berhadapan dengan ekspresi serius.
“Apa yang ingin Daddy bicarakan?” tanya Alvaro, merasakan keseriusan suasana.
“Kamu sudah yakin ingin menikahi Arumi? Jika belum yakin, lebih baik jangan. Karena jika kamu main-main, yang akan sakit bukan hanya Arumi, tetapi juga putrinya,” kata Jason tegas, menggarisbawahi pentingnya komitmen.
Kata-kata ayahnya menggema di benak Alvaro, membebani pikirannya. Dia teringat akan senyum Clara, merasakan berat dalam hatinya.
Malam itu, perbincangan di ruang kerja membuat Alvaro merenung dalam, mempertimbangkan segala sesuatunya dengan lebih dalam.
Namun, tatapan Arumi yang penuh harapan dan cinta ketika dia melihat Alvaro bersama kedua putranya, membuatnya bertanya-tanya apakah mungkin dia bisa belajar mencintai lagi.
Arumi, dengan kelembutan dan kesabarannya, telah membawa keceriaan kembali ke dalam rumah yang dulu suram setelah Clara tiada. Tadi saat di ruang makan, Alvaro melihat Arumi dengan telaten menyuapi putranya sambil tertawa kecil.
Sosoknya yang hangat dan keibuan membuat Alvari merasa nyaman. Namun, di sisi lain, dia juga melihat bayangan Clara yang selalu ada, mengingatkannya akan cinta yang pernah begitu mendalam.
Alvaro mengamati betapa anaknya tampak bahagia bersama Arumi. Naka bahkan sudah memanggilnya 'mama'. Melihat ini, dia merasa bimbang, antara ingin membangun kebahagiaan baru atau terus terikat pada kenangan lama.
Alvaro terdiam, memikirkan pertanyaan ayahnya. Dia tidak ingin menyakiti Arumi atau putrinya. Dia tahu, jika dia memutuskan untuk menikahi wanita itu, dia harus serius dan memberikan seluruh hatinya, bukan hanya sebagian.
Alvaro mencoba meyakinkan perasaannya untuk menikah dengan Arumi.
"Aku siap dad, aku janji akan membuka hati untuk Arumi" jawab Alvaro.
Jason mengangguk pelan, "Kamu harus melakukannya, jika ingin menikahinya. Sekali lagi daddy ingatkan, jangan pernah menyakitinya, kita tidak tahu apa yang sudah mereka lalui selama ini" peringat Jason kepada putranya, namun dia tahu putranya itu masih mencintai mendiang istrinya.
Alvaro menatap ayahnya dengan mata yang lembut. Dia menghela napas dalam-dalam seakan menimbang kembali, "Aku mengerti, Dad. Aku akan berusaha sebaik mungkin," balasnya, suaranya penuh dengan ketulusan.
Jason memandang anaknya, raut wajahnya menunjukkan campuran harapan dan kekhawatiran. Dia meraih tangan putranya, menggenggamnya erat sebagai simbol dukungan. "Daddy, lihat. Arumi adalah wanita yang baik, Al. Dia pantas mendapatkan kebahagiaan," ucap Jason dengan nada yang serius.
Alvaro mengangguk. Dengan tekad yang baru, dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan menjadi suami yang lebih baik, suami yang Arumi layak dapatkan.
Jason melepaskan genggaman tangan mereka, tersenyum lembut, berharap masa depan anaknya akan lebih cerah bersama Arumi.
*******
Sementara suasana di lantai atas dipenuhi dengan gelak tawa dan percakapan hangat, di lantai bawah, Shaka, keponakan Alvaro, diam-diam membawa Bella, yang masih kecil dan penasaran, menuju kamarnya. Bella, yang belum pernah bertemu dengan Shaka sebelumnya, merasa bingung. Tadi saat makan malam, remaja itu tidak ada di antara mereka, membuat Bella bertanya-tanya tentang keberadaannya.
Setibanya di kamar, Shaka dengan lembut menurunkan Bella ke atas ranjang empuk yang nyaman. Gadi kecil itu memperhatikan Shaka dengan mata bulatnya, penuh rasa ingin tahu dan sedikit ketakutan.
“Kakak ciapa? Kenapa bawa Bella ke cini? Nanti Mama Bella caliin!” tanya Bella dengan nada cemas.
“Tidak akan, Mama kamu lagi ngobrol sama Oma, pasti akan lama,” ucap Shaka sambil tersenyum menenangkan, “Kamu sudah ngantuk kan? Lebih baik tidur dulu di sini,” lanjutnya, sambil mengusap lembut kepala Bella.
“Yacudah deh kalau kakak makca,” jawab Bella, sedikit ragu, namun akhirnya merebahkan dirinya di ranjang Shaka.
Masih memegang erat boneka kesayangannya, Bella tampak berjuang melawan rasa cemas yang menggerogoti. Dia mengusap matanya yang mulai berair. Melihat hal itu, Shaka mengambil selimut lembut dari lemari dan menyelimutinya dengan hati-hati.
“Tenang saja, Kakak di sini menjagamu,” bisik Shaka, duduk di tepi ranjang sembari mengelus lembut rambut Bella yang ikal. Dengan senyuman menenangkan, dia berusaha memberikan rasa aman bagi gadis kecil itu.
Bella masih menatapnya, mencari jaminan akan kehadirannya yang baru. Mencium kasih sayang dalam tatapan Shaka, dia mengangguk, mengatasi rasa cemasnya.
“Kamu mau Kakak baca cerita sebelum tidur?” tawar Shaka, dan Bella menganggukkan kepalanya dengan penuh semangat, merasa itu jadi hal yang menenangkan.
Shaka mengambil buku cerita dari rak buku di sudut kamar, membukanya dengan hati-hati, dan mulai membacakan kisah tentang seorang putri dan naga yang ramah. Suara Shaka yang halus dan ritmis membuat suasana semakin damai, perlahan-lahan membuat mata Bella terpejam, terbuai ke dalam mimpi yang penuh petualangan fantastis.
Sembari Shaka terus membacakan cerita, dia sesekali menoleh untuk memastikan Bella sudah terlelap. Melihat napasnya yang teratur, Shaka perlahan menutup buku, beranjak berdiri, dan mematikan lampu. Dia meninggalkan pintu sedikit terbuka agar cahaya dari luar bisa masuk, memberikan rasa nyaman dan aman bagi Bella.
Berada dalam keheningan malam, Shaka tersenyum kecil, merasakan momen indah antara kakak dan adik ini, berharap Bella bisa terus merasakan keamanan dan cinta dalam tiap detik yang mereka habiskan bersama.
Alvaro menyesal menghianati clara
kok minta jatah lagi sama arumi
itu mah suka al