Satu malam yang tak pernah ia inginkan mengubah seluruh hidup Serene Avila. Terbangun di samping pria asing, ia memilih kabur tanpa menoleh—tak tahu bahwa pria itu adalah Raiden Varendra, konglomerat muda yang bisa mengguncang seluruh kota hanya dengan satu perintah. Dua bulan kemudian, Serene hamil… kembar. Di tengah panik dan putus asa, ia memutuskan mengakhiri kehamilan itu. Hingga pintu rumah sakit terbuka, dan pria yang pernah ia tinggalkan muncul dengan tatapan membelenggu.
“Kau tidak akan menyentuh anak-anakku. Mulai sekarang, kau ikut aku!”
Sejak saat itu, hidup Serene tak lagi sama.
Dan ia sadar, kabur dari seorang konglomerat adalah keputusan terburuk yang pernah ia buat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Indriani_LeeJeeAe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 > Saat Dunia Retak
Mobil hitam itu melaju tanpa suara, melahap jalanan kota yang masih basah oleh sisa hujan dini hari. Lampu-lampu jalan berkelebat di balik kaca jendela. Namun Serene Avila tidak benar-benar melihat apa pun. Tangannya terikat.
Bukan dengan borgol, melainkan dengan sabuk pengaman yang dikunci ganda... rapi, profesional, dingin. Dua pria duduk di depan, satu di sampingnya. Tidak ada yang berbicara. Dan justru keheningan itulah yang paling menakutkan.
Serene menelan ludah, mencoba menenangkan napasnya. Tangannya refleks mengusap perutnya yang sedikit membulat. Bayi-bayi itu bergerak pelan, seolah merespons ketegangan ibunya. “Tidak apa-apa,” bisiknya hampir tak terdengar. “Ibu di sini.”
Pria di sampingnya melirik sekilas. Tatapannya datar, tanpa emosi. “Kau tidak perlu bicara,” ujarnya singkat. “Kami hanya diminta memastikan kau tiba dengan selamat.”
Selamat? Kata itu terasa ironis.
“Ke mana kita pergi?” tanya Serene akhirnya.
Pria itu tidak menjawab. Mobil berbelok tajam, memasuki kawasan industri yang jarang dilewati. Gudang-gudang tua berdiri seperti bangkai raksasa di bawah cahaya lampu temaram. Jantung Serene berdegup kencang.
***
Sementara itu, di kediaman Varendra, kekacauan terjadi. “Lacak mobil itu sekarang!” teriak Raiden dengan suara yang nyaris tidak dikenali.
Seluruh tim keamanan bergerak. Layar-layar besar menampilkan peta kota dengan titik-titik merah bergerak cepat. “Mereka menggunakan jammer,” lapor salah satu teknisi. “Sinyal terputus.”
Raiden menggebrak meja. “Cari dari kamera lalu lintas. Potong semua jalur keluar kota.”
“Asistenmu sudah menghubungi unit lapangan,” tambah yang lain. “Tapi mereka bergerak sangat rapi.”
Raiden mengusap wajahnya kasar. Dalam hidupnya, ia terbiasa memegang kendali. Terbiasa menjadi pemburu, bukan yang diburu. Namun kali ini... mereka menyentuh sesuatu yang tidak seharusnya disentuh.
Serene dan anak-anaknya. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal. Raiden mengangkat tanpa ragu. “Bicara.”
Suara di seberang sana terdengar santai. Terlalu santai. “Tenang, Raiden,” suara itu berkata. “Gadis kecilmu baik-baik saja.”
Raiden mengepalkan tangannya. “Jika satu rambutnya saja terluka maka-”
“Kau tidak dalam posisi mengancam,” potong suara itu ringan. “Ini hanya bisnis.”
“Bisnis apa?” Raiden mendesis.
“Aliansi,” jawabnya. “Dan pengingat bahwa setiap raja punya kelemahan.”
Panggilan terputus. Raiden menatap layar ponselnya dengan mata gelap. “Aurelia,” gumamnya.
***
Serene dibawa masuk ke dalam sebuah gedung tua yang tampak kosong dari luar. Namun begitu pintu besi tertutup di belakangnya, ia sadar... tempat itu dijaga ketat. Lorong panjang. Lampu putih dingin. Kamera di setiap sudut.
Ia dibawa ke sebuah ruangan luas dengan jendela tinggi yang ditutup tirai tebal. Sebuah sofa empuk, meja kecil, air minum, dan makanan sederhana tersedia. Ini bukan sel. Ini… ruang tunggu.
“Duduklah,” ujar pria yang membawanya.
Serene duduk perlahan, menegakkan punggung meski tubuhnya gemetar. “Kenapa aku di sini?” tanyanya, berusaha terdengar tenang.
Pria itu menatapnya sejenak. “Karena kau penting.”
Serene tersenyum pahit. “Aku tidak merasa penting.”
“Kau akan merasa begitu,” jawabnya datar, lalu keluar.
Pintu tertutup.
Kini ia hanya sendiri. Serene menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Air mata menggenang, tapi ia menahannya. Menangis tidak akan menyelamatkan siapa pun.
Kemudian ia berdiri, berjalan mendekati jendela, mencoba mengintip celah tirai. Namun itu terlihat gelap. Tidak ada apa-apa selain bayangan gedung lain. Waktu berlalu tanpa kepastian.
***
Raiden Varendra duduk di kursi kantornya, namun pikirannya tidak ada di sana. Di hadapannya berdiri Elviera Varendra, wajahnya tegang namun tetap anggun. “Ini yang terjadi jika kau tidak tegas,” ujar wanita itu dingin. “Aku sudah memperingatkanmu.”
“Kau tahu tentang ini,” kata Raiden perlahan, berbahaya.
Elviera tidak mengelak. “Aku tahu permainan mereka. Tapi aku tidak menyangka mereka akan bertindak sejauh ini.”
“Aurelia,” Raiden menatap neneknya tajam. “Ia berada di balik ini.”
Elviera terdiam sejenak. “Keluarga Adrian tidak pernah bermain setengah-setengah.”
Raiden berdiri. “Aku akan menjemput Serene.”
“Dengan apa?” Elviera bertanya. “Perang terbuka? Skandal? Kau akan menghancurkan segalanya.”
“Aku tidak peduli,” balas Raiden dingin. “Aku hanya peduli pada wanita yang mengandung anak-anakku.”
Elviera menatapnya lama, seolah baru benar-benar melihat cucunya. “Jika kau melangkah sejauh itu,” katanya pelan, “tidak akan ada jalan kembali.”
Raiden mengangguk. “Aku tahu.”
***
Malam mulai turun ketika pintu ruangan Serene kembali terbuka. Seorang wanita masuk. Tinggi, anggun, mengenakan gaun sederhana namun jelas mahal. Senyumnya lembut, terlalu lembut. Serene mengenal wajah itu.
“Aurelia Adrian,” gumamnya.
Aurelia tersenyum lebih lebar. “Aku senang kau mengenaliku.”
Serene berdiri. “Jadi ini ulahmu.”
“Aku lebih suka menyebutnya… solusi,” jawab Aurelia tenang. “Duduklah. Kita perlu bicara.”
“Aku tidak punya apa pun untuk dibicarakan denganmu,” Serene berkata tegas.
“Oh, kau punya,” Aurelia duduk dengan santai. “Kau punya sesuatu yang aku inginkan.”
Serene mengepalkan tangan. “Raiden bukan milik siapa pun.”
Aurelia terkekeh pelan. “Benar. Tapi masa depannya… sangat bergantung pada pilihan yang tepat.”
“Apa maumu?” tanya Serene akhirnya.
Aurelia menyilangkan kaki. “Pergi.”
Serene tertawa kecil. “Aku sudah mencoba.”
“Pergi selamanya,” Aurelia menatapnya tajam. “Menghilang dari hidup Raiden. Dari kota ini. Dari dunia yang bukan milikmu.”
“Dan sebagai gantinya?” Serene bertanya dingin.
“Aku akan memastikan kau dan anak-anak itu aman,” jawab Aurelia tanpa ragu. “Kau akan hidup nyaman. Jauh dari konflik. Jauh dari bahaya.”
Serene menggeleng. “Kau menyebut ini perlindungan, tapi caramu menculikku?”
Aurelia mengangkat bahu. “Kadang, orang tidak mau mendengarkan jika tidak dipaksa.”
Serene menatap wanita itu lama. “Kau tidak mencintai Raiden.”
Aurelia tersenyum tipis. “Cinta tidak relevan. Kekuasaan yang abadi jauh lebih penting.”
“Dan aku?” tanya Serene. “Apa aku hanya gangguan?”
Aurelia mencondongkan tubuhnya. “Kau adalah kesalahan yang tidak seharusnya terjadi.”
Kalimat itu menghantam Serene lebih keras dari tamparan. Ia menarik napas, lalu berkata pelan namun tegas, “Aku tidak akan pergi.”
Senyum Aurelia memudar. “Pikirkan baik-baik.”
“Aku sudah,” jawab Serene. “Aku tidak akan menyerahkan hidup anak-anakku.”
Aurelia berdiri. Tatapannya kini dingin. “Kalau begitu… Raiden yang akan membayar kerasnya pilihanmu.”
***
Di luar gedung, hujan turun deras. Raiden berdiri di balik kemudi mobilnya, menatap layar tablet yang menunjukkan titik lokasi terakhir yang berhasil dilacak. “Di sini,” ucap Raiden pada timnya. “Siapkan semua unit.”
“Jika ini jebakan-” salah satu ajudannya mencoba memperingatkan.
“Aku tahu,” potong Raiden. “Tapi aku tetap masuk.”
Mobil-mobil hitam bergerak senyap di bawah hujan. Raiden menggenggam setir erat, pikirannya penuh bayangan Serene... wajahnya saat berpamitan, matanya yang tegar meski hancur. Aku datang, batinnya. Tunggu aku.
***
Kembali ke ruangan itu, Serene duduk sendirian lagi. Namun kini, ada ketenangan aneh di dadanya. Ia sudah memilih. Apa pun yang terjadi, ia tidak akan tunduk.
Ia mengusap perutnya perlahan. “Kita mungkin akan menghadapi badai,” bisiknya. “Tapi ibu tidak akan menyerah.”
Tiba-tiba, lampu ruangan berkedip. Lalu padam. Suara gaduh terdengar dari luar. Langkah kaki, teriakan tertahan serta dentuman.
Jantung Serene berdegup kencang. Apa yang terjadi? Pintu ruangan terbuka mendadak. Siluet seorang pria berdiri di ambang pintu, diterangi cahaya darurat merah.
“Serene!” Suara itu- Raiden.
“Raiden?” Serene berdiri, air mata langsung mengalir.
Raiden melangkah masuk cepat, memeluknya erat seolah takut ia menghilang. “Aku di sini.”
Namun sebelum satu kata lagi terucap... suara tembakan menggema. Raiden langsung memutar tubuhnya, melindungi Serene. Wajahnya menegang. Darah menetes di lantai.
Serene menjerit. “RAIDEN!”
Dan sebelum ia tahu apa yang terjadi, dunia di sekelilingnya terasa berputar. Sementara di luar, suara sirene dan tembakan semakin mendekat. Di tengah kekacauan itu, satu pertanyaan menggantung di udara: Apakah Raiden datang tepat waktu… atau justru terlambat untuk menyelamatkan segalanya?
***
Apakah Raiden akan selamat? Dan apa yang akan terjadi selanjutnya? Yuk komen di bawah..
Stay tune