NovelToon NovelToon
Dinikahi Sang Duda Kaya

Dinikahi Sang Duda Kaya

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / CEO / Dijodohkan Orang Tua / Duda / Nikah Kontrak / Berbaikan
Popularitas:6.3k
Nilai: 5
Nama Author: Savana Liora

​Kiana Elvaretta tidak butuh pangeran. Di usia tiga puluh, dia sudah memiliki kerajaan bisnis logistiknya sendiri. Baginya, laki-laki hanyalah gangguan—terutama setelah mantan suaminya mencoba menghancurkan hidupnya.

​Namun, demi mengamankan warisan sang kakek, Kiana harus menikah lagi dalam 30 hari. Pilihannya jatuh pada Gavin Ardiman, duda beranak satu yang juga rival bisnis paling dingin di ibu kota.

​"Aku tidak butuh uangmu, Gavin. Aku hanya butuh statusmu selama satu tahun," cetus Kiana sambil menyodorkan kontrak pra-nikah setebal sepuluh halaman.

​Gavin setuju, berpikir bahwa memiliki istri yang tidak menuntut cinta akan mempermudah hidupnya. Namun, dia salah besar. Kiana tidak datang untuk menjadi ibu rumah tangga yang penurut. Dia datang untuk menguasai rumah, memenangkan hati putrinya yang pemberontak dengan cara yang tak terduga, dan perlahan... meruntuhkan tembok es di hati Gavin.

​Saat g4irah mulai merusak klausul kontrak, siapakah yang akan menyerah lebih dulu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

​Bab 6: Drama Menjelang Ijab Kabul

​Air dingin itu masih menetes dari ujung hidung Kiana, jatuh membasahi kemeja sutra putihnya yang kini mencetak jelas lekuk tubuhnya. Hening. Seluruh kafe seolah menahan napas.

​Celine berdiri dengan napas memburu, senyum puas terukir di bibir merahnya. Dia merasa sudah memenangkan perang ini. Dia pikir Kiana akan menangis, lari, atau setidaknya menjerit histeris karena dipermalukan di tempat umum.

​Tapi Kiana tidak bergerak satu milimeter pun.

​Dengan gerakan yang sangat tenang—terlalu tenang untuk orang yang baru saja diguyur—Kiana mengulurkan tangan kanannya. Dia tidak meraih tisu. 

Tangan itu melawati kotak tisu, terus memanjang hingga jari-jarinya menyentuh gelas Ice Americano milik Gavin yang masih penuh.

​Gavin melihatnya. Dia ingin mencegah, tapi aura dingin yang memancar dari Kiana membuatnya terpaku.

​Kiana menggenggam gelas itu kuat-kuat.

​Sret.

​Tanpa aba-aba, Kiana mengayunkan tangannya secepat kilat.

​BYUR!

​Cairan hitam pekat bercampur bongkahan es batu itu mendarat telak di wajah Celine. Tidak ada satu tetes pun yang meleset. 

Kopi itu membanjiri rambut blow-nya yang sempurna, mengotori gaun merah mahalnya, dan membuat maskaranya luntur seketika menjadi aliran sungai hitam di pipi.

​"KYAAAAA!" Celine menjerit, suaranya melengking memecahkan gendang telinga. Dia mundur terhuyung, tangannya menggapai-gapai wajahnya yang lengket dan dingin. "Mata gue! Perih! Lo gila ya?!"

​Kiana meletakkan gelas kosong itu kembali ke meja dengan bunyi tak yang sopan. Dia mengambil tisu, lalu dengan santai mengelap cipratan air di tangannya sendiri.

​"Ups," ucap Kiana datar, tanpa sedikitpun nada penyesalan. "Maaf. Tangan saya licin. Maklum, tadi ada orang gila yang menyiram saya duluan, jadi basah semua."

​Gavin ternganga. Dia menatap Kiana, lalu menatap Celine yang kini meraung-raung seperti kucing kecebur got.

​"Gavin! Lihat perempuan kampung ini!" teriak Celine histeris sambil menunjuk Kiana dengan jari gemetar. "Dia nyiram aku pakai kopi! Usir dia! Panggil polisi!"

​Gavin perlahan berdiri. Dia menatap Celine dengan tatapan lelah yang luar biasa. 

Bukannya membela mantan kekasihnya, dia justru merasa muak. Muak dengan drama, muak dengan teriakan, muak dengan kepalsuan.

​Lalu dia menoleh pada Kiana. Wanita itu duduk tegak dengan rambut basah kuyup, tapi harga dirinya tetap utuh. 

Dia tidak butuh dibela. Dia bisa membela dirinya sendiri dengan cara yang brutal tapi elegan.

​Gavin sadar satu hal saat itu juga: Kiana adalah tameng yang sempurna.

​Jika Kiana bisa menghadapi Celine—wanita yang selama tiga tahun ini meneror hidup Gavin—dengan semudah membalikkan telapak tangan, maka Kiana bisa menghadapi apa saja. 

Keluarga besar Ardiman, rekan bisnis yang licik, bahkan Alea.

​"Celine, keluar," suara Gavin rendah, tapi tajam.

​Tangisan Celine terhenti mendadak. "A-apa? Kok aku? Dia yang salah!"

​"Saya bilang keluar," ulang Gavin, kali ini lebih keras. Dia menunjuk pintu. "Sekuriti di depan sudah siap menyeret kamu kalau kamu nggak bisa jalan sendiri. Jangan bikin malu diri sendiri lebih jauh lagi."

​"Tapi Gav..."

​"Kita sudah putus tiga tahun lalu. Berhentilah bersikap seolah kamu punya hak mengatur hidup saya. Keluar!"

​Celine menghentakkan kakinya dengan marah. Dia menatap Kiana dengan penuh dendam. 

"Awas kamu! Urusan kita belum selesai!" ancamnya sebelum berbalik dan lari keluar kafe sambil menutupi wajahnya yang cemong.

​Suasana kembali hening. Pelayan kafe yang mengintip dari balik bar buru-buru pura-pura sibuk mengelap gelas.

​Kiana menghela napas panjang, menyibakkan rambut basahnya ke belakang. "Maaf kopimu jadi korban. Nanti saya ganti."

​Gavin duduk kembali. Dia mengambil kontrak yang sedikit basah di ujungnya, lalu mengambil penanya yang tadi terjatuh.

​"Nggak usah diganti," kata Gavin. "Anggap saja itu pembayaran dimuka untuk jasa pengamanan."

​"Maksudnya?" Kiana menaikkan alis.

​Gavin menatap mata Kiana lekat-lekat. "Saya butuh istri yang nggak cuma bisa duduk manis di rumah. Saya butuh partner yang bisa jadi tameng buat menghalau gangguan-gangguan gila seperti tadi. Dan kamu... kamu kandidat yang terlalu overqualified."

​Tanpa ragu lagi, Gavin membubuhkan tanda tangannya di atas materai yang basah. Tinta hitam itu meresap ke kertas, mengikat nasib mereka berdua.

​"Selamat, Bu Kiana," Gavin menyodorkan kontrak itu kembali. "Kamu baru saja mendapatkan suami boneka yang kamu inginkan. Kapan kita nikah?"

​Kiana tersenyum tipis, mengambil berkas itu dan memasukkannya ke dalam tas kulitnya yang (untungnya) tahan air. "Secepatnya. Besok lusa. Berkas-berkas ke KUA biar asisten saya yang urus lewat jalur ekspres. Saya nggak mau ada pesta. Cukup akad nikah di depan penghulu, tukar cincin, selesai. Saya nggak mau buang duit buat kasih makan orang-orang yang cuma datang buat gosip."

​"Setuju. Saya juga malas senyum palsu di pelaminan selama empat jam," jawab Gavin. "Tapi sebelum itu, ada satu syarat lagi."

​"Apa? Jangan minta yang aneh-aneh."

​"Kamu harus ketemu ibu saya malam ini. Makan malam keluarga," kata Gavin sambil berdiri dan merapikan jasnya. "Kalau kamu pikir Celine itu menyebalkan, tunggu sampai kamu ketemu Nyonya Besar Ardiman. Dia level bos terakhir."

***

​Rumah keluarga besar Ardiman lebih mirip istana vampir daripada tempat tinggal manusia. 

Dinding-dindingnya tinggi, berlapis marmer hitam, dengan lampu gantung kristal yang terlalu besar dan menyilaukan mata. Udaranya dingin, seolah AC di rumah ini disetel di suhu minus sepuluh derajat.

​Kiana melangkah masuk berdampingan dengan Gavin. Dia sudah berganti pakaian—Gavin meminjamkan kemeja cadangan dari mobilnya dan Kiana memadukannya dengan celana bahannya sendiri. Meski sedikit kebesaran, Kiana tetap terlihat berkelas.

​Di ruang makan yang panjangnya bisa dipakai main futsal, seorang wanita paruh baya duduk di ujung meja dengan postur kaku. Rambutnya disanggul tinggi, lehernya dililit mutiara seukuran bola pingpong. Itu Bu Ratna, ibu Gavin.

​Di sebelahnya duduk seorang wanita muda yang mirip Gavin tapi versi lebih jutek—Sarah, adik Gavin.

​"Wah, wah," suara Bu Ratna terdengar nyaring begitu Gavin dan Kiana mendekat. Dia tidak berdiri untuk menyambut. Dia menatap Kiana dari ujung kaki sampai ujung kepala dengan tatapan merendahkan. "Jadi ini wanita yang bikin kamu batalin perjodohan dengan anak pemilik Bank Sentosa? Kiana Elvaretta? Yang punya jasa angkut barang itu?"

​Kiana tersenyum manis, sangat manis sampai terlihat palsu. "Selamat malam, Tante. Koreksi sedikit, bukan jasa angkut barang. Perusahaan Logistik Terintegrasi. Kami yang memastikan tas Hermes Tante sampai dari Paris ke Jakarta tanpa lecet sedikitpun."

​Kiana menarik kursi di samping Gavin dan duduk tanpa dipersilakan.

​Wajah Bu Ratna merah padam. "Berani sekali kamu bicara begitu. Kamu tahu sopan santun?"

​"Saya tahu bisnis, Tante. Dan dalam bisnis, waktu adalah uang. Jadi mari kita langsung saja," potong Kiana santai. Dia mengambil serbet makan dan meletakkannya di pangkuan.

​"Gavin bilang dia mau menikahimu," sela Sarah, adik Gavin, sambil memutar-mutar garpunya. "Kakak tahu kan kalau dia ini janda? Bekas orang? Apa kata kolega bisnis kita nanti kalau pewaris Ardiman menikahi barang second?"

​Gavin mengepalkan tangan di bawah meja, hendak membentak adiknya. Tapi Kiana menahan lengan Gavin pelan.

​"Tenang, Sayang," bisik Kiana pada Gavin, lalu dia menoleh pada Sarah dengan tatapan membunuh yang disamarkan senyuman.

​"Barang second yang kamu maksud ini punya valuasi perusahaan dua kali lipat dari butik fashion kamu yang selalu merugi itu, Sarah," balas Kiana tenang. "Dan setidaknya, saya janda karena saya yang gugat cerai suami saya yang tidak becus. Bukan seperti kamu yang ditinggal tunangan seminggu sebelum nikah karena ketahuan selingkuh sama instruktur senam, kan?"

​PRANG!

​Garpu di tangan Sarah jatuh ke piring. Wajahnya pucat pasi. Rahasia itu harusnya tertutup rapat. Dari mana Kiana tahu?

​"Cukup!" Bu Ratna menggebrak meja. "Kamu benar-benar tidak punya tata krama! Masuk ke rumah orang, menghina keluarga saya! Gavin! Kamu mau menikahi wanita ular seperti ini?"

​Gavin menyesap anggurnya dengan santai, menikmati pertunjukan. "Maaf, Ma. Kiana cuma meluruskan fakta. Dan Mama harus terbiasa, karena lusa dia bakal jadi menantu Mama."

​"Aku tidak merestui!" pekik Bu Ratna. "Keluarga kita terhormat! Kita butuh menantu yang penurut, yang anggun, yang bisa menjaga nama baik keluarga! Bukan wanita karir ambisius yang bahkan nggak bisa masak!"

​"Tante Ratna," suara Kiana berubah dingin dan serius. Aura boss lady-nya keluar sepenuhnya. "Tante butuh menantu penurut atau butuh suntikan dana segar buat menutupi kerugian investasi properti Tante di Bali yang gagal total bulan lalu?"

​Bu Ratna terdiam, matanya membelalak ngeri.

​"Saya tahu laporan keuangan pribadi keluarga ini sedang 'batuk-batuk' sedikit," lanjut Kiana kejam. "Menikah dengan saya berarti saham Ardiman Group stabil karena aliansi dengan Elva Express. Investor akan senang. Utang-utang tertutup. Nama baik terjaga."

​Kiana mencondongkan tubuh ke depan. "Jadi pilihannya ada di Tante. Mau punya menantu penurut tapi jatuh miskin, atau punya menantu 'ular' tapi Tante tetap bisa belanja berlian bulan depan?"

​Ruang makan itu hening total. Bu Ratna membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Dia kalah. Uang selalu bicara lebih keras daripada gengsi.

​Gavin tersenyum bangga. Dia benar-benar tidak salah pilih.

​Tiba-tiba, ponsel Kiana berdering nyaring di saku celananya, memecah ketegangan.

​"Sebentar," Kiana mengangkat tangan, lalu menjawab telepon itu tanpa beranjak dari meja makan. "Halo, Dok? Ada apa? Saya lagi makan malam penting."

​Wajah Kiana yang tadi penuh kemenangan, tiba-tiba berubah drastis. Warna darah surut dari pipinya. Matanya yang tajam kini membelalak ketakutan.

​"Apa maksud Dokter? Tadi siang katanya sudah stabil?" suara Kiana bergetar. Dia berdiri mendadak, kursinya berdecit keras di lantai marmer.

​Gavin langsung siaga. "Kiana? Siapa?"

​Kiana mengabaikan Gavin. Dia masih mendengarkan suara di telepon.

​"Jantungnya gagal memompa, Bu. Kami sedang melakukan tindakan resusitasi sekarang, tapi kondisinya sangat kritis. Pak Adijaya terus memanggil nama Ibu. Dia bilang... dia tidak akan pergi sebelum melihat Ibu menikah."

​Ponsel di tangan Kiana nyaris terlepas. Kakinya lemas. 

Kakek. Satu-satunya orang yang tulus menyayanginya di dunia ini. Ancaman Kakek soal warisan mungkin menyebalkan, tapi Kiana tahu Kakek melakukan itu karena peduli. 

Dan sekarang... Kakek benar-benar akan pergi?

​"Saya ke sana. Pertahankan dia, Dok! Jangan biarkan dia mati!" teriak Kiana.

​Dia mematikan telepon dan menatap Gavin dengan mata berkaca-kaca. Topeng wanitanya retak.

​"Gavin... Kakek..." suaranya pecah. "Kita harus ke rumah sakit. Sekarang."

​"Ayo," Gavin tidak banyak tanya. Dia langsung melempar serbetnya dan merangkul bahu Kiana, menuntunnya keluar. "Ma, Sarah, makan malam selesai. Kami pergi."

​Mereka berlari keluar, meninggalkan Bu Ratna dan Sarah yang masih bengong di meja makan.

​Perjalanan ke rumah sakit terasa seperti neraka. Gavin memacu mobil sportnya membelah kemacetan Jakarta, menerobos lampu merah, mengabaikan klakson-klakson marah. Kiana duduk di sampingnya, meremas tangannya sendiri sampai memutih. Dia tidak menangis, tapi tatapannya kosong.

​"Dia nggak boleh mati dulu, Gavin," gumam Kiana, lebih kepada dirinya sendiri. "Dia belum lihat aku pakai gaun pengantin. Dia belum lihat aku bahagia. Dia penipu tua bangka, dia janji mau hidup sampai seratus tahun..."

​Gavin menggenggam tangan Kiana sekilas dengan satu tangan, memberikan remasan yang menenangkan. "Dia kuat, Kiana. Dia Adijaya. Dia nggak akan nyerah gitu aja."

​Sesampainya di rumah sakit, mereka langsung berlari menuju ICU. Lorong itu terasa jauh lebih panjang dan dingin daripada tadi siang.

​Di depan pintu kamar rawat, Dokter Gunawan sudah menunggu dengan wajah suram. Dokter tua itu menggeleng pelan saat melihat Kiana.

​"Dok! Gimana?!" Kiana mencengkeram jas putih dokter itu.

​"Masuklah, Bu. Waktunya... mungkin tidak sampai satu jam lagi," bisik Dokter Gunawan. "Permintaannya masih sama. Dia keras kepala sekali. Dia menolak obat penenang kalau Ibu belum datang bawa suami."

​Kiana mendorong pintu ICU dengan kasar.

​Pemandangan di dalam sana menghancurkan hatinya. Kakek Adijaya, singa bisnis yang dulu ditakuti lawan, kini terbaring tak berdaya dengan selang di mana-mana. Monitor jantung berbunyi bip... bip... dengan tempo yang sangat lambat dan lemah.

​"Kek..." Kiana berlari ke sisi ranjang, jatuh berlutut.

​Mata tua itu terbuka sedikit. Bibirnya yang pucat dan kering bergerak-gerak.

​"Ma... mana... suamimu...?" bisik Kakek, suaranya nyaris tak terdengar, tenggelam di balik masker oksigen.

​Kiana menoleh ke belakang, menarik tangan Gavin agar mendekat.

​"Ini, Kek. Ini Gavin. Gavin Ardiman. Calon suami Kiana," ucap Kiana cepat, air matanya mulai menetes satu per satu. "Kakek lihat kan? Dia ganteng, dia kaya, dia hebat. Kakek jangan pergi dulu ya? Kita nikah lusa. Kakek harus datang."

​Kakek menggeleng lemah. Tangannya yang gemetar berusaha meraih tangan Kiana.

​"Sekarang..." desis Kakek. Napasnya tersengal berat. "Menikah... sekarang... di sini... Atau Kakek... nggak akan tenang..."

​Monitor jantung berbunyi bip panjang sebentar, lalu kembali berdetak lemah. Kondisinya kritis.

​Kiana panik. "Sekarang? Tapi Kek, nggak ada penghulu! Nggak ada wali! ​

1
shenina
banyak bacot banget ni nenek sihir... astogeee ada ya org yg memuakkan begini.. najis bgt 😏
shenina
haishh.. jahat bgt si radit 😮‍💨
shenina
Alea; auntie Kiana is my superhero 👏😍
shenina
ceritanya bagus 👍👍🤩
shenina
kiana.... selamatkan gavin dari wewe gombel.... 🤣🤣🤣🤣
Nor aisyah Fitriani
lanjuttt
Savana Liora
mantap kak
Savana Liora
asiaaapp
Nor aisyah Fitriani
uppp teruss seharian cuma nungguin kirana
Nischa
yeayyy akhirnya kiana sadar juga dengan perasaan nyaaa, uhhh jadi ga sabar kelanjutannya😍
Savana Liora
😄😄😄 iya, mantap kiana ya
shenina
😍😍
shenina
woah badass kiana 👍👍
shenina
🤭🤭
Savana Liora: halo. terimakasih udah baca
total 1 replies
shenina
👍👍
Savana Liora: makasih ya 😍😍
total 1 replies
Savana Liora
hahahaha
Nor aisyah Fitriani
upp teeuss thorr baguss
Savana Liora: asiaaap kk
total 1 replies
Nischa
lanjut thorr, ga sabar kelanjutannya🥰
Savana Liora: sabar ya. lagi edit edit isi bab biar cetar
total 1 replies
Nischa
cieee udah ada rasa nih kyknya, sekhawatir itu sm Gavin😄
Savana Liora: hahahaha
total 1 replies
Nor aisyah Fitriani
upp kak cerita nya baguss
Savana Liora: bab 26 udah up ya kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!